Pages

Minggu, 04 Desember 2011

PENYAKIT PARKINSON

Penyakit Parkinson adalah penyakit yang disebabkan adanya gangguan pada otak, yaitu pada sistem saraf pusat otak manusia mengalami kemunduran. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887.
Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan. Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun.
Gejala Penyakit ParkinsonGejala pada penyakit ini antara lain:
  1. Gemetaran.Seseorang penderita penyakit parkinson pada saat beristirahat atau tidak melakukan aktivitas akan mengalami gemetaran. Gemetaran yang timbul dapat terjadi pada tangan, kaki, rahang, atau kapala.
  2. Kekakuan.Penderita akan mengalami rasa kaku pada otot, rasa sakit pada bahu, leher, dan sendi-sendi sehingga sulit untuk bergerak.
  3. Hilangnya reflek postural.Penderita akan mengalami ganguan keseimbangan tubuh.
  4. Kebekuan.Gejala ini mengacu terhadap ketidakmampuan untuk melakukan pergerakan yang aktif. Ketika akan berjalan, memutar, berjalan melalui jalan yang sempit penderita akan sulit utuk melakukannya.
  5. Gejala nonmotor (tidak berhubungan dengan pergerakan). Gejala ini juga timbul pada penderita penyakit parkinson antar lain penderita merasakan sakit seperti terbakar, perasaan geli, hilangnya motivasi, susah tidur, ataupun merasakan tekanan. Kebanyakan gejala ini akan memperparah penderita penyakit parkinson.

Penemuan Kilinis
Dari penemuan klinis, penderita penyakit parkinson mempunyai raut muka yang relatif tidak bergerak dengan celah pada kelopak mata melebar, jarang berkedip, dan terdapat guratan expresi tertentu pada wajah, keluar minyak (seborrhea) di kulit kepala dan muka, gemetaran di bibir dan mulut. Penemuan klinis lain dari penyakit ini adalah keluarnya air liur dari mulut, kekakuan pada otot tenggorokan sehingga sulit untuk menelan, sulit untuk bangun dari tempat duduk ketika akan berjalan, dan ketika berjalan akan berjalan dengan terseok-seok.

Penyebab Penyakit Parkinson
Penyakit parkinson terjadi ketika sel saraf atau neuron di dalam otak yang disebut substantia nigra mati atau menjadi lemah. Secara normal sel ini menghasilkan bahan kimia yang penting di dalam otak yang disebut dopamine. Dopamine adalah suatu bahan kimia yang dapat menghantarkan sinyal-sinyal listrik diantara substantia nigra dan di sepanjang jalur sel saraf yang akan membantu menghasilkan gerakan tubuh yang halus. Ketika kira-kira 80% sel yang memproduksi dopamine rusak, gejala penyakit parkinson akan nampak.
akanKebanyakan orang-orang dengan penyakit Parkinson tidak mempunyai penyebab spesifik. Namun beberapa diantaranya dapat disebabkan karena keturunan, toksin / racun, trauma kepala, dan penyakit Parkinson drug-incuded.

Keturunan
Di tahun terakhir, sejumlah mutasi genetic yang spesifik penyebab penyakit Parkinson telah ditemukan, termasuk dalam populasi tertentu ( Contursi, Italia) dan terdapat dalam suatu kasus minoritas penyakit Parkinson. Seseorang yang mederita penyakit Parkinson kemungkinan mempunyai keluarga yang juga mempunyai penyakit Parkinson. Namun bagaimanapun juga, hal ini tidak berarti bahwa penyakit tersebut telah diteruskan secara genetik.
Toksin / Racun
Suatu teori menyebutkan bahwa penyakit bisa mengakibatkan banyak orang mudah terluka yang diakibatkan oleh toksin dan lingkungan. Hipotesis ini berkonsisten dengan fakta bahwa Penyakit parkinson tidakl tersebar secara homogen ke seluruh populasi, melainkan, timbulnya nya bervariasi secara geografis. Timbulnya variasi juga disebabkan oleh waktu.
Racun yang disuga sangat kuat saat ini yaitu pestisida dan transition-series logam seperti mangan atau besi, terutama yang menghasilkan species reaktif oksigen dan dapat mengikat neuromelanin, seperti yang disarankan oleh G.C Cotzias. MPPT yang digunakan sebagai contoh untuk penyakit Parkinson yang dengan cepat mempengaruhi gehjala Parkinson dimanusia dan binatang lain. Racunnya kemungkinan datang dari generasi species reaktif oksigen yang diturunkan.
Kepala terluka / Trauma Kepala
Kepala yang dulu pernah terluka dan sering di keluhkan oleh penderita kemungkinan untuk terjadinya penyakit Parkinson lebih besar dibandingkan dengan mereka yang belum pernah menderita luka di kepala secara serius. Resiko terkenanya penyakit Parkinson meningkat 8 kali lipat untuk pasien yang pernah di opname karena luka di kepala yang serius.
Penyebab obat
Anipsychotics yang digunakan untuk penyembuhan penyakit kejiwaan, dapat mempengaruhi gejala penyakit parkison akibat penurunan aktivitas dopaminergic. 
 nampak.
Dalam mencegah umpan balik, L-dopa juga dapat menyebabkan gejala penyakit Parkinson yang pada awalnya membebaskan Dopamin agonists yang dapat juga berperan untuk timbulanya gejala penyakit Parkinson dengan terus meningkatkan kepekaan dopamine sel yang peka terhadap rangsangan.
Diagnosa penyakit parkinson didasarkan dengan pengambilan data-data riwayat pasien secara hati-hati dan dengan pemeriksaan fisik pasien yang dikaitkan dengan gejala-gejalanya. Hingga saat ini belum ditemukan test laboratorium atau alat pencitraan yang dapat mengkonfirmasi penyakit parkinson. Pencitraan resonansi magnetik atau yang dikenal dengan MRI mungkin menunjukan kondisi lain yang mempunyai gejala serupa dengan penyakit parkinson.5 Oleh karena itu pasien yang mempunyai gejala-gelaja serupa disarankan utuk mencari seorang ahli saraf pada penyakit parkinson.

Perawatan Penyakit Parkinson
Perawatan pada penderita penyakit parkinson bertujuan untuk memperlambat dan menghambat perkembangan dari penyakit itu. Perawatan ini dapat dilakukan dengan pemberian obat dan terapi fisik seperti terapi berjalan, terapi suara/berbicara dan pasien diharapkan tetap melakukan kegiatan sehari-hari.
Beberapa obat yang diberikan pada penderita penyakit parkinson:
  1. AnticholinergicsBenztropine ( Cogentin), trihexyphenidyl ( Artane).Berguna untuk mengendalikan gejala dari penyakit parkinson. Untuk mengaluskan pergerakan.
  2. Carbidopa/levodopaLevodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Di dalam otak levodopa dirubah menjadi dopamine. Obat ini mengurangi tremor, kekakuan otot dan memperbaiki gerakan. Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani aktivitasnya secara normal. Levodopa diberikan bersama carbidopa untuk meningkatkan efektivitasnya & mengurangi efek sampingnya.
  3. COMT inhibitorsEntacapone (Comtan), Tolcapone (Tasmar).Untuk mengontrol fluktuasi motor pada pasien yang menggunakan obat levodopa.
  4. Dopamine agonistsBromocriptine (Parlodel), Pergolide (Permax), Pramipexole (Mirapex),Obat ini di berikan pada awal pengobatan, dan sering kali ditambahkan pada pemberian levodopa untuk meningkatkan kerja levodopa atau diberikan kemudian ketika efek samping levodopa menimbulkan masalah baru.
  5. MAO-B inhibitorsSelegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Berguna untuk mengendalikan gejala dari penyakit parkinson. Untuk mengaluskan pergerakan.
  6. Amantadine (Symmetrel) Berguna untuk perawatan akinesia, dyskinesia, kekakuan, gemetaran.Selain terapi obat yang diberikan, pemberian makanan harus benar-benar diperhatikan, karena kekakuan otot bisa menyebabkan penderita mengalami kesulitan untuk menelan sehingga bisa terjadi kekurangan gizi (malnutrisi) pada penderita. Makanan berserat akan membantu mengurangi ganguan pencernakan yang disebabkan kurangnya aktivitas, cairan dan beberapa obat.
    Metoda yang mengalami evaluasi
    Terapi gen
    Pada saat sekarang ini, penyelidikan telah dilakukan hingga tahap terapi gen yang melibatkan penggunaan virus yang tidak berbahaya yang dikirim ke bagian otak yang disebut subthalamic nucleus (STN). Gen yang digunakan memerintahkan untuk mempoduksi sebuah enzim yang disebut glutamic acid decarboxylase (GAD) yang mempercepat produksi neurotransmitter ( GABA ). GABA bertinadak sebagai penghambat langsung sel yang terlalu aktif di STN

    Pencangkokan syaraf
    Percobaan pertama yang dilakukan adalah randomized double-blind sham-placebo dengan pencangkokan dopaminergic yang gagal menunukkan peningkatan mutu hidup untuk pasien di bawah umur.

Selasa, 19 Juli 2011

TUMOR OTAK

Tumor otak bias primer (80 %), bias sekunder (20 %). Tumor primer kira-kira 50% adalah glioma, 20 % meningioma, 15 % adenoma dan 7 % neurinoma. Pada orang dewasa 60 % terletak di supratentorial, sedangkan pada anak-anak 70 % terletak di infratentorial. Tumor yang paling banyak ditemukan pada anak adalah tumor serebellum yaitu meduloblastoma dan astrositoma.
Statistik primer adalah 10 % dari semua proses neoplasma dan terdapat 3 – 7 penderita dari 100.000 orang penduduk.

Tumor primer bias timbul dari jaringan otak, meningen, hipofisis dan selaput myelin. Tumor sekunder berasal adalah tumor metastasis yang bias berasal dari hampir semua tumor pada tubuh. Tumor metastasis SSP yang melalui perderan darah yaitu yang paling sering adalah tumor paru-paru dan prostat, ginjal, tiroid, atau traktus digestivus, sedangkan secara perkontinuitatum masuk ke ruang tengkorak melalui foramina basis kranii yaitu infiltrasi karsinoma anaplastik nasofaring.
Pada umumnya tumor otak primer tidak memiliki kecenderungan bermetastasis, hanya satu yaitu meduloblastoma yang dapat bermetastasis ke medulla spinalis dan kepermukaan otak melalui perderan likuor serebrospinalis.
Perbandingan tumor otak primer dan metastasis adalah 4 : 1

KLASIFIKASI TUMOR :
Klasifikasi Samuels (1986) berdasarkan atas lokasi tumor, yaitu :
Tumor supratentorial
a. Hemisfer otak :
Glioma : - glioblastoma multiforme
- astrositoma
- oligodendroglioma
- Meningioma
- Tumor metastasis


b. Tumor struktur median :
- Adenoma hipofisis
- Tumor glandula pinealis
- Kraniofaringioma

Tumor infratentorial
Dewasa :
c. Schwannoma akustikus (neurilemmoma, neurinoma akustik)
d. Tumor metastasis
e. Meningioma
f. Hemangioblastoma (Von Hippel – Lindau)

Anak-anak :
a. Astrositoma serebelaris
b. Medulloblastoma
c. Ependimoma
d. Glioma batang otak

Tumor medulla spinalis
g. Ekstradural : Metastasis, Dermoid
h. Intradural :
Ekstramedular : - Meningioma
- Neurofibroma (30 %)
- Angioma
Intramedular : - Ependimoma (60 % tumor MS)
- Metastasis
Lokasi tumor primer yang disukai / hampir selalu : Ependinoma hampir selamanya berlokasi di dekat dinding ventrikel atau sentralis medulla spinalis. Glioblastoma multiforme kebanyakan di lobus parietalis. Oligodendroma kebanyakan pada lobus frontalis. Spongioblastoma di bangunan garis tengah seperti korpus kalosum atau pons.
ETIOLOGI :
Faktor etiologi yang berperan dalam timbulnya tumor otak adalah :
Bawaan (meningioma, astrositoma dan neurofibroma)
Bangunan embrional yang tersisa (kraniofaringioma, teratoma intrakranial, kordoma,.
Radiasi dengan dosis terapeutik dapat merangsang sel-sel mesenkhimal. Beberapa laporan bahwa radiasi berperan timbulnya meningioma.
Virus (virus Epstein Barr) disangka berperan dalam genesisnya “Burkitt’s lymphoma” juga karsinoma anaplastik nasofaring.
Zat-zat karsinogenik “methylcholanthrone” dan “nitro-ethyl-urea” dapat menyebabkan tumor otak primer. Demikian pula “chica dari Guam “ yang diberi oral pada kelinci.

GEJALA KLINIK
Pada tumor akan terjadi lesi desak ruang yang kronis progresif dengan segala konsekuensinya, sejalan dengan perkembangan tumor otak juga mempunyai kemampuan terbatas untuk bergeser “Elastic Property”, menggunakan semua celah yang ada untuk mendekompresi tekanan intrakranial, termasuk menyempit sampai tidak terlihatnya sistem sisterna dan sulkus dari otak bahkan sampai terajdi penipisan tulang tengkorak.
Di kalangan medis pada umumnya sudah dikenal trias gejala tumor otak yaitu nyeri kepala, muntah, dan edema papil pada pemeriksaan fundus. Tetapi sebenarnya gejala klinis tumor otak sering tidak sejelas itu, apalagi pada fase dini. Manifestasi klinis tumor otak tergantung dari beberapa faktor, antara lain : jenis dan sifat tumor, kecepatan pertumbuhan dan penyebaran, lokalisasi tumor dan kecepatan kenaikan tekanan intrakranial. Gejala itu bisa khas, tapi bisa pula kabur, sehingga bila kita tidak waspada bisa terkecoh dengan dugaan yang keliru.
Gejala Umum
Gejala umum yang terjadi disebabkan oleh gangguan fungsi cerebral akibat edema otak dan tekanan intrakranial yang meningkat. Gejala spesifik terjadi akibat destruksi dan kompresi jaringan saraf, bisa berupa nyeri kepala, muntah, kejang, penurunan kesadaran, gangguan mental, gangguan visual, dan sebagainya. Edema papil dan defisit neurologis lain biasanya ditemukan pada stadium yang lebih lanjut.
1. Nyeri Kepala
Nyeri kepala biasanya terlokalisir, tapi bisa juga menyeluruh. Biasanya muncul pada pagi hari setelah bangun tidur dan berlangsung beberapa waktu, rekuren dengan interval tidak teratur beberapa menit sampai beberapa jam. Serangan semakin lama semakin sering dengan interval makin pendek. Nyeri kepala ini bertambah hebat jika batuk, bersin, atau mengejan.
2. Muntah
Muntah bersifat tiba-tiba dan proyektil tanpa didahului mual.
3. Edema papil
Keadaan ini bisa terlihat dengan pemeriksaan funduskopi menggunakan oftalmoskop. Gambarannya berupa kaburnya batas papil, warna papil menjadi lebih kemerahan dan pucat, pembuluh darah melebar atau kadang-kadang tampak terputus-putus.
4. Kejang
Ini terjadi bila tumor berada di hemisfer serebri serta merangsang kortex motorik. Kejang yang sifatnya lokal sukar dibedakan dengan kejang akibat lesi otak lainnya, sedang kejang yang sifatnya general; sukar dibedakan dengan kejang karena epilepsi. Tapi bila kejang terjadi pertama kali pada usia dekade II dari kehidupan harus diwaspadai kemungkinan adanya tumor otak.
5. Gangguan mental
Gejala psikiatri tumor otak variasinya cukup banyak, berbeda-beda bagi tiap pasien walaupun diagnosisnya sama, bahkan pada seorang pasien sering kali gejalanya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Gejala psikiatri yang sering timbul pada tumor otak antara lain :
o Gangguan fungsi intelektual
o Gangguan fungsi berbahasa
o Hilangnya daya ingat
o Gangguan emosi
o Kemunduran taraf kecerdasan
Tanda-tanda lokalisatorik yang menyesatkan
Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan fungsi area yang ditempatinya. Tanda tersebut adalah :
a. Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat tertarik atau tertekan. Desakan itu tidak harus langfsung terhadap saraf otak. Saraf yang sering terkena tidak langsung adalah saraf III, IV, dan IV.
b. Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat ditemukan pada tumor yang terdapat di dalam salah satu hemisferium saja.
c. Gangguan mental
d. Gangguan endokrin dapat juga timbul proses desak ruang di daerah hipofise.
Tanda-tanda lokalisatorik yang benar atau simpton fokal
Neoplasma serebral yang tumbuh di daerah fungsional dapat menyebabkan defisit serebral tertentu sebelum manifestasi hipertensi intrakranial menjadi kenyataan. Tanda-tanda lokalisatorik tersebut adalah :
a. Simptom fokal dari tumor di lobus frontalis
o Gangguan mental berupa perubahan tingkah laku, euforia
o Afasia motorik bila mengenai area Broca
o Grasp refleks
o Pada stadium lanjut bisa terjadi anosmia, gangguan visual, gangguan keseimbangan, gangguan gerakan bola mata, dan edema papil.
b. Simptom fokal dari tumor di daerah presentralis
o Kejang fokal pada sisi kontralateral
o Kelumpuhan motorik bila terjadi destruksi atau penekanan oleh tumor terhadap jalur kortikospinal
c. Simptom fokal dari tumor di lobus temporalis
o Halusinasi pembauan dan pengecapan disertai gerakan bibir dan lidah bila berada di daerah unkus
o Gangguan kesadaran sesaat, gangguan emosi berupa rasa takut/panik bila mengenai lobus temporalis bagian medial
o Berkurangnya pendengaran bila mengenai korteks bagian belakang
o Afasia sensorik bila mengenai area Wernicke
o Keadaan lanjut terjadi kelumpuhan anggota badan sisi kontralateral
o Dilatasi pupil sesisi yang menetap atau menghilangnya refleks kornea bila telah terjadi herniasi dan penekanan batang otak
d. Simptom fokal dari tumor di lobus parietalis
o Berbagai bentuk gangguan sensorik
o Lesi iritatif menimbulkan gajala parestesi (rasa tebal, kesemutan)
o Lesi destruksi menyebabkan hilangnya berbagai bentuk sensasi
o Astereognosis dan gangguan diskriminasi terhadap rangsang taktil
o Hiperestesi bila tumornya tumbuh ke arah lebih dalam
o Gangguan penglihatan sebagian
e. Simptom fokal dari tumor di lobus oksipitalis
o Gejala awal terutama nyeri kepala
o Defek lapangan penglihatan sebagian
o Lesi di hemisfer dominan terjadi visual objek agnosia, kadang-kadang tidak mengenal warna dan prosopagnosia
f. Simptom fokal dari tumor di daerah pons dan medula oblongata
o Gejala fokal permulaan berupa paresis nervus VI unilateral
o Nyeri kepala dan vertigo
o Hemiparesis alternans
g. Simptom fokal dari tumor di serebelum
o Biasanya pada anak-anak sehingga gejala awal yang menonjol adalah hidrosefalus, gangguan keseimbangan, nistagmus ke arah lesi, dan ataksia anggota badan sebelah sisi lesi
DIAGNOSIS
Evaluasi diagnostik pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak harus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti, baik pemeriksaan status internus maupun status neurologis.
Adapun tanda-tanda fisik diagnostik pada tumor intrakranial :
1. Papil edema, dapat timbul pada tekanan intrakranial yang meningkat atau akibat penekanan pada nervus optikus oleh tumor secara langsung
2. Pada anak-anak dapat memperbesar ukuran kepal dan teregangnya sutura tekanan intrakranial yang meningkat
3. Bradikardi dan tekanan darah sistemik yang meningkat progresif akibat kompensasi terhadap iskemik di otak karena adanya tumor
4. Penurunan irama dan frekuensi pernapasan akibat tekanan intrakranial yang sangat meningkat
Selain berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis, dilakukan juga beberapa pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan foto kepala
Foto kepala sekurang-kurangnya dari 2 arah yakni AP dan lateral. Hal yang diharapkan dapat terlihat adalah :
o Pelebaran sutura; terjadi pada anak, makin muda usia anak makin cepat serta makin lebar sutura. Sutura sagital dan koronal adalah yang paling mudah melebar.
o Impressiones digitatae; terjadi bila peningkatan TIK sudah lama, sehingga gambaran kranium tampak “aspek berawan”
o Pelebaran fossa hipofisis dan destruksi endositosis, dapat timbul oleh meningioma
o Pengapuran terutama pada glioma, pinealoma
b. Angiografi
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struktur pembuluh darah. Adanya tumor dapat diketahui dari :
o Terjadinya displacement pembuluh darah karena pendesakan oleh tumor
o Adanya neovaskularisasi serta pelebaran pembuluh darah pada tumor
o Densitas jaringan yang meninggi oleh banyaknya kontras yang masuk pada tumor dibanding daerah otak normal atau yang disebut tumor staining
Angiografi saat ini hanya dilakukan untuk membedakan antara tumor dan kelainan vaskuler, bila CT Scan meragukan, atau untuk pemeriksaan tambahan untuk melihat hubungan tumor dengan pembuluh darah sekitarnya. Bila perlu untuk tumor otak yang sangat vaskuler dapat dilakukan embolisasi prabedah sehingga operasi pengangkatan tumornya menjadi lebih mudah.
c. Pneumoencephalografi dan Ventrikulografi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan kontras medium, baik berupa udara atau cairan ke dalam rongga otak melalui lumbal punksi atau langsung ke dalam ventrikel otak yang telah dilakukan shunting. Pemeriksaan ini sudah ditinggalkan karena teknik yang sulit serta hasilnya yang minimal.
d. Computer Tomography
Sensitivitas CT untuk mendeteksi dini massa intrakranial khususnya neoplasma cukup tinggi (80-98%). CT lebih sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi, merupakan pemeriksaan invasif dan dapat mendeteksi kelainan sebesar 4 mm.
e. Magnetic Resonance Imaging
Terutama untuk tumor-tumor di daerah fossa posterior, karena CT Scan sukar mendiagnosis tumor otak akibat banyaknya artefak, sekalipun dengan kontras. Dengan MRI, suatu tumor dapat dengan jelas tervisualisasi melalui potongan 3 dimensi, sehingga memudahkan untuk dapat menentukan teknik operasi atau menentukan tumor tersebut tidak dapat dioperasi mengingat resiko/komplikasi yang akan timbul. Dengan melihat gambar T1 maupun T2 dapat ditentukan karakteristik suatu tumor apakah tumor tersebut padat, kistik, ada perdarahan, kalsifikasi, nekrosis, maupun lemak dan lain-lain.
PENATALAKSANAAN
Di negara maju penderita tumor otak umumnya sudah terdeteksi lebih dini, tumor relatif masih kecil dan datang dalam keadaan sadar baik. Sebaliknya di negara berkembang tidak jarang penderita datang dalam keadaan tidak sadar, sudah terjadi “impending herniation” atau bahkan herniasi sudah terjadi. Pada kasus seperti ini tindakan pertama yang dilakukan adalah melakukan dekompresi interna (terapi hiperosmolar, diuretik, dan kortikosteroid) sebelum melakukan tindakan definitf (pembedahan).
Pada dasarnya terapi tumor otak adalah :
1. Operasi
2. Terapi radiasi
3. Kemoterapi
OPERASI
Ada 4 indikasi utama dari pembedahan tumor otak yaitu :
1. Diagnosis, 2. Dekompresi, 3. Sitoreduksi, dan 4. Kalau mungkin menyembuhkan Diagnosis bisa dilakukan dengan biopsi terbuka atau biopsi sterotaktik. Hasil biopsi jaringan untuk menentukan jenis tumor, gradasinya, dan menentukan adanya tanda keganasan.
Dekompresi tumor dilakukan apabila edema dan hidrosefalus yang terjadi mengakibatkan defisit neurologis. Edema yang luas di sekitar tumor kadang-kadang sulit dikontrol dengan steroid saja. Tujuan dari “surgical decompression” adalah untuk menurunkan tekanan intrakranial, simptomatis, dan mencegah memberatnya defisit neurologis. Meskipun dekompresi ini tidak merubah hasil akhir tetapi “Life Saving Decompression” juga dikerjakan sebagai tindakan emergensi terutama pada tumor yang terletak di temporal dan fossa posterior oleh karena kecenderungan terjadinya herniasi uncus dan tonsila cerebeli. Tindakan ini bisa memperpanjang hidup beberapa bulan.
Sitoreduksi masih konteroversi belum ada penelitian yang jelas mengenai ekstensifitas reseksi tumor dengan lamanya hidup penderita. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ada hubungan antara sitoreduksi dengan meningkatnya efektifitas terapi adjuvan oleh karena dengan sitoreduksi berarti berkurangnya jumlah sel tumor yang diterapi, meningkatnya kinetik sel, mengangkat sel hipoksik yang radio resisten dan mengangkat sel tumor yang sulit dicapai dengan kemoterapi.
Penyembuhan atau masa bebas tumor yang lama bisa dilakukan pada reseksi total dari hemangioblastoma, neurinoma akustik, juvenile astrocitic astrocytoma, adenoma hipofise, dan meningioma.
Keputusan untuk melakukan pembedahan dan reseksi tumor otak berbeda pada setiap penderita dan pada setiap tumor. Harus dipertimbangkan sebaik-baiknya keuntungan yang akan didapat oleh penderita dari operasi tersebut dengan kemungkinan defisit neurologis yang akan terjadi opersai tersebut. Faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisa untung ruginya tindakan pembedahan yang dilakukan adalah :
 Lokasi tumor adalah faktor utama, misalnya tumor yang letaknya pada kortek dominan, hipotalamus, batang otak, sinus karvenosus dan tumor otak intrinsik dari chiasma optikum tidak perlu dilakukan reseksi total. Tumor ganas mempunyai batas yang tidak jelas dan lebih luas dari pada apa yang terlihat dengan mata biasa. Bila reseksi total tidak dapat dilaksanakan, maka biasanya dilakukan pembuangan inkomplit untuk dekompresi. Tindakan ini seringkali dilaksanakan dengan cara “Suction” (penyedotan). Untuk tumor di fossa posterior, dilakukan “splitting” (pemisahan) korteks serebelum, biasanya vermis dan dilaksanakan suction untuk membersihkan tumor. Pembedahan pada meningoma biasanya sulit dilakukan karena sering terjadi perdarahan dan menyebabkan edema serebral. Pembedahan yang ideal pada tumor hipofisis dilakukan pengangkatan tumor beserta kapsulnya, namun pada kenyataannya kapsula tumor dibuka dan tumor dikuret atau disedot. Pembersihan atau pembuangan tumor ini sering inkomplit, tapi dekompresi chiasma dan nervus optikus dapat tercapai. Bila tumor menyebabkan hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel III atau akuaduktus maka biasnya dilakukan ventrikulosisternotomy dengan cara memasang tube dari ventrikel lateral ke sisterna magna.
 Ukuran tumor dan jumlah tumor, analisis yang terliti dari pemeriksaan radiologi bisa memberikan gambaran apakah tumornya infiltratif atau berdiferensiasi baik sehingga sangat resektabilitas tumor.
 Status neurologis preoperatif penderita merupakan faktor yang sangat penting pada penderita dengan defisit neurologis yang berat oleh karena tumor yang besar perlu tindakan dekompresi segera. Defisit neurologis oleh karena pertumbuhan infiltratif dari tumor biasanya permanen dan tidak reversibel setelah operasi, kecuali kalau kejadiannya baru. Reseksi yang agresif kadang-kadang menyebabkan defisit neurologis justru bertambah setelah penderita dioperasi.
 Kalau tumor multipel maka perlu pemeriksaan neurologis klinis yang seksama untuk menentukan tumor yamg memberikan gejala yang lebih dominan untuk diangkat terlebih dahulu kalau tidak mungkin mengangkat tumor sekaligus.
 Kondisi umum dan umur penderita juga sangat menentukan strategi penanganan penderita.
 Komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan bedah antara lain edema otak, perdarahan, hidrosefalus postoperatif, dan infeksi postoperatif.
TERAPI RADIASI
Pada kasus-kasus yang tidak lagi resektabel atau tidak layak operasi atau pun menolak operasi maka radioterapi harus berperan sebagai modalitas tunggal. Kasus ini terjadi pada tumor yang letaknya sentral, pada batang otak, ventrikel III, dan pada tumor metastatik.
Sebagai terapi kombinasi maka radioterapi pada pengobatan tumor intrakranial dilakukan setelah pembedahan, yakni bertujuan untuk mengeradikasi sisa-sisa sel tumor yang masih tertinggal baik secara mikroskopik dan bila mungkin juga untuk tumor yang masih tampak Tindakan adjuvan dilakukan pada astrositoma multiforme, ependimoma, oligodendroglioma, dan kraniofariongioma.
Radioterapi mulai diberikan 2 minggu postoperasi. Area yang diradiasi dan arah sinarnya tergantung dari lokasi tumornya. Untuk tumor yang luas dan besar, dosis radiasi mula-mula diberikan 100 rad 2-3 kali, kemudian disusul 150 rad 2-3 kali, seterusnya dosis harian bisa 200 rad 1 minggu 5 kali atau 300 rad 1 minggu 3 kali. Pemberian radiasi ini dibarengi dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi yang secara bertahap diturunkan. Hal ini untuk mengurangi edema otak. Dosis total antara 4000-6300 rad tergantung dari jenis histopatologis sel maupun luas tumor.
Komplikasi radiasi pada SSP terdiri dari :
o Akut (komplikasi radiasi akut) terjadi pada saat pemberian radiasi. Biasanya berupa udem dari otak.
o Awal post radiasi (early post irradiation syndrome) terjadi beberapa minggu sampai 3-4 bulan setelah selesai radiasi. Biasanya berupa demyelinisasi yang bersifat temporer.
o Late reaction (reaksi lanjut) terjadi 4 bulan setelah selesai radiasi sampai 5 tahun setelah radiasi. Biasanya berupa nekrosis jaringan otak atau infark karena penutupan pembuluh darah.
KEMOTERAPI
Pada umumnya kemoterapi diberikan pada pasien tumor otak yang inoperabel dan biasanya dikombinasikan dengan radioterapi. Sitostatika yang mempunyai respons baik dan memberikan hasil yang baik bila dikombinasikan dengan radioterapi adalah dari golongan nitrosurea yaitu BCNU dan CCNU yang merupakan alkylating agents yang berfungsi meningkatkan perbaikan DNA dan menurunkan transpor ke dalam DNA. Selain obat golongan alkylating agents, dapat juga digunakan sitostatika lain yang juga dilaporkan cukup bermanfaat dalam pengobatan tumor otak, seperti : Vincristin, Cyclophosphamid, dan Methotrexate. Dapat juga dilakukan kombinasi sitostatika untuk mencegah resistensi.

Jumat, 24 Juni 2011

STROKE

MANIFESTASI KLINIK STROKE

     Umumnya penderita stroke mempunyai riwayat satu atau lebih faktor risiko stroke (misalnya : hipertensi, penyakit jantung, perokok, dan lain-lain), disertai adanya riwayat Transchient Ischemic Attack (TIA) atau stroke sebelumnya. Pada awal terjadinya stroke jarang ditemukan adanya nyeri kepala dan muntah ataupun dengan gangguan kesadaran. Biasanya ditemukan gejala-gejala dan tanda-tanda neurologik fokal (hemiparese / hemiplegia, hemi hipestesi, afasia, dan lain-lain) yang umumnya dirasakan pada saat bangun tidur atau sedang istirahat, kecuali pada stroke infark emboli terjadi biasanya saat aktifitas.
     Manifestasi klinik stroke dapat dibagi menjadi manifestasi klinik stroke perdarahan dan manifestasi klinik stroke berdasarkan letak lesi vaskular.

Berdasarkan etiologi

Manifestasi klinik stroke perdarahan
     Manifestasi klinik stroke perdarahan umumnya memiliki awitan akut, yang disertai nyeri kepala dan penurunan kesadaran dan kerapkali bersifat fatal. Sering terjadi saat beraktifitas atau peningkatan emosi, dan pada yang usia lebih tua, tanpa didahaului TIA. Gejala lainnya tekanan darah yang umumnya meninggi, walaupun kadang-kadang tidak jelas ada riwayat hipertensi.

Gejala klinik perdarahan subarahnoid (PSA)
     Biasanya dimulai dengan gejala berupa nyeri kepala dan muntah-muntah, yang biasanya berat. Yang dirasakan seperti pukulan atau letusan hebat pada kepalanya, penglihatan kabur atau ganda atau kaku pada kuduk beberapa hari sebelum adanya nyeri kepala dan muntah-muntah. Seringkali disertai penurunan kesadaran, sebagian lagi kembali sadar dalam beberapa saat. Biasanya yang bertahan hidup masih mempunyai risiko komplikasi vasospasme vaskularisasi dengan akibat terjadinya defisit neurologik. Umumnya ditemukan pada pasien yang lebih muda dan hanya sedikit dengan faktor risiko hipertensi, sebagian besar atas dasar lesi vaskular aneurisma dan Arteriovenous Malformation (AVM). Sebab pada AVM ini biasanya memberi gejala nyeri kepala yang berulang-ulang, pada tempat yang sama dank has. Terjadi perubahan dalam frekuensi, lama dan intensitas nyeri kepala merupakan prediksi akan pecahnya pembuluh darah tersebut. Pada pemeriksaan fisik biasanya ada kaku kuduk dengan defisit neurologik yang minimal. Dengan gejala karakteristik nyeri kepala, mual-muntah, dan kaku kuduk.

Gejala Klinik Perdarahan Intra Serebral (PIS)
     Gejala klinisnya tekanan darah umumnya meninggi, tapi tidak jelas adanya riwayat hipertensi, tidak pernah didahului TIA, awitan akut disertai nyeri kepala dan penurunan kesadaran, dapat terjadi pada saat aktivitas atau peningkatan emosi juga pada usia lebih tua.

Manifestasi klinik stroke Infark  
     Gejala klinis infark harus meliputi adanya 1 atau lebih faktor risiko stroke, riwayat Transchient Ischemic Attack (TIA) atau stroke sebelumnya, ada nyeri kepala dan muntah tetapi jarang timbul saat onset, adanya gangguan kesadaran, terdapat gejala dan tanda neurologik fokal (hemiparese / hemiplegia, hemihipestesi, afasia), dan defisit neurologik dirasakan saat bangun tidur / istirahat.

Berdasarkan Letak Lesi Vaskular

Gejala klinik pada stroke hemisferik
     Gejala yang timbul sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipestesi, bicara pelo dan lain-lain.
     Pada pemeriksaan umum :
Kesadaran
Penderita dengan stroke hemisferik jarang mengalami gangguan atau penurunan kesadaran, kecuali pada stroke yang luas. Hal ini disebabkan karena struktur-struktur anatomi yang menjadi substrat kesadara yaitu formatio reticularis di garis tengah dan sebagian besar terletak dalam fossa posterior. Karena itu kesadaran biasanya kompos mentis, kecuali pada stroke yang luas.
Tekanan darah
Biasanya tinggi, hipertensi merupakan faktor risiko timbulnya stroke pada lebih kurang 70 % penderita.
Fungsi vital lain
Umumnya baik. Jantung, harus diperiksa teliti untuk mengetahui adanya kelainan yang dapat menyebabkan emboli.
Pemeriksaan neurovaskuler
Langkah pemeriksaan yang khusus ditujukan pada keadaan pembuluh darah ekstrakranial yang mempunyai hubungan dengan aliran darah otak yaitu :
pemeriksaan tekanan darah pada lengan kiri dan kanan, palpasi nadi karotis pada leher kiri dan kanan, a. temporalis kiri dan kanan dan auskultasi nadi pada bifurcatio karotis komunis dan karotis interna di leher, dilakukan juga auskultasi nadi karotis interna pada orbita, dalam rangka mencari kemungkinan kelainan pembuluh ekstrakranial.
Pemeriksaan neurologi
Pada saraf otak, stroke hemisferik saraf otak yang sering terkena adalah :
Gangguan n. fasialis dan n. hipoglosus.
Tampak paresis n. fasialis tipe sentral (mulut mencong) dan paresis hipoglosus tipe sentral (bicara pelo) disertai deviasi lidah bila dikeluarkan dari mulut.
Gangguan konjugat pergerakan bola mata antara lain deviatio-konjugae, gaze paresis ke kiri atau kanan dan hemianopia. Kadang-kadang ditemukan sindroma Horner pada penyakit pembuluh karotis.
Gangguan lapangan pandang : Tergantung kepada letak lesi dalam jaras perjalan visual, hemianopia kongruen atau tidak. Terdapatnya hemianopia merupakan salah satu faktor prognostik yang kurang baik pada penderita stroke.
Pemeriksaan motorik :
Hampir selalu terjadi kelumpuhan sebelah anggota badan (hemiparesis). Dapat dipakai sebagai patokan bahwa jika ada perbedaan kelumpuhan yang nyata antara lengan dan tungkai hampir dipastikan bahwa kelainan aliran darah otak berasal dari daerah hemisferik (kortikal), sedangkan jika kelumpuhan sama berat gangguan aliran darah dapat terjadi di subkortikal atau pada daerah vertebro basiler.
Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemisensorik tubuh. Karena bangunan anatomik yang terpisah, gangguan motorik berat dapat disertai gangguan sensorik ringan atau gangguan sensorik berat disertai dengan gangguan motorik ringan.
Pemeriksaan reflek fisiologis dan patologis
Pada fase akut reflek fisiologis pada sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari reflek fisiologis akan muncul kembali didahului dengan reflek patologis.
Kelainan fungsi luhur
Manifestasi gangguan fungsi luhur pada stroke hemisferik berupa disfungsi parietal baik sisi dominan maupun non dominan.
Kelainan yang sering tampak adalah disfasi campuran (mixed-dysfasia) dimana penderita tidak mampu berbicara / mengeluarkan kata-kata dengan baik dan tidak mengerti apa yang dibicarakan orang kepadanya. Selain itu dapat juga terjadi agnosia, apraxia, dan sebagainya.

Gejala klinik stroke vertebro-basilar
     Gangguan vaskularisasi pada pembuluh darah vertebro-basilar, tergantung kepada cabang sistem vertebro basilar yang terkena.
     Diagnostik kelainan sistem vertebro-basilar adalah :
Penurunan kesadaran yang cukup berat.
Kombinasi berbagai saraf otak yang terganggu disertai vertigo, diplopia, dan gangguan bulbar.
Kombinasi beberapa saraf otak dan gangguan “long tract” sign : vertigo + parestesi keempat anggota gerak (ujung-ujung distal).
Jika ditemukan “long tract” signs pada kedua sisi maka penyakit vertebro-basilar hampir pasti.
Gangguan bulbar juga hampir pasti disebabkan karena stroke vertebro-basilar. Beberapa ciri khusus lain adalah : parestesia perioral, hemianopia altitudinal, dan skew deviation merupakan ciri disfungsi vaskuler sistem vertebro-basilar.

PENCEGAHAN

     Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu:

Pencegahan primordial (sebelum ada faktor risiko)

     Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga, mengingat timbulnya proses pengerasan pembuluh darah/arterosklerosis terjadi sejak usia muda, sebelum usia 20 tahun dan dalam hal ini terkait pula beberapa perilaku dan keadaan yang memicu timbulnya stroke.

Kebiasaan makanan yang salah, seperti jeroan, sate, humberger, steak berlemak, mie instant, steak dan gula secara berlebihan.
Kebiasaan minum minuman yang berenergi.
Polusi udara dan asap rokok yang dapat memicu pembuluh darah cenderung mengeras, dan akhirnya tersumbat.
Mengkonsumsi penyedap makanan dalam berbagai snack.

     Selain itu dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat.

Pencegahan primer (setelah ada faktor risiko)

     Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke. Meliputi pengendalian tekanan darah tinggi (antara 140/90 mmHg), kencing manis, lemak, darah tinggi, penyakit jantung, kegemukan dan merokok.

Pencegahan sekunder

     Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis atau berulang. Yaitu dengan mengendalikan faktor risiko, minum obat seumur hidup seperti aspirin, anti oksigen seperti vitamin A, C, E dan antikoagulan yang dapat mempengaruhi irama jantung.
     Kunci dari pencegahan dan penyembuhan stroke itu sendiri dan mengendalikan faktor risiko, menjalani cara hidup bebas risiko, seperti menghindari pola makan berlebihan, olahraga teratur, dan menghindari stres.
     Stroke bisa sembuh total jika terdeteksi sejak awal apalagi jika ditangani dengan cepat, tepat, dan akurat pada saat terjadi serangan, khususnya stroke yang bukan pendarahan. Tetapi kalau sudah akut, kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, bahkan kalau terlambat bisa membawa kematian dan cacat besar, jika termasuk kategori akut maka sangat sulit untuk bisa sembuh total. Mereka masih harus menjalani pengobatan dan rehabilitas seumur hidup. Pengobatan yang dilakukan juga terbatas untuk mengurangi rasa sakit jika stroke sewaktu-waktu kambuh, dan yang tak kalah penting segera bawa ke rumah sakit jika ada anggota keluarga yang mendadak terserang stroke karena waktu emas stroke adalah antara 3 sampai 6 jam. Artinya jika lebih dari waktu tersebut pasien belum mendapat penanganan maka risiko keselematannya jadi begitu kecil.
     Namun beberapa ahli membagi pencegahan terjadinya stroke ke dalam beberapa kategori sebagai berikut, dimana yang terutama dalam pencegahan ini adalah dengan pengaturan faktor risiko (risk factor management):

1. Pengaturan risiko dilihat dari gaya hidup

Diet dan Nutrisi
     Kadar kolesterol yang tinggi dalam darah merupakan faktor risiko besar bagi stroke. Karena itu diet yang seimbang sangatlah penting. Selain itu, kadar sodium (garam) yang tinggi diketahui dapat meningkatkan tekanan darah, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke.

Aktifitas Fisik
     Aktifitas fisik membantu mengontrol banyak faktor risiko yang berhubungan dengan stroke. Dengan sirkulasi darah yang baik, oksigenasi menjadi baik, sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Dengan latihan fisik yang teratur, menunjukkan adanya penurunan kadar trigliserid, dan membantu mencegah obesitas.

Merokok
     Merokok meningkatkan kemungkinan terjadinya stroke dan berbagai kelainan yang berhubungan dengan stroke, seperti penyakit cardiovascular. Nikotin (zat aditif pada rokok) meningkatkan tekanan darah dan mengarah kepada perkembangan hipertensi. Asap rokok yang mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, termasuk 43 jenis yang dapat menyebabkan kanker, penebalan pembuluh darah, yang mengarah kepada pembentukkan clot. Berdasarkan jurnal dari American Heart Association, menunjukkan bahwa risiko dari stroke tergantung pada banyak rokok yang dihisap setiap harinya. Orang yang merokok dan orang yang tidak merokok mempunyai risiko yang sama terhadap terjainya stroke, namun dengan tidak merokok dapat mengurangi risiko terjadinya stroke. Bahkan perokok pasif pun memiliki risiko yang tinggi terhadap stroke, karena asap rokok mengandung bahan kimia yang berbahaya.

Penyalahgunaan obat-obatan
    Penggunaan zat-zat/obat-obatan, baik yang illegal maupun yang terkontrol, terbukti dapat meningkatkan risiko dari stroke. Kokain dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah yang kemudian dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah baik yang mengarah ke otak, maupun yang berada di dalam otak.

Alkohol
     Penelitian menunjukkan penggunaan alkohol yang berlebih (2 gelas atau lebih perhari) dapat meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah yang tinggi (hipertensi) merupakan faktor risiko mayor untuk stroke.

Obesitas
    Obesitas meningkatkan keumungkinan terjadinya hipertensi dan tingginya kadar kolesterol dalam darah, dimana keduanya merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya stroke. Beberapa penelitian menganjurkan penurunan berat badan sampai berat badan ideal. Diet dan aktivitas fisik merupakan terapi untuk mengatasi obesitas.

2. Pengaturan kondisi yang berisiko

     Pada beberapa kasus, keadaan medis yang melibatkan seseorang yang berisiko terhadap stroke dapat dihilangkan atau dikontrol dengan modifikasi gaya hidup. Mereka juga dapat dirawat secara medis mulai dari terapi dengan menggunakan obat-obatan sampai dengan terapi bedah.

Abnormalitas pembuluh darah
     Yang termasuk abnormalitas dari arteri maupun vena cerebral adalah Arteriovenous Malformations (AVMs) dan Arterivenous Fistulas (AVFs).

Cerebral Aneurysm (Unruptured)
     Risiko utama jika terjadinya cerebral aneurysm adalah jika terjadi rupture, sehingga menyebabkan stroke.

Pencegahan tertier

     Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga.

a. Rehabilitasi Fisik
     Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain.

b. Rehabilitasi Mental
     Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat mempengaruhi mental mereka. Masalah emosional yang mereka alami akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis.

c. Rehabilitasi Sosial
     Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang.

PENATALAKSANAAN

     Walau penanganan stroke saat ini telah banyak mengalami kemajuan tetapi angka kecacatan dan angka kematian masih tinggi. Keberhasilan penanganan pasien stroke sangat tergantung pada rangkaian tahapan-tahapan terapi, yaitu meliputi pengenalan gejala-gejala dan tanda-tanda stroke oleh penderita, keluarga atau orang disekitar penderita, sistem komunikasi yang baik antara masyarakat dan rumah sakit dan fasilitas pengiriman penderita ke rumah sakit. Selain itu yang juga berperan sangat penting adalah instalasi gawat darurat, yang harus segera melakukan evaluasi penderita, termasuk pemeriksaan CT-scan kepala, penentuan diagnosis dan rencana penanganan, dan pengobatan umum termasuk tindakan bedah bila diperlukan. Dan satu hal yang sangat berperan adalah perlengkapan atau sarana perawatan dan rehabilitasi dini (PERDOSSI, 2007)

     Berdasarkan waktu penatalaksanaannya. Penatalaksanaan stroke dapat dibagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan pada fase akut dan pasca akut / rehabilitasi. Untuk penanganan stroke akut di unit gawat darurat antara lain:
Stabilisasi segera pasien dengan tindakan ABC
Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor / koma / gagal nafas
Pasang jalur infus intravena (IV) dengan larutan salin normal 0,9% dengan kecepatan 20ml / jam. Jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrosa 5% dalam air dan salin 0, karena dapat memperberat edema otak
Berikan O2 2 – 4 liter / menit melalui kanul hidung
Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto thorak
Tegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
CT-Scan / MRI, bila tidak ada dengan Skor Siriraj
Ambil sample darah untuk pemeriksaan darah perifer lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum dan kreatinin), masa protrombin dan tromboplastin parsial
Jika ada indikasi lakukan tes : kadar alkohol, fungsi hati, gas darah arteri dan skrining toksikologi
Selama tahap akut bila ditemukan edema otak dengan tanda dan gejala peningkatan intrakranial  kortikosteroid (prednison atau dexametason)
Bila ditemukan emboli janting  antikoagulan (heparin IV)

Penatalaksanaan Stroke Iskemik

      Tujuan penatalaksanaan stroke iskemik adalah untuk mencegah kematian, mencegah sebanyak mungkin kecacatan, mencegah dan mengobati komplikasi, membantu memulihkan penderita.
     Membatasi / memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3 – 6 jam pertama) menggunakan trombolisis dengan recombinant tissue – plasminogen activator (rt-PA). Pengobatan ini hanya boleh diberikan pada stroke iskemik dengan waktu onset kurang dari 3 jam dan hasil computed tomography (CT) scan normal.
     Mencegah perburukan neurologis yang berhubungan dengan stroke yang masih berkembang (sampai 72 jam). Progresivitas stroke terjadi pada 20-40 % pasien stroke iskemik yang dirawat, dengan risiko terbesar dalam 24 jam pertama sejak onset gejala. Perburukan klinis dapat disebabkan oleh salah satu mekanisme sebagai berikut:
Edema yang progresif dan pembengkakkan akibat infark
Terjadi pada infark luas, edema otak puncaknya pada hari 3 – 5 setelah onset stroke. Jarang menimbulkan masalah dalam 24 jam pertama. Diterapi dengan manitol, hindari cairan hipnotik dan steroid tidak efektif.
Ekstensi teritori infark
Disebabkan oleh trombosis yang progesif dalam sebuah pembuluh darah yang tersumbat, diterapi dengan heparin.
Konversi hemoragis
Masalah ini diketahui dari radiologi tapi jarang menimbulkan gejala klinik. Tiga faktor risiko utama adalah usia lanjut, ukuran infrak yang besar dan hipertensi akut. Jangan memberikan antikoagulan pada pasien dengan risiko tinggi  selama 48 – 72 jam pertama setelah onset stroke. Bila ada hipertensi obati dulu.
     Mencegah stroke berulang dini (dalam 30 hari sejak onset gejala strok), biasa terjadi pada sekitar 5% pasien. Risiko paling tinggi (10%) pada pasien dengan stenosis karotis berat dan kardioemboli. Resiko paling rendah (1%) pada pasien dengan infrak lakuner. Terapi dini dengan heparin dapat mengurangi risiko stroke berulang dini pada pasien dengan kardioemboli
     Terapi Farmakologi :
Obat anti thrombosis
Aspirin 300 mg/hari atau dengan kombinasi dipidamol + aspirin 25 mg 2x sehari dan ditingkatkan secara bertahap (7-14 hari)
Monoterepi : klopidogrel 75 mg/hari jika tidak dapat mentoleransi aspirin
Terapi reperfusi, thrombolisis : streptokinase, urokinase, tPA
Antikoagulan
Heparin
Dimulai 800 U/jam, cek aPTT (setelah 6 jam).Bila dosis diberikan 1,5 kali kontrol, tingkatkan 100 U/jam. Sedang bila dosis diberikan > 2,5 kali kontrol, turunkan dosis 100 U/jam.
Low molecular weight heparin
Dosis 2 x 0,4 cc subcutan selama 5-7 hari. Pantau trombosit hari 1 dan 3 ( < 100.000 tidak diberikan )
Coumarin : walfarin (diberikan pada malam hari)

Penatalaksanaan stroke haemorrhagic
     Pastikan massa protrombin dan thromboplastin normal, jika masa protrombin memanjang berikan plasma beku segar 4- 8 unit IV setiap 4 jam dan vitamin K 15 mg IV bolus, kemudian berikan 3x sehari 15 mg SC sampai masa protrombin normal.
     Kendalikan hipertensi:
Tekanan darah sistol lebih dari 180 mmHg turunkan menjadi 150-180 mmHg dengan labetolol 20 mg IV selama 2 menit, lalu ulangi dengan dosis 40-80 mg IV dengan interval 10 menit.
ACE inhibitor : berikan kaptopril 12,5-25 mg dengan dosis 2-3 kali sehari.
Ca bloker : berikan nofesipin oral 4x10 mg.
     Untuk pasien koma atau tanda-tanda intracranial meningkat atau adanya kemungkinan herniasi berikan manitol 20% (1 kg/kgBB IV dalam 20-30 menit). Bila ada gejala kejang berikan antikovulsan (fenitoin 10-20 mg/kgBB IV) pada pasien dengan perdarahan luas dan penurunan kesadaran. Dapat juga dilakukan pembedahan.



PROGNOSIS

     Prognosis bergantung jenis, tingkatan stroke dan lamannya obstruksi atau perdarahan dan luasnya jaringan otak yang mati. Sebagian besar penderita menjadi tidak mampu berjalan, berbicara, melihat, mengerti atau bahkan mengingat.
Sekitar 70% penderita stroke iskemik dapat memperoleh kemandirian dan 10% hampir sembuh sempurna. Sekitar 25% penderita mati akibat stroke. Stroke hemoragik umumnya mempunyai prognosis yang lebih jelek daripada stroke iskemik.

Kamis, 31 Maret 2011

MOTOR NEURON DISEASE (MND)

Motor Neuron Disease (MND) adalah suatu penyakit mematikan yang sudah dikenal sejak abad ke-19. Penyakit ini unik karena ditemukannya tanda-tanda Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN) secara bersamaan pada seorang penderita. Karena relatif jarang ditemukan , sering seorang dokter luput mendeteksi gejala-gejala penyakit ini bahkan banyak yang mendiagnosanya sebagai stroke.
Pada MND dijumpai adanya degenerasi progresif yang khas dari medulla spinalis, batang otak dan 1korteks serebri. Gejala klinisnya bervariasi dengan gambaran khas berupa disfungsi safar tipe UMN maupun LMN. Penyebab pastinya belum diketahui. Berbagai macam obat telah dicoba dan diteliti, tetapi sampai saat ini tidak ada satupun yang efektif.
Kata kunci: MND, ALS, UMN, LMN, anterior horn cells, amiotrofi, riluzole.
PENDAHULUAN
Kelemahan otot progresif telah dikenali sejak awal abad ke-19 oleh Sir Charles Bell, Marshall Hall dan Todd. Aran (1850) menggunakan istilah progressive muscular atrophy (PMA) 1,2,3,4. Duchene (1849) juga telah menggambarkan penyakit dengan gejala yang serupa. Bell berpendapat bahwa atrofi otot progresif ini terjadi sebagai akibat kelainan mielopatik sedangkan Aran dan Duchene menyatakan akibat kelainan miopatik. Charcot (1869) menggunakan istilah la sclerose laterale amyotropique atau Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang mencakup sindrom klinis berupa atrofi otot progresif , fasikulasi dan kontraksi spasmodik permanen 1,2,3,5,6. Istilah amiotrofi digunakan untuk menunjukkan kelemahan otot dan atrofi
yang terjadi sebgai akibat denervasi1. Duchene (1869) menggambarkanprogressive
bulbar palsy (PBP) 1,2,3.
Istilah 'motor neuron disease' (MND) diperkenalkan oleh Brain (1962) setelah melihat adanya hubungan antara PMA , ALS dan PBP yang dilihat dari variasi klinis terlibatnya upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN) serta dari topografi rusaknya anterior horn cells dan kelemahan otot 3 .Di Inggris, ALS adalah bagian dari MND sedangkan di Amerika Serikat dan negara-negara yang berbahasa Perancis, istilah ALS lebih lazim dipakai sebagai nama lain dari MND 1,3
KLASIFIKASI
Motor Neuron Disease digolongkan atas : 3
1. Amyotrophic Lateral Sclerosis (80%)
2. Progressive bulbar palsy (10%).
3. Progressive muscular atrophy (8%)
4. Primary lateral sclerosis (2%)
5. Juvenile MND.
6. Monomelic MND.
7. Familial MND.
©2004Digitized by USU digital library 1
Beberapa bentuk MND atipikal dengan insidens familial yang tinggi telah ditemukan, yaitu ALS familial, ALS Guamanian, ALS Semenanjung Kii di Jepang, ALS pada orang Auyu dan Jaki di New Guinea Barat dan ALS familial juvenilis 5.
EPIDEMIOLOGI
MND hanya dapat terjadi pada manusia dan melibatkan sistem piramidalisnya8 Biasanya melibatkan bagian distal dari lengan tetapi dapat juga melibatkan bagian distal dari satu atau kedua tungkai. Tangan kanan lebih sering dikenai dari tangan kiri. Diduga bahwa motor neuron yang berfungsi mengatur gerakan trampil (halus) lebih mudah mengalami degenerasi pada MND 1,8 .Pria lebih banyak dikenai dari wanita 1,6,9 .Orang kulit putih lebih sering dikenai daripada kulit hitam 9
Prevalensi MND bervariasi di berbagai tempat. Berdasarkan laporan yang ada prevalensi terendah dijumpai di Meksiko (0,8 per 100.000 penduduk) dan yang tertinggi di lnggris (7,0 per 100.000 penduduk). Prevalensi yang relatif tinggi juga dilaporkan pada suku Komoro yang hidup di Pulau Guam di Pasifik Barat, di Semenanjung. Kii (Jepang) dan di New Guinea Barat 4 .lnsidens MND juga bervariasi antara 0,1 -0,58 per 100.000 penduduk per tahun dengan rata-rata 1,36 per 100.000 penduduk per tahun 3 .Mortalitas akibat MND kira-kira 1 daTi 800 pria dan 0,5-1,1 daTi 100.000 penduduk 4,6 .
MND familial mencakup lebih kurang 5-10% dari seluruh kasus MND. Pada kebanyakan kasus MND familial pola penurunannya adalah otosomal dominan dan hanya beberapa kasus yang diturunkan secara otosomal resesif 1,4,9,10,11,12 .
Di Indonesia penelitian mengenai MND hanya sedikit dilakukan. Gajdusek (1962) pernah melaporkan bahwa di beberapa desa di Irian lara ditemukan 10-20% penduduknya mengalami atrofi otot-otot thenar dan hipothenar, yang pada pengamatan lebih lanjut temyata sebagian besar menderita MND .
Di Bagian Neurologi FK USU/RS H.Adam Malik Medan pada tahun 1998 telah dirawat 3 orang penderita yang didiagnosa sebagai MND.
PATOLOGI
MND merupakan penyakit kronis dengan karakteristik adanya degenerasi progresif dari LMN di anterior horn cells medulla spinalis dan nukleus safar kranial di batang otak, serta UMN di korteks serebri 4,6. Pada banyak kasus, otak dan medulla spinalis tetap normal secara makroskopis kecuali perubahan yang terjadi akibat proses penuaan 5. Menariknya pada sebagian kasus terlihat adanya atrofi selektif dari girus presentralis seperti yang telah digambarkan oleh Kahler dan Pick pada tahun 18795,9) .Atrofi medulla spinalis yang luas hanya ditemukan pada kasus- kasus yang kronis, tetapi sebaliknya sering juga dijumpai adanya atrofi dari akar safar spinalis anterior. Bisa juga terlihat adanya perubahan wama sklerotik dan penciutan traktus kortikospinalis lateralis. Otot-otot skeletal di bagian distal mengalami atrofi, menciut, pucat dan fibrotik 4
Adams dkk. menyatakan yang terpenting adalah rusaknya sel-sel neuron pada anterior horn medulla spinalis dan nukleus motorik di bagian bawah batang otak 1 . Neuron besar cenderung lebih terlibat dari yang kecil. Sel yang rusak ini digantikan oleh astrosit fibrous. Kebanyakan sel neuron yang bertahan menjadi mengecil, berkerut dan berisi lipofusin, kadang-kadang terlihat adanya inklusi sitoplasmik.
Secara histopatologik, gambaran utama dari MND meliputi 5 : (1). Berkurangnya motor neuron yang besar dengan astrogliosis fokal ; (2). Senescent changes; (3). Inklusi intrasitoplasmik ; (4). Aksonopati proksimal dan distal dengan sferoid aksonal ; (5) Degenerasi traktus dan (6) Degenerasi serabut motorik, motor end-plates dan atrofi otot
©2004Digitized by USU digital library 2
Berkurangnya motor neuron di korteks, batang otak dan medulla spinalis bervariasi pada tiap kasus. Berkurangnya sel-sel Betz pada korteks motorik pertama kali ditemukan oleh Charcot dan Marie pada tahun 1885 dan telah diterima sebagai gambaran patologik utama dari MND 1,5,7,11 .Mereka juga menemukan adanya degenerasi traktus kortikospinalis dari korteks motorik ke kapsula intema, pedunkulus serebri, pons, medulla oblongata dan medulla spinalis.
Penemuan mikroskopis yang paling konsisten adalah akumulasi granullipofusin pada perikarion yang mengalami atrofi. Perubahan ini sering disalah interpretasikan sebagai senescent changes karena perubahan pigmen ini khas dijumpai pada neuron khususnya neuron pada orang tua.
Dari perubahan pada neuron yang sangat bervariasi pada MND , yang paling penting adalah inklusi intrasitoplasmik berupa inklusi eosinofilik (Bunina Bodies), inklusi basofilik, inklusi hialin dan inklusi konglomerasi 5.
Mori dkk (1986) menemukan adanya ubiquitin, suatu polipeptida yang mengandung 76 buah asam amino, dan belakangan diketahui merupakan bagian dari
Lewy bodies. Traktus yang paling sering mengalami degenerasi pada penderita MND adalah traktus kortikospinalis 5,7 .Luasnya degenerasi tidak selalu berhubungan dengan gejala klinisnya. Degenerasi bisa terjadi asimetris dan bisa mengenai kolumna anterolateral, kolumna spinoserebellar dan Clarke, kolumna posterior atau basal ganglia.
Setelah demonstrasi adanya degenerasi traktus piramidalis pada MND oleh Charcot (1874), beberapa peneliti menemukan adanya degenerasi traktus piramidalis yang meluas ke korteks serebri sampai di substansia alba subkortikal berdekatan dengan daerah asal neuron-neuron upper motor. Ditemukan juga adanya degenerasi serabut-serabut dan gliosis reaktif pada beberapa area serebrum lainnya misalnya pada talamus, globus pallidus, ansa dan fasikulus lentikularis serta hipotalamus. Dibatang otak, degenerasi inti motorik sarafotak ke 5,7,9,10,11dan 12 dijumpai pada penderita MND. Biasanya saraf otak ke 3,4 dan 6 tidak terlibat 7.
Selain hal-hat tersebut di atas, lesi pada neuron-neuron lower motor pada MND bervariasi dari atrofi dan hilangnya dendrit sampai hilangnya anterior horn cells
secara total 7 .Kebanyakan kasus MND familial mempunyai gambaran patologi yang
mirip dengan MND sporadis di mana juga dijumpai berkurangnya anterior horn cells
dan degenerasi traktus kortikospinalis 10.
Pengamatan makroskopis pada safar tepi yang mengalami atrofi pada anterior root menunjukkan adanya penurunan diameter serabut saraf. Saraf tepi lainnya menunjukkan gambaran normal atau hanya sedikit mengalami atrofi. Pada beberapa kasus ditemukan adanya kerusakan pada akson dari safar frenikus, suralis, peroneus profunda clan superfisialis serta pada akar saraf servikalis dan lumbalis bagian ventral.
Atrofi otot yang jelas telah disebutkan pada beberapa laporan awal tentang MND. Secara histologis terlihat adanya gambaran infiltrasi lemak yang khas pada sel-set otot dan gambaran atrofi akibat denervasi. Adanya atrofi serabut otot ini dihubungkan dengan kerusakan motor neuron alfa di medulla spinalis. Kadang- kadang terlihat serabut yang hipertrofik atau distrofiko Biopsi menunjukkan timbulnya 'tunas' baru dari akson serabut safar yang tersisa di dalam otot, sekunder
terhadap denervasi 7
ETlOLOGI
MND adalah penyakit mematikan dengan etiologi yang belum diketahui 1,4,6,9,10,12,13 Berapa faktor juga merupakan penyebab penyakit ini, yaitu :
1. Toksin
2. Proses penuaan dini (premature aging)
3. Defisiensi faktor trofik
©2004Digitized by USU digital library 3
4. Infeksi virus
5. Gangguan metabolisme
6. Otoimun.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran khas dari MND adalah adanya disfungsi saraf baik tipe UMN maupun LMN 1,3,11 .Pada MND ditemukan adanya atrofi, parese dan fasikulasi dengan hiperrefleks, respon ekstensor dan pada beberapa kasus spastisitas. Gejala awal yang sering antara lain fatigue, kram otot, tungkai menyeret atau kesulitan melakukan pekerjaan dengan satu tangan. Gejala-gejala ini biasanya asimetris dan sering hanya mengenai satu anggota gerak walaupun pada saat diperiksa umumnya sudah ditemukan defisit neurologis yang lebih luas. Gejala lain termasuk atrofi otot, nyeri dan kram otot, fasikulasi dan langkah yang kaku 3
Bila kerusakan UMN relatif lebih dominan , gejala utamanya bisa berupa spastisitas, kekakuan dan klonus kaki. Keterlibatan bulbar biasanya berupa kombinasi UMN dan LMN dan menyebabkan suara serak , perubahan artikulasi dan suara sengau 3
Lidah biasanya dikenai secara simetris, gerakannya melambat, dijumpai fasikulasi dan atrofi. Bila spastisitas dan parese berlanjut bisa terjadi disfagia.
Gangguan sensoris biasanya tidak dijumpai pada MND , tetapi kadang-kadang
bisa dijumpai parestesia, perasaan dingin dan perasaan tebal (numbness) 1,3,7
Jarang dijumpai adanya gangguan miksi dan defekasi, kecuali terjadi paralise yang berat dari otot-otot skelet yang melibatkan otot-otot gluteus dan daerah sakral.
Hal ini karena nukleus Onuf yang terdapat di anterior horn safar spinal S2 dan S3 relatifr asisten terhadap denervasi yang terjadi pada MND 3,7
Fungsi otonom umurnnya normal 3,7 .Penderita MND tidak mengalami dekubitus sekalipun pada tahap lanjut karena fungsi sensorik dan regulasi otonom dari aliran darah kulit berjalan baik. Demensia bisa ditemukan pada 3-5% penderita
MND tetapi tipenya berbeda dengan dernensia tipe Alzheimer dan biasanya menunjukan demensia lobus frontalis1,3,15
Pada progressive bulbar palsy gejala awal yang menonjol adalah kelemahan dari otot-otot yang diinervasi oleh nukleus motorik di batang otak bagian bawah, misalnya otot-otot rahang, wajah, lidah faring dan laring 1,6 .Gejala klinis utamanya adalah disartria, disfonia, kesulitan mengunyah, salivasi dan disfagia. Lidah lumpuh dengan tanda-tanda atrofi dan fasikulasi yang menonjol. Kadang-kadang disertai kelumpuhan otot-otot wajah. Secara klinis terlihat adanya keterlibatan UMN dan LMN dengan lidah yang spastis , refleks jaw-jerk yang meninggi seperti juga pada anggota gerak 3
Pada progressive muscular atrophy yang menonjol adalah keterlibatan LMN dari otot-otot ekstremitas tanpa gambaran keterlibatan UMN yang jelas 1,3,9 .Tetapi refleks tendon yang menurun membedakannya dari progressive spinal muscular atrophy. Biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan tidak ada riwayat penyakit yang mirip dalam keluarga .Pada 50% kasus PMA terlihat atrofi dari otot-otot intrinsik tangan yang simetris yang secara perlahan berlanjut ke proksimal. Perjalanan penyakitnya lebih lambat dari tipe lain 1 .Bentuk infantil dari PMA bermanifestasi seperti floppy infant dan disebut penyakit Werdnig-Hoffinan. Variasi yang lain dengan distribusi ke proksimal dikenal sebagai penyakit Kugelberg-Welander . Traktus kortikospinalis tidak terlibat dan tidak ada gangguan sensoris 6
Penderita primary lateral sclerosis menunjukkan paraparese spastik yang berjalan lambat lain melibatkan otot-otot lengan dan orofaring 1,3 .Tipe ini sangat jarang dijumpai .Penyakit dimulai pada usia dewasa dengan tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinalis sekunder terhadap rusaknya neuron motorik di korteks serebri
©2004Digitized by USU digital library 4
.Tidak dijumpai atrofi maupun fasikulasi 6. Fungsi sfingter biasanya baik 3. Pada beberapa penderita dijumpai hemiparese spastik yang progresif yang dikenal sebagai
varian Mills. Setelah beberapa tahun gerakan jari-jari melambat, lengan menjadi spastik dan terjadi gangguan berbicara Pringle dkk. menyarankan kriteria diagnostik yang penting yaitu suatu perkembangan penyakit selama 3 tahun tanpa bukti keterlibatan LMN 1.
DIAGNOSA DAN PEMERlKSAAN
Yang terpenting untuk menegakkan diagnosa MND adalah diagnosa klinis 3,4 Karena belum ada pemeriksaan khusus untuk MND, maka diagnosa pasti baru dapat diketahui pada otopsi post-mortem dengan memeriksa otak ,medulla spinalis dan otot penderita. Gejala utama yang menyokong diagnosa adalah adanya tanda-tanda
gangguan UMN dan LMN pada daerah distribusi saraf spinal tanpa gangguan sensoris dan biasanya dijumpai fasikulasi spontan. Gambaran khasnya berupa kombinasi tanda-tanda UMN dan LMN pada ekstremitas dengan adanya fasikulasi lidah 10
Implikasi dari penegakan diagnosa MND adalah bahwa kita menegakkan adanya suatu penyakit yang akan berkembang terus menuju kematian. Jadi penting sekali untuk menegakkan diagnosa secara teliti dengan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain dengan melakukan pemeriksaan yang lengkap dan sesuai. Pemeriksaan elektrofisiologis, radiologis, biokimiawi, imunologi dan histopatologi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya.
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menegakkan .diagnosa MND 3 .Rekaman EMG menunjukkan adanya fibrilasi dan fasikulasi yang khas pada atrofi akibat denervasi 15
Pemeriksaan biokimiawi darah penderita MND kebanyakan berada dalam batas normal 3,14 .Punksi lumbal dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa MND. Protein cairan serebrospinal sering dijumpai normal atau sedikit meninggi 1,3,6,9 .Kadar plasma kreatinin kinase (CK) meninggi sampai 2-3 kali nilai normalnya pada sebagian penderita 3,4,6, tetapi penulis lain menyatakan kadarnya normal atau hanya sedikit meninggi 1,9. Enzim otot carbonic anhydrase III (CA III) merupakan petunjuk yang lebih sensitif 3.
Pemeriksaaan radiologis berguna untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa lainnya .MRI dan CT-scan otot bermanfaat untuk membedakan atrofi otot
neurogenik dari penyakit miopatik dan dapat menunjukkan distribusi gangguan penyakit ini 3 .MRI mungkin dapat menunjukkan sedikit atrofi dari korteks motorik dan degenerasi Wallerian dari traktus motorik di batang otak dan medulla spinalis 1 .
Block dkk mendemonstrasikan kemampuan proton magnetic resonance spectroscopy untuk mendeteksi perubahan metabolik pada korteks motorik primer dari penderita MND yang sesuai dengan adanya kerusakan sel neuron regional dan berbeda secara bermakna dengan orang sehat atau penderita neuropati motorik 16,17
Biopsi otot mungkin perlu dilakukan untuk membedakan MND yang menimbulkan slowly progressive proximal weakness dari miopati 1,11. Bila dilakukan biopsi otot, terlihat serabut otot yang mengecil dan hilangnya pola mosaik yang nomlal dari serabut-serabut otot .
Diagnosa MND menurut El Escorial Criteria For ALS Diagnosis adalah 18 :
1. ALS:
􀂃 tanda UMN dan LMN pada regio bulbar dan minimal 2 regio spinal, atau
􀂃 tanda UMN dan LMN pada 3 regio spinal.
2. Kemungkinan besar ALS (probable ALS) :
􀂃 tanda UMN dan LMN pada minimal 2 regio (beberapa tanda UMN harus restoral terhadap tanda LMN)
3. Kemungkinan ALS (possible ALS) :
©2004Digitized by USU digital library 5
􀂃 tanda UMN dan LMN hanya pada 1 regio atau
􀂃 hanya tanda UMN pada minimal 2 regio atau
􀂃 tanda LMN rostral terhadap tanda UMN.
4. Curiga ALS (suspected ALS) :
􀂃 tanda LMN pada minimal 2 regio.
Handisurya dan Yan Utama 6 mengajukan kriteria diagnostik MND berdasarkan :
1. Anamnesa: adanya kelemahan yang progresif.
2. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai :
a. adanya gangguan motorik.
b. tidak ada gangguan sensorik.
c. tidak ada gangguan fungsi otonom.
d. didapat salah satu atau keduanya dari tanda-tanda LMN (atrofi, fasikulasi) dan tanda-tanda UMN (peninggian refleks tendon pada ekstremitas yang atrofi, refleks patologis yang positif).
3. Pemeriksaan penunjang :
a. laboratorium: kadar protein dalam CSS normal atau sedikit meninggi.
b. Enzim CPK meningkat (pada 70% kasus).
c. EMG: terdapat adanya potensial denervasi dan otot-otot yang dipersarafi oleh dua atau lebih akar safar pada setiap tiga daerah atau lebih (ekstremitas, badan, kranium). Biasanya terdapat potensial sinkron, kadang-kadang terdapat giant potential.
d. KHS: normal
e. Biopsi otot : terdapat gambaran histologis yang sesuai dengan atrofi neurogen.
f. Biopsi saraf: tidak terdapat kelainan pada safar
DIAGNOSA BANDING
1. Syringomyelia. Biasanya ditemukan otot-otot ektremitas superior dan otot-otot bulbar yang mengecil.
2. Spondilitis servikalis. Bisa dijumpai kombinasi lesi UMN dan LMN pada otot-otot ekstremitas superior. Biasanya disertai gangguan sensoris.
3. Neuropati motorik. Dijumpai gangguan konduksi saraf motorik dengan penurunan refleks tendon dan sedikit gangguan sensoris.
4. Miopati hipertiroidi. Dapat berupa kelumpuhan otot-otot dengan keterlibatan bulbar. Bisa dijumpai fasikulasi tetapi tidak ada tanda-tanda gangguan traktus kortikospinalis dan biasanya dijumpai tanda klinis hipertiroidi.
5. Spinal muscular atrophy. Berbeda dengan MND karena tidak ada keterlibatan traktus kortikospinalis, biasanya berjalan lambat dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.
6. Multiple entrapment neuropathies. Biasanya disertai gangguan sensibilitas, nyeri dan Tinel's sign yang positif.
7. Multiple sclerosis. Biasanya disertai neuritis optika, diplopia dan gangguan otot-otot ekstraokular serta adanya tanda-tanda keterlibatan serebellar.
8. Penyakit vaskular multifokal. Keadaan ini dapat menyebabkan pseudobulbar palsy dengan tetraparese spastik tanpa gangguan sensoris. Tetapi biasanya disertai riwayat stroke berulang dan sering pula disertai dengan gangguan pada gerakan bola mata.
9. Sindroma post poliomielitis. Adanya kelumpuhan baru dari otot-otot disertai atrofi yang terjadi pada otot-otot yang sebelumnya telah atau belum terlibat pada fase akut infeksi poliomielitis. Biasanya baru timbul paling sedikit 15 tabun setelah infeksi poliomielitis akut. Berbeda dari MND dalam hal kecepatan berkembang penyakitnya, kelumpuhan bulbar dan tidak adanya tanda-tanda keterlibatan traktus kortikospinal.
©2004Digitized by USU digital library 6
PENATALAKSANAAN
MND adalah penyakit yang menakutkan karena penyakitnya terus berlanjut sedangkan terapinya belum ada yang efektif disertai adanya beberapa gejala klinis yang progresif. Belum ada terapi yang spesifik untuk penyakit MND, yang ada baru berupa terapi suportif 1,6,11,12,14. Penatalaksanaan penderita MND membutuhkan pendekatan multidisiplin bervariasi menurut latar belakang sosial ekonomi, budaya dan keluarga 15. Penyakit ini menyangkut problem erika, logistik dan edukasi.
Masalah etika terlibat pada saat pengambilan keputusan untuk memberikan alat bantu penafasan buatan, pemberian makan dengan cara artifisial dan penggunaan obat-obat golongan narkotik pada tahap akhir penyakit ini. Masalah logistik dan edukasi timbul dari jarangnya penyakit ini dijumpai dan kenyataan bahwa banyak dokter maupun perawat yang kurang berpengalaman menangani paralise bulbar dan paralise pernafasan kronik yang progresif.
Tujuan terapi adalah mempertahankan penderita dapat berfungsi dengan baik selama mungkin, membantu stabilitas emosi dan menangani masalah fisik bila sudah
timbul 12 .Obat-obat seperti baclofen, diazepam, tizanidine dan dantrolene dapat
dipakai untuk mengatasi spastisitas yang terjadi.
Bensimon dkk. melaporkan penggunaan riluzole, suatu zat anti glutamat, dapat memperlambat perkembangan MND dengan bulbar onset dan memperpanjang harapan hidup penderita selama 3 bulan .Riluzole adalah suatu derivat benzothiazole yang menghambat pelepasan glutamat dari ujung safar presinaptik ; menstabilkan 'sodium channels' pada keadaan inaktif dan mengantagonis efek glutamat di postsinaptik melalui mekanisme yang belum diketahui dengan sempurna 1,9,11,14,19,20
Penelitian farmakologi klinik ditujukan pada pengembangan obat yang dapat mempengaruhi fungsi motorik melalui aksi langsung pada UMN dan LMN, atau secara tidak langsung melalui sirkuit saraf atau jaringan penyokongnya. Penggunaan TRH dan analog TRH, recombinant insulin-like growth factorIGF-I) , faktor neurotropik seperti brain -derived neurotrophic factor (BNDF) dan ciliary neurotrophic factor (CNTF) , bloker reseptor glutamat seperti dextamorphan ,serta penghambat superoxydase dysmutase masih dalam penelitian 6.9,12.19,20
Dalam praktek sehari-hari beberapa gejala yang sangat mengganggu sering ditemukan seperti disfagia, tersedak, liur menetes clan disartria 20 .Untuk mengatasi liur menetes penderita dianjurkan menjaga posisi kepalanya sedikit ekstensi, latihan menutup mulut , mengurangi makanan yang mengandung susu atau mengulum potongan es. Kalau perlu dapat diberi atropin peroral, amitriptilin atau piridostigmin.
Untuk mengatasi disfagia, penderita dilatih mencari makanan dengan ujung lidah, meregang lidah, menggigit dengan kuat dan menutup mulut. Makanan yang lunak tetapi padat lebih baik daripada makanan cair. Karena penderita sulit menelan cairan, makanan yang dikonsumsinya harus banyak mengandung air. Mengulum potongan es kadang-kadang dapat membantu penderita agar dapat menelan dengan
lebih baik. Neostigmin atau piridostigmin dapat diberikan bila perlu .Pemasangan NGT dilakukan bila : (1). Dehidrasi berat ; (2). Sering tersedak ; (3). Pneumonia
aspirasi ; (4). Sangat sulit menelan clan (5) Berat badan menurun terus (21). Agar tidak sering tersedak dianjurkan agar makan perlahan-lahan, setelah mengunyah tunggu sebentar sebelum menelan makanan, tetap dalam posisi duduk 30 menit setelah makan dan frekuensi makan ditambah tetapi dengan porsi kecil21
Fisioterapi terutama ditujukan untuk melatih sisa-sisa serabut otot yang
reinervasi yang masih dapat dilatih dan untuk otot yang mengalami disuse atrophy pada penderita yang cacat atau inaktif 6 .Pergerakan sendi perlu untuk menghindari kekakuan sendi dan nyeri. Fisioterapi juga diperlukan karena dapat membantu mengatasi kekecewaan penderita. Penanganan psikososial ditujukan untuk membantu stabilitas emosi penderita dan keluarganya begitu mengetahui MND
©2004Digitized by USU digital library 7
adalah penyakit yang belum dapat diobati. Penderita harus memperoleh penjelasan bahwa ia masih dapat hidup normal dengan penyakitnya tersebut dan dapat mengatasi problem yang muncul.
PROGNOSA
Pada tahap awal, penyakit ini sulit untuk diramalkan prognosanya ; walaupun secara umum prognosa MND jelek 6 .Adanya pseudobulbar palsy yang cepat berkembang biasanya menunjukkan prognosa yang jelek .Tanda-tanda LMN dari ekstremitas mungkin mengarah ke prognosa yang lebih baik 3,15 .Kematian pada penderita MND biasanya akibat infeksi saluran nafas, pneumonia aspirasi atau asfIksia 4 .Faktor lain yang mempengaruhi prognosa adalah kesehatan fisik dan mental penderita sebelumnya, adanya penyakit lain yang bersamaan dan usia penderita. Faktor non medis yang berpengaruh adalah latar belakang pendidikan , sosial ekonomi, kondisi rumah dan kondisi kesehatan pasangannya 3
15 sampai 20 % penderita dapat bertahan hidup sampai 5 tahun atau lebih sejak penyakit timbul. Rata-rata penderita dapat bertahan hidup lebih kurang 3-4 tahun setelah diagnosa MND ditegakkan 3. Menurut Adams dkk. 50% penderita ALS akan meninggal dalam 3 tahun dan setelah 6 tahun 90% meninggal. Penderita PBP umurnnya meninggal dalam waktu 2-3 tahun sejak mulainya penyakit ini. 72% penderita PMA masih bertahan setelah 5 tahun bila penyakitnya timbul sebelum umur 50 tahun dan bila timbul setelahnya hanya 40% yang bertahan 1. Christensen dkk (1990) dan Chancellor dkk (1993) melaporkan bahwa penderita MND dengan bulbar onset rata-rata dapat bertahan hidup selama 20 bulan sejak gejala pertama timbul dan hanya 5% yang tetap hidup setelah 5 tahun. Sedangkan untuk MND dengan spinal onset dapat bertahan hidup selama 29 bulan sejak gejala pertama dan
15% dapat hidup sampai 5 tahun 11.

Rabu, 23 Februari 2011

PENEGAKAN DIAGNOSIS FIBROMIALGIA : MENJAUH DARI TENDER POINT

Ditulis oleh:
Atul Khasnis, MD; William S. Wilke, MD

Semenjak American College of Rheumatologi mendefinisikan sindroma fibromyalgia (FMS) tahun 1990, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi beratnya tender point dan proses penegakkan diagnosis meliputi gejala umum lainnya. Skala Intensitas Gejala (The Symptom Intensity Scale) dapat digunakan untuk mengukur nyeri dan kelelahan secara objektif. Pengenalan FMS dikuatkan dengan keberadaan kondisi lainnya. Manajemen multimodal FMS dimulai dengan edukasi dan latihan yang merupakan kunci pengobatan. Optimalisasi tidur menjadi suatu hal yang penting. Faktor depresi harus dicari, dikenali dan di tatalaksana dengan optimal. Manajemen nyeri pada FMS merupakan suatu tantangan. Kombinasi antara terapi non farmakologi, farmakologi dan edukasi  merupakan kunci tatalaksana.
Pendahuluan
Sindroma Fibromyalgia (FMS) bukanlah sebuah dongeng, namun merupakan suatu hal menarik yang tidak dapat dijelaskan sejak zaman dahulu. Awalnya penelitian difokuskan pada gejala pengerasan otot seperti yang digambarkan pasien. Belakangan ini konsep diagnosis FMS mengalami beberapa perubahan, termasuk pergeseran dari evaluasi terhadap fokus tender point kepada daerah yang nyeri dan penilaian terhadap gejala spesifik pada pasien yang dilakukan secara keseluruhan.
Dokter seharusnya lebih aktif dalam membuat diagnosis supaya dapat ditatalaksana dengan  baik. Pendekatan terapi multimodal sebaiknya dilakukan secara bersamaan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Pada artikel ini, kami mengulas  perkembangan dalam diagnosis FMS dan membahas  isu penting dalam pengobatan seperti pentingnya edukasi pasien,  latihan aerobik, terapi gangguan tidur, depresi dan nyeri.




Evolusi Dalam Konsep Diagnostik
Kriteria Awal
Pada tahun 1976, Hench mendefinisikan FMS secara klinis berdasarkan dua kriteria yaitu nyeri dan tidak ada penjelasan fisiologis untuk nyeri tersebut. Sejak dikeluarkan deskripsi tersebut, FMS dibuat  lebih sebagai diagnosis inklusi ketimbang eksklusi, dengan kata lain dokter semestinya membuat diagnosis FMS berdasarkan munculan klinis, bukan setelah kemungkinan lain disingkirkan.
Pada tahun 1979, Smythe mengusulkan kriteria diagnostik untuk  FMS bila ditemukan 12 dari 14 tender point anatomi (tender menunjukkan angka 4 kg tekanan), nyeri difus selama paling kurang 3 bulan, gangguan tidur, kekakuan  pada perbatasan otot trapezius atas, dan hasil tes laboratorium normal. Sementara menurut Yunus dkk ( 1981) mendefinisikan sebagai  nyeri difus yang berlangsung   3 bulan, penyebab lainnya yang kurang jelas, 5 dari 40 tender point dengan 10 kriteria minor lainnya. Kriteria ini memiliki nilai sama berat untuk tender point dan gejala serta  tanda FMS lainnya.
Pada tahun 1990, American College of Rheumatology (ACR) menetapkan kriteria  FMS berdasarkan penelitian  293 pasien   FMS dibandingkan dengan 265 pasien kontrol yang dibagi menurut usia, jenis kelamin, dan  diagnosis rematik. Kombinasi dari kriteria nyeri difus minimal 3 bulan dengan memiliki 11 dari 18 tender point yang memberikan sensitivitas sebesar 88% dan spesifisitas 81%. Berdasarkan kriteria ACR, 19 pasien dengan 11 tender point tidak memiliki FMS. Tetapi, kriteria ini mengabaikan gejala dan tanda lainnya yang merupakan bagian FMS, termasuk fatique/kelelahan, gangguan kognitif, kesulitan tidur, perasaan tidak segar di pagi hari, sensitif terhadap cahaya, bau dan suara serta kelemahan umum.
Revisi Istilah Tender Point.
Sejak definisi ACR ditetapkan, konsep tender point ditinjau ulang , dengan meningkatnya berbagai pendapat pada penggunaannya dalam diagnosis FMS. Kelemahan area anatomi tertentu dapat terjadi pada orang normal dengan tekanan sedang. Namun, istilah tender point mungkin berguna sebagai alat ukur beratnya gejala pada pasien dengan riwayat FMS. Oleh karena itu, mereka dapat digunakan sebagai barometer distress psikologis tetapi mungkin tidak digunakan pada kejadian FMS primer.
Beberapa penelitian telah mendukung terhadap konsep beratnya tender point dalam mendiagnosis FMS. Kriteria Manchester menggunakan sebuah diagram nyeri dimana pasien dapat menunjukkan area nyeri daripada keterbatasan pilihan untuk mendefinisikan tender point. Langkah untuk memperluas proses diagnosis FMS memasukkan gejala umum FMS lainnya daripada batasan  sempit nyeri tajam pada London Fibromyalgia Epidemyology Study Screening Questionnaire, yang merupakan tes permulaaan dalam menilai nyeri dan fatique sebagai skrining epidemiologi FMS. Pada tahun 1999, White dkk menekankan penambahan kelelahan dalam diagnosis FMS. Konsep ini selanjutnya  berkembang menjadi sebuah alat ukur yang dinamakan Symptom Intensity Scale (SIS).
Alat Ukur Objektif
SIS merupakan alat ukur yang komprehensif yang bertujuan menilai rasa nyeri dan fatique pada pasien FMS. Skala ini membantu dalam mendiagnosis yang sama baiknya dalam mengukur marker secara serial penyakit inflamasi sistemik autoimun. Pasien  mengisi skala pada setiap kunjungan, yang memberikan  pasien dan tenaga medis sebuah alat ukur yang objektif. Selain itu, keuntungan alat ini dapat melihat peningkatan  kemauan pasien untuk mematuhi nasehat dokter selama kunjungan.
Wolve telah mengembangkan SIS dengan melakukan survey yang dikirimkan kepada 12.799 pasien yang  didiagnosis sebagai variasi rematik, seperti reumatoidarthritis, osteoarthritis, dan FMS. Survei terdiri dari skala nyeri  yang ditanya sekitar 38 area artikular dan non artikular dan  10-cm Fatique Visual Analog Scale (FVAS).
Sebuah kelompok kecil dari 19 area anatomi non artikular  telah ditemukan untuk membedakan FMS dari penyakit lainnya. Area 19 ini merupakan Regional Pain Scale (RPS) yang merupakan bagian dari SIS, yang divalidasi menggunakan metode statistik yang sesuai. Nilai skor 8 atau lebih pada RPS, dengan nilai 6 atau lebih pada FVAS, diduga sebagai diagnosis FMS.
Pada tahun 2006, Katz dkk meneliti 75% tingkat konkordasi sepanjang pengukuran RPS, kriteria ACR, diagnosis klinik FMS ( berdasarkan berbagai gejala). Dalam penelitian lainnya, RPS dengan nilai 8 atau lebih mempunyai sensitivitas 87,6%, nilai skor 6 atau lebih juga berguna dalam mendiagnosis FMS.
Wolfe dan Rasker telah membuat SIS formal. Ini dihitung sebagai jumlah RPS dibagi 2 (disebut sebagai Symptom Intensity Score (SIS)) ditambah dengan FVAS lalu dibagi 2 ((RPS/2+FVAS)/2).
SIS mengacu pada skor. Nilai yang dihitung mungkin dalam rentang 0 sampai 9,75, pada penelitian terhadap 25.417 pasien, skor cut off 5,75, digunakan untuk membedakan FMS dengan diagnosis rematik lainnya. SIS juga berkaitan erat  gejala FMS dan Short Form- 36, sebuah pengukuran objektif  tentang kesehatan secara umum, perasaan, kemungkinan diabetes mellitus, kebutuhan perawatan di rumah sakit, tingkat disabilitas, resiko peningkatan kematian dini (resiko relative 1,12; 95% interval terpercaya, 1,10-1,14).
Lebih dari sekedar menilai nyeri ternyata SIS mempengaruhi penilaian dampak global yang lebih besar dari FMS  seperti kualitas hidup dan morbiditas dan mortalitas yang serius. Dampak FMS terhadap penyakit rematik lainnya sama baiknya dibandingkan dengan kesehatan umum seharusnya dihargai karena memiliki arti yang luas tentang penegakkan diagnosis dini dan manajemen penyakit rematik selanjutnya. Penggunaan SIS memungkinkan para dokter untuk lebih memahami aspek biopsikososial pada pasien. Kriteria baru FMS, alat-alat seperti SIS mungkin  akan meminimalkan penggunaan istilah tender point.
Kondisi Klinis Penyerta
Diagnosis FMS mungkin dibantu dengan  adanya kondisi atau gejala lainnya. Nyeri sering bertambah pada keadaan cuaca dingin dan lembab, fatique, kurang gerak, kecemasan, atau aktivitas yang berlebihan. Biasanya nyeri berkurang atau reda dengan mandi air hangat, latihan fisik aerobic dan pemijatan.
Kondisi lain yang menyertai FMS dan terlibat dalam patofisiologi termasuk sindrom takikardi ortostatik postural,  sensitisasi sentral ( peningkatan kepekaan terhadap sensasi indra khusus), sistitis intersisial, karotodinia, Irritable bowel syndrome, migren, riwayat  nyeri kepala  pada anak dan gangguan tidur. Hubungan ini mungkin masuk akal mengenai mekanisme sentral yang melatarbelakangi pasien yang penting diketahui oleh sejumlah dokter spesialis dan dokter keluarga dalam mengobati pasien dengan FMS. Jika keluhan berlangsung terus, sehingga mengarah ke rujukan spesialisasi tertentu, mengobati pasien dengan penyakit penyerta bukanlah pendekatan yang terbaik tanpa diagnosis yang jelas.
Pendekatan Manajemen Pasien
FMS seharusnya bukanlah sebuah diagnosis ekslusi tetapi sebagai diagnosis yang dikenal, diikuti dengan peningkatan manajemen yang lebih baik, pendekatan ini mungkin dapat mencegah penggunaan terapi jangka panjang dan toksik. Misalnya, nyeri sendi persisten tanpa adanya pembengkakan atau sinovitis dan batas reaksi fase akut normal RA merupakan keadaan yang umum terjadi pada beberapa kasus karena komorbid FMS. Pemberian imunosupresi dalam keadaan ini tidak perlu bahkan berbahaya. Pengobatan rasional memerlukan pengenalan dan pemahaman tentang komorbid FMS.
Manajemen pada hampir semua kondisi medis sering bersifat individual termasuk juga dengan FMS. Waktu tambahan mungkin perlu pada pertemuan awal dalam mencoba untuk mengidentifikasi profil pasien secara keseluruhan dapat membantu manajemen pasien. Penilaian awal dan follow up serial sangatlah berguna sebagai ukuran objektif  dengan menggunakan SIS, Mood Disorder Questionnaire (MDQ), Patient health Questionnaire (PHQ), Epworth Sleep Scale (ESS), Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ), dan instrument lainnya. Manajemen FMS sangatlah kompleks seperti penyakit yang mendasari dan pengenalan fenotip tertentu (predominan nyeri kronis, predominan fatique kronis) memungkinkan pendekatan terapi yang lebih baik.
Gambar 1 : Skala Intensitas Gejala (SIS) membantu dalam mendiagnosis sindroma fibromialgia dan monitor serial dalam mengukur marker inflamasi dalam gangguan autoimun sistemik inflamasi. SIS ini merupakan alat ukur objektif dalam mengobati pasien

 




Edukasi Pasien
Manajemen multimodal FMS dimulai dengan edukasi, yang merupakan hal utama dalam  mengobati pasien dan menfasilitasi untuk terapi non farmakologik lainnya. Memahami  keluhan mereka dan juga mekanisme yang mendasarinya dapat menjadi terapi yang baik, karena pasien dengan FMS banyak bertemu dokter dan tidak menerima penjelasan yang memuaskan terhadap penyakit mereka. Adanya harapan terhadap pilihan pengobatan dan tujuannya saat pengobatan merupakan hal yang penting. Meskipun tidak bisa dipastikan waktu perkembangan perbaikan gejala pada semua pasien, namun penting untuk melihat pasien setelah 6 minggu sampai 3 bulan secara subjektif dan objektif tentang perkembangan respon terhadap terapi awal. Bila komponen FMS (nyeri, depresi dan kelemahan) berubah, maka begitu juga dengan FMS. Motivasi pasien dan partisipasi aktif pasien juga penting dalam rencana pengobatan, yang berpengaruh pada pengambilan keputusan pengobatan mereka.
    Politerapi harus dihindarkan, lebih diutamakan monoterapi saat pasien didiagnosis dengan RA. Kebanyakan pasien dijelaskan tentang mekanisme keluhan mereka dan berkeinginan melakukan segalanya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Hal ini membantu untuk memecahkan kumpulan masalah dan mengurangi depresi dan nyeri pada pasien FMS. Edukasi formal harus disediakan agar pasien dapat membaca dan merefleksikan hasil setiap kali kunjungan.
    Edukasi  harus diseimbang dengan terapi farmakologik dan non-farmakologik lainnya. Hal ini membantu untuk mengetahui bahwa  FMS bukan penyakit yang sembuh dengan sendirinya dan dampaknya terhadap kualitas hidup sangat signifikan. Pasien dengan “profil FMS tertentu” harus dibicarakan karena hal ini membantu dalam mencapai tujuan terapi. Selalu menyemangati pasien agar dapat menginformasikan penyakit mereka dan dari  sumber yang terpercaya.
    Keterlibatan kelompok pendukung lokal memberikan masukan terhadap pasien untuk mendiskusikan keluhan mereka dan dapat membantu mereka menemukan orang lainnya dengan gejala yang sama. Hal ini dapat meningkatkan perhatian pasien terhadap rekomendasi terapi.

Latihan Aerobik
Mengurangi manifestasi klinik pasien FMS, maka olah raga merupakan terapi utama. Program yang terstruktur dari latihan aerobik intensitas ringan membantu menjaga kesehatan umum dan kondisi fisik. Kebanyakan pasien FMS mengakui bahwa mereka tidak dapat ikut serta pada latihan regular terstruktur dikarenakan adanya nyeri yang kronik dan kelemahan umum.
    Pasien yang memiliki tingkat keyakinan terhadap kapasitas latihan premorbid lebih merasakan  keluhan nyeri dan depresi sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mereka terhadap latihan dikarenakan penyakitnya. Meskipun hal ini meningkatkan tubuh dari pengaturan titik neurotransmitter endogen nyeri yang telah terbentuk – yang meregulasi kimiawi pada pasien spesifik yang tidak sepenuhnya jelas. Kebanyakan pasien menghadapi hambatan berupa nyeri yang meningkat saat awal latihan dan kelemahan umum sesudahnya.
    Penegasan bahwa latihan memiliki efek dose-dependent pada terapi FMS dan keuntungan tersebut tidak bisa didapat tanpa adanya latihan dengan intensitas dan waktu tertentu yang terus-menerus. Mendorong pasien untuk meningkatkan intensitas dan durasi latihan mereka agar mencapai level secara bertahap karena antusiasme yang berlebihan akan merugikan dan mengakibatkan ketidakpatuhan pasien nantinya.
    Latihan non-aerobik intensitas tinggi tidak dianjurkan dalam manajemen FMS. Latihan aerobic membantu meningkatkan kondisi fisik dan kinerja pasien karena membantu dalam manajemen depresi, ansietas, dan stress.
    Tujuan akhir terapi adalah latihan aerobik intensitas sedang  setidaknya 20-30 menit selama lima kali dalam seminggu. Keberhasilan terapi  ini lebih bersifat individual terutama pasien merasa lebih senang mengikuti latihan secara terbagi.
    Pada beberapa pasien, adanya beberapa latihan seperti terapi akuatik/kolam dan mengendarai sepeda statik, dengan tujuan untuk mempercepat jalan, mungkin lebih realistik dibanding dengan yang lainnya. Pasien dengan bursitis trochanter secara khusus akan memerlukan latihan sepeda stasioner, dan pasien obesitas akan mendapati bahwa terapi kolam membantu mereka mengurangi beban agar latihannya lebih baik. Tehnik biofeedback berguna jika dikombinasikan dengan program latihan.

Optimalisasi Tidur
Kunci utama lainnya dalam manajemen FMS adalah optamalisasi tidur. Kebanyakan pasien dengan FMS mengaku mengalami gangguan tidur, seperti kesulitan dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur dan merasa tidak segar saat bangun. Depresi menambah masalah tidur semakin berat, sehingga menjadikan hal ini penting untuk mencari faktor terlibat.
    Gangguan tidur pada FMS dapat berasal dari gangguan tidur primer atau dari obstructive sleep apnea. Pasien dengan dugaan adanya gangguan tidur harus diyakinkan untuk menjalani penelitian tentang tidur formal untuk menganalisa bentuk tidur dan memberikan rekomendasi yang berhubungan.
    Tujuan terapi adalah untuk mengoptimalkan slow-wave sleep (NREM stage 3 atau 4). Higienis tidur yang baik harus dianjurkan. Obat-obatan dapat membantu tidur seperti antidepresan trisiklik dosis rendah (seperti amitriptilin dan nortriptilin), trazodone, pherfenazine dosis rendah, dan doxepine yang diminum saat tidur.
    Obat-obatan lain yang dapat memperbaiki slow-wave sleep adalah pramipexole; beberapa penghambat reuptake serotonin selektif (SSRIs), seperti fluoxetine, pregabalin dan 5 hydroxy tryptophan. Penggunaan benzodiazepin harus dikurangi karena obat ini mengurangi   gelombang lambat tidur. Zopiclone dan zolpidem  telah diketahui membantu tidur FMS tanpa dicurigai  gelombang lambat tidur.
Tata Laksana Depresi
Depresi merupakan aspek kunci pada pathogenesis pada banyak pasien dengan FMS. Hal ini harus dikenali dan ditatalaksana secara optimal. Gunakan form PHQ untuk mengenali adanya depresi dan ansietas. Form MDQ membantu klinisi untuk mengenali kecenderungan ke arah gangguan bipolar. Skala ini menetapkan tujuan pengukuran dan penilaian serial. Depresi berefek pada tidur dan kemampuan serta motivasi dalam latihan, oleh karena itu jika tidak ditemukan maka merupakan aspek lain dalam tata laksana FMS.
            Kurangnya  kadar serotonin dan norepinefrin dalam  SSP telah diidentifikasi sebagai mekanisme penting dalam patogenesis FMS. Oleh karena itu, adalah logis untuk mencoba mengembalikan kadar ini menurut  artian  farmakologis dan non-farmakologis.
           SSRI dan inhibitor selektif reuptake nor-epinephrine (SNRIs) telah digunakan untuk mengelola depresi pada pasien dengan FMS. Untuk mengelola depresi pada pasien tertentu, venlafaxine, paroxetine, escitalopram, dan duloxetine dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan  dengan antidepresan trisiklik. Jika kecemasan merupakan komponen utama, buspirone merupakan tambahan terapi yang bermanfaat.
           Dosis rendah quetiapine atau aripiprazole tunggal atau dikombinasikan dengan SSRI atau SNRI mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki gangguan bipolar atau gangguan tendensi. Obat ini memperbaiki kelelahan, mengontrol depresi dan bila dikombinasikan  akan melindungi pasien dari episode manik atau percepatan siklus yang dipicu oleh pengobatan SSRI atau SNRI.




Manajemen Nyeri
Manajemen  nyeri pada pasien dengan FMS selalu menjadi tantangan. Pasien harus berkonsultasi tentang mekanisme nyeri pada FMS ini dan bahwa rasa nyeri yang mereka alami mungkin terkait dengan kurang tidur, depresi, dan kurang aktivitas.
    Opioid  analgesik  telah diteliti pada randomized controlled study  dan ternyata hasilnya  tidak efektif. Penggunaan obat ini seharusnya dicegah. Jika pasien sudah mengkonsumsi analgesik opioid, upaya harus dilakukan untuk memisahkan mereka dari obat-obat ini, mungkin dengan mengelola nyeri secara edukasi formal.
    Mengelola beberapa aspek lain dari FMS dapat membantu mengurangi rasa nyeri ke tingkat 'toleransi’.  Obat-obatan yang dapat digunakan untuk manajemen nyeri di FMS termasuk antidepresan trisiklik dosis rendah, duloxetine, pregabalin, dan pramipexole; terapi kombinasi (antidepresan trisiklik dengan SSRI atau SNRIs) mungkin berguna.  Selain itu, latihan  aerobik dapat meningkatkan kadar  endorfin SSP,  sehingga membantu manajemen nyeri.

Kombinasi Pengukuran Nyeri
Penggunaan kombinasi tindakan  nonfarmakologis dan farmakologis  penting dalam pengelolaan FMS.  Partisipasi Pasien harus dicatat sedini mungkin untuk memastikan kepatuhan terhadap rekomendasi terapi.  Mengisi  kuesioner pada kunjungan serial membantu memberikan umpan balik objektif dan mendorong pasien untuk mulai berpartisipasi atau  melanjutkan partisipasi mereka dalam pengelolaan penyakit.
    Penggunaan agen farmakologis harus dipandu oleh pathofisiologi dan gejala pada pasien tertentu. Duloxetine, milnacipran, dan pregabalin adalah beberapa obat yang disetujui FDA untuk FMS. Namun bukan berarti obat ini sangat efektif sehingga harus diresepkan dengan harapan yang cukup beralasan.
    Dalam sebuah penelitian terhadap 2.228 pasien yang diobati dengan pregabalin, peningkatan median skor FIQ adalah 14% . Dalam  tinjauan sistematis lain  mengenai penggunaan antidepresan dalam FMS, dilaporkan penurunan nilai median nyeri adalah 29% (6 - 70%) dan peningkatan median kualitas hidup adalah 30% (13 - 70%). Dalam analisis yang sama, persentase median efek samping adalah 72% (14 - 100%) . Menginformasikan kepada  efek samping ini merupakan komponen penting dari  realisasi konversi dari tentang pengobatan.

Bagaimana Kami Memperlakukan FMS
Kami tidak menganggap FMS sebagai diagnosis eksklusi
Kami menyarankan untuk mengetahui riwayat FMS dan memberikan perhatian khusus terhadap berbagai aspek FMS dan  'the company it keep’. Sejarah keluarga sering mengungkapkan bahwa anggota keluarga lainnya (misalnya, saudara perempuan, ibu) memiliki gejala yang sama.
Kami menghindari penggunaan istilah ‘fatique secara sembarangan'. Pada pertanyaan rinci,  fatique sering disamakan dengan depresi.
Kami mencoba untuk mengidentifikasi pemicu dan menerangkan dampak FMS pada kualitas hidup pasien.
Kami mencoba untuk mengidentifikasi pendapat  pasien mengenai FMS dan yang aspek  mana dari FMS yang paling banyak mempengaruhi dirinya. Ini sangat membantu dalam perencanaan tujuan terapi.
Kami meminta pasien untuk mengisi kuisioner  pada setiap kunjungan (SIS, PHQ, MDQ, ESS) dan mendiskusikan tation penafsiran  kami mengenai skor.
Berdasarkan riwayat penyakit dan kuisioner-kuisioner, kami mencoba untuk berfokus pada penatalaksanaan penyebab bukan pada manifestasi  FMS. Ini berarti mengidentifikasi faktor pemicu FMS dan mencoba langkah-langkah korektif.
Kami mencoba menjelaskan mekanisme FMS  kepada pasien. Salah satu mekanisme yang mendasari FMS adalah stimulus saraf per unit, pengalaman abnormal dan respon . Sebagai contoh, memikirkan rokok menyala di ruang bawah tanah bangunan akan mematikan detektor asap dipasang di lantai dua. Masalah yang mendasari: sensitivitas dari detektor asap dipasang terlalu rendah. Solusi: meningkatkan ambang batas detektor asap. Salah satu cara untuk berkomunikasi saat ini  kepada pasien adalah dengan mengatakan kepada mereka, "Aku tidak dapat menyembuhkan Anda, tapi aku bisa meringankan keluhan."
Kami menekankan kompleksitas FMS berdasarkan kompleksitas pengobatan. Mintalah pengertian pasien mengenai penyakit dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang langkah-langkah pengobatan. Tetapkan tujuan yang realistis.
Jika ada indikasi, kami merujuk pasien untuk studi tidur, terapi fisik, atau terapi air. Kebanyakan pasien dapat memotivasi diri untuk terapi renang. Memberi pasien obat tidur jika ada indikasi dari hasil kuesioner tidur.
Kami melakukan manajemen farmakologis perorangan berdasarkan profil pasien (menggunakan formulir yang telah mereka isi) dan tujuan terapeutik.
Untuk mencapai follow up serial reguler (kantor atau telepon based), kita kadang-kadang memberikan kuesioner kepada pasien dapat diisi oleh mereka 6 sampai 8 minggu setelah pengobatan dimulai dan mengirimkan kembali kepada kami, kemudian kita bisa membahas hasil dengan pasien dan memodulasi pengobatan.
Kami tetap berpikiran terbuka terhadap adanya gangguan lain. Gejala-gejala baru bisa dinilai oleh mereka sendiri. Kami menjelaskan kepada pasien bahwa FMS yang tidak membuat mereka kebal terhadap penyakit lain dan jika mereka mengalami gejala baru mereka harus mengkonsultasikan kepada dokter.
Dasar memfokuskan kegiatan laboratorium pada kunjungan pertama membantu kami mengidentifikasi kondisi komorbiditas berkontribusi terhadap gejala. Kami tidak memesan tes serologis luas atau pencitraan karena FMS adalah diagnosis klinis.

Penyakit Apakah FMS  itu?
Pasien dan dokter sering bertanya mengenai FMS. Dengan tegas dikatakan , FMS adalah penyakit fenotipe, sebagai hasil dari pengaruh kompleks sensitisasi pusat yang bertanggung jawab terhadap keluhan  depresi, kecemasan, kurang tidur, latar belakang genetik, pengalaman masa lalu (misalnya, penyalahgunaan, prematuritas), dan faktor lingkungan.Mekanisme patogen jelas, dan gejala yang dihasilkan sama. Kontroversi  pada FMS sering terjadi seperti halnya pada penyakit lainnya. Hanya waktu dan penelitian lebih lanjut akan ‘memisahkan gandum dari sekam’. Sampai saat itu  dokter harus bekerja dengan pemahaman mengenai penyakit ini.