Pages

Kamis, 27 Januari 2011

PERIODIK PARALISIS HIPOKALEMI

Periodik paralisis merupakan kelainan pada membran yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot skeletal. Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik kelemahan tiba-tiba yang disertai gangguan pada kadar kalium serum. Periodik paralisa ini dapat terjadi pada suatu keadaan hiperkalemia atau hipokalemia.
Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan sindrom klinis yang jarang terjadi tetapi berpotensial mengancam jiwa. Insidensinya yaitu 1 dari 100.000.1,2 HypoPP banyak terjadi pada pria daripada wanita dengan rasio 3-4 : 1.2,3 Dengan onset pada dekade pertama, biasanya sebelum 16 tahun, dan jarang sesudah usia 25 tahun.2
Sindrom paralisis hipokalemi ini disebabkan oleh penyebab yang heterogen dimana karakteristik dari sindroma ini ditandai dengan hipokalemi dan kelemahan sistemik yang akut. Kebanyakan kasus terjadi secara familial atau disebut juga hipokalemi periodik paralisis primer. 2,4
Bila gejala-gejala dari sindroma tersebut dapat dikenali dan diterapi secara benar maka pasien dapat sembuh dengan sempurna.
Kasus berikut akan kami paparkan mengenai patofisiologi dan tatalaksana periodik paralisis hipokalemi primer.

ILUSTRASI KASUS

Wanita, 19 tahun, belum menikah, datang dengan keluhan utama  kelemahan keempat anggota gerak sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Lebih kurang satu hari sebelum masuk rumah sakit saat bangun di pagi hari pasien mengeluh keempat anggota geraknya menjadi lemah dan terasa berat bila digerakkan, pada awalnya pasien mengeluh badannya terasa pegal-pegal, dan lama kelamaan kemudian mulai terasa lemas terutama bagian bahu yang menjalar ke lengan dan jari-jari tangan, hal tersebut terjadi bersamaan pada tungkai pasien. Kelemahan dirasakan semakin berat hingga kesulitan untuk bangun dari tidurnya hingga perlu digotong oleh orang lain. Keluhan tidak disertai pandangan gelap, rasa baal atau kesemutan, bicara pelo, mulut mencong, dan makan menjadi tersedak.
Keluhan tidak disertai maupun diawali, diare, muntah-muntah, demam, sakit kepala, berdebar, batuk pilek dalam 1 bulan terakhir, aktivitas berat, maupun makan tinggi karbohidrat sebelumnya. Riwayat minum obat-obatan rutin disangkal. Pada saat malam hari sebelum kejadian pasien hanya tidur terlambat sekitar jam tiga dini hari.  
Penyakit serupa sebelumnya pernah dirasakan pada bulan november 2005 dikatakan pasien dirawat kemudian pasien diberi cairan lewat infus dan keesokkannya pasien sudah dapat menggerakkan anggota geraknya lagi.
Penyakit serupa pada keluarga disangkal.
Pola makan sehari-hari menurut ibunya, pasien mengkonsumsi makanan yang tinggi garam seperti mie bakso yang dijual dipinggir jalan berikut mie instan frekuensinya sekitar 3-4 kali per minggu. Makanan sehari-hari yang dimasak dirumah pasien juga tinggi akan garam.
Pada pemeriksaan fisik saat di IGD 25/08/06 keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, tanda vital  tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi : 76 x/menit regular isi cukup, respirasi: 20 kali/menit, Suhu : 370 C. Status generalis, kepala : normocephalus, mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik. Leher :  kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening tak teraba membesar, tekanan vena jugularis tak meningkat. Thoraks : bentuk dan gerak simetris , paru-paru : suara nafas vesikular kiri = kanan, tidak ditemukan rhonki maupun wheezing. Bunyi jantung murni reguler, murmur dan gallop tidak ada. Abdomen : datar lemas, bising usus positif normal. Ekstremitas : akral hangat perfusi cukup. Status neurologi : Skala koma Glasgow : E4M6V5= 15; pupil : bulat isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung +/+ ; tanda rangsang meningeal : kaku kuduk tidak ada, Laseque > 70/>70, Kernig > 135/135; saraf kranial tidak ditemukan kelumpuhan; Motorik : kekuatan ekstremitas atas 3322|2233, ekstremitas bawah 2222|2222, eutrofi, normotonus, refleks fisiologis BTR +/+, KPR dan APR +/+, tidak ditemukan refleks patologis; Sensorik : baik; Otonom : inkontinensia uri et alvi tidak ada.
Diagnosis kerja pada saat itu  periodik paralisis et causa dicurigai hipokalemia.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium 25/8/06 (IGD) Hb : 14.4 g/dl; Hematokrit : 42 %; leukosit : 12.300 /uL ; trombosit: 340.000 /uL; Ureum/kreatinin : 20/0.9 mg/dl; gula darah sewaktu : 105; Analisa gas darah (AGD) : pH : 7.336, pCO2 : 24.8, pO2: 104.1, Be : -11.0, HCO3- : 12.9 SO2 : 98.5; Na/K/Cl : 141/2.0/108. EKG : ritme sinus, QT memanjang.
Pasien diterapi dengan tirah baring, diet tinggi kalium dan rendah karbohidrat, edukasi. Terapi khusus  dilakukan pemberian cairan intravena Asering ditambah dengan KCL 50 meq diberikan dalam 12 jam dan KSR per oral 3x1 tab, dan dilakukan cek AGD dan elektrolit paska koreksi.
Evaluasi klinis dan laboratorium pada 26/08/06 pkl 20:22, keadaan umum tampak sakit ringan, kompos mentis, tanda vital dalam batas normal, kekuatan motorik ekstremitas atas  3432|2333, ekstremitas bawah 3222|2223, refleks fisiologis BTR: +|+, KPR dan APR  2+|2+. Lain-lain stqa.  Pada pemeriksaan ulang elektrolit Na/K/Cl : 146/3,9/100                        
Evaluasi pada  28/08/06 keadaan umum baik, kompos mentis, tanda vital dalam batas normal. Kekuatan motorik atas dan bawah 5555|5555, refleks fisiologis BTR, KPR, dan APR 2+|2+. Lain-lain stqa. Pemberian cairan intravena dihentikan dilanjutkan peroral.
Pemeriksaan laboratorium pada 29/08/06 urinalisa : warna kuning, keruh, berat jenis : 1.010, pH : 7.0, protein : negatif, glukosa : negatif, keton : negatif, darah/Hb : negatif, bilirubin : negatif, urobilinogen : 3.2, nitrit : negatif, esterase leukosit : +1, Sedimen :sel epitel : +, leukosit : 5-6/LPB, eritrosit : -, silinder : -, kristal : amorphe +, Osmolaritas urin : 245 (250-900 mOsm/kg), Kalium urin : 18, ureum/kreatinin  : 17/0,9, asam urat darah : 3.0. T4 total : 8,53 (5,53-11,0), TSHs : 1.250  (0,465-4,680), AGD : pH: 7,359 pCO2 : 28,3 pO2: 104,7 HCO3- : 15,6 be : -8,7 SO2: 98,1. Elektrolit darah Na/K/Cl : 143/3,7/104.
Pemeriksaan EMG pada 16/10/06 didapatkan : pemeriksaan NCV motorik dan sensorik pada lengan dan tungkai kanan-kiri menunjukkan hasil dalam batas normal. Pemeriksaan F wave saraf-saraf yang diperiksa menunjukkan latensi dan NCV masih dalam batas normal. Kesimpulan : Pemeriksaan NCV dan F wave dalam batas normal.
            Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini didiagnosa dengan :
Diagnosis klinis                   : Tetraparesis LMN
Diagnosis topik                    : Membran Otot Rangka
Diagnosis etiologi                : Hipokalemi
Diagnosis patologi               : Channelopathy

            Pasien ini ditata laksana dengan :

-          KSR 3x1 tablet
-          Acetazolamide 3x250 mg
-          Diet tinggi kalium
-          Diet rendah karbohidrat dan garam
-          Komunikasi, informasi dan edukasi penderita dan keluarga

 

Prognosis pada pasien ini :

Quo ad vitam                        : bonam
Quo ad fungsionam            : bonam
Quo ad sanasionam            : dubia ad bonam

DISKUSI
Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung, dan saraf merupakan suatu alat untuk mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi otot skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma, yang kemudian terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas voltage-sensitive kanal ion. Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan kelainan yang diturunkan pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies yang cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik paralisis dari otot-oto skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis.3    
Periodik paralisis merupakan kelainan neuromuscular yang jarang serta diturunkan, yang secara karakteristik ditandai dengan serangan episodik dari kelemahan otot. 3 Berbagai kepustakaan membagi kelainan ini secara bervariasi, kelainan ini dapat dibedakan sebagai primer atau sekunder.2 Pada yang primer secara umum dikarakteristikkan dengan : (1). kelainan yang diturunkan; (2). sering berhubungan dengan kadar kalium di dalam darah; (3). kadang disertai miotonia; (4) miotonia dan periodik paralisis tersebut disebabkan karena defek dari ion channels.2  Sedangkan klasifikasi yang berguna secara klinis dari periodik paralisis primer ini dapat dilihat pada tabel.1  :

Tabel 1 Periodik Paralisis Primer 2
Sodium Channel
Hyperkalemic PP
Paramyotonia congenital
Potassium-aggravated myotonias
Calcium Channel
Hypokalemic PP
Chloride Channel
Becker myotonia congenita
Thomsen myotonia congenita

Sedangkan secara klasik dibagi menjadi dua kategori besar berdasarkan kadar kalium darah saat terjadinya serangan kelemahan otot : periodik paralisis hiperkalemi dan periodik paralisis hipokalemi. 3 Pada kelainan sekunder suatu keadaan hipokalemi dapat disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya : asupan kalium yang kurang, renal tubular asidosis, gangguan gastrointestinal seperti diare, intoksikasi obat seperti amphotericin B dan barium, dan hipertiroid. 2,3
Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek klinis yang didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L, pada hipokalemia sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia berat kadar kalium serumnya kurang dari 2,5 mEq/L.6 Keadaan ini dapat dicetuskan melalui berbagai mekanisme, termasuk asupan yang tidak adekuat, pengeluaran berlebihan melalui ginjal atau gastrointestinal, obat-obatan, dan perpindahan transelular (perpindahan kalium dari serum ke intraselular) yang kami bahas pada kasus ini.6 Gejala hipokalemi ini terutama terjadi kelainan di otot. Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5  mEq/L berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan mialgia.6 Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisis dan miogobinuria. Peningkatan osmolaritas serum dapat menjadi suatu prediktor terjadinya rhabdomiolisis. 6 Selain itu suatu keadaan hipokalemia dapat mengganggu kerja dari organ lain, terutama sekali jantung yang banyak sekali mengandung otot dan berpengaruh terhadap perubahan kadar kalium serum. Perubahan kerja jantung ini dapat kita deteksi dari pemeriksaan elektrokardiogram(EKG). Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. 5,6,7 Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval.4,5,7,8   
Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari kejadian periodik paralisis yang diturunkan.3,4 Dimana kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan. 3,4,5 Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis hipokalemi terjadi karena mutasi dari gen reseptor dihidropiridin pada kromosom 1q. Reseptor ini merupakan calcium channel yang bersama dengan reseptor ryanodin berperan dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot. 2,3,4,5 Fontaine et.al telah berhasil memetakan mengenai lokus gen dari kelainan HypoPP ini terletak tepatnya di kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode subunit alfa dari L-type calcium channel dari otot skeletal secara singkat di kode sebagai CACNL1A3. Mutasi dari CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis protein arginin (Arg) yang berbeda, diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan Arg-1239-Gly. Pada Arg-528-His terjadi sekitar 50 % kasus pada periodik paralisis hipokalemi familial dan kelainan ini kejadiannya lebih rendah pada wanita dibanding pria. 1,3 Pada wanita yang memiliki kelainan pada Arg-528-His dan Arg-1239-His sekitar setengah dan sepertiganya tidak menimbulkan gejala klinis.1,3,5,9   
Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai dengan kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan tidak ditemukan tanda-tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang menyebabkan hipokalemi.2,3,4 Gejala pada penyakit ini biasanya timbul pada usia pubertas atau lebih, dengan serangan kelemahan yang episodik dari derajat ringan atau berat yang menyebabkan quadriparesis dengan disertai penurunan kapasitas vital dan hipoventilasi, gejala lain seperti fatigue dapat menjadi gejala awal yang timbul sebelum serangan namun hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya serangan kelemahan.3,5 Serangan sering terjadi saat malam hari atau saat bangun dari tidur dan dicetuskan dengan asupan karbohidrat yang banyak serta riwayat melakukan aktivitas berat sebelumnya yang tidak seperti biasanya.2,3,5 Serangan ini dapat terjadi hingga beberapa jam sampai yang paling berat dapat terjadi beberapa hari dari kelumpuhan tersebut.5
 Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai biasanya terjadi lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat kelemahannya dibanding lengan, dan bagian proksimal dari ekstremitas lebih jelas terlihat kelemahannya dibanding bagian distalnya. Terkecuali, kelemahan ini dapat juga terjadi sebaliknya dimana kelemahan lebih dulu terjadi pada lengan yang kemudian diikuti kelemahan pada kedua tungkai dimana terjadi pada pasien ini. Otot-otot lain yang jarang sekali lumpuh diantaranya otot-otot dari mata, wajah, lidah, pharing, laring, diafragma, dan spingter, namun pada kasus tertentu kelemahan ini dapat saja terjadi. Saat puncak dari serangan kelemahan otot, refleks tendon  menjadi menurun dan terus berkurang menjadi hilang sama sekali dan reflek kutaneus masih tetap ada. Rasa sensoris masih baik. Setelah serangan berakhir, kekuatan otot secara umum pulih biasanya dimulai dari otot yang terakhir kali menjadi lemah. Miotonia tidak terjadi pada keadaan ini, dan bila terjadi dan terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG menunjukkan terjadinya miotonia maka diagnosis HypoPP kita dapat singkirkan.2,3,5
Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium darah dalam hal ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam, kadar hormonal seperti T4 dan TSHs sangat membantu kita untuk menyingkirkan penyebab sekunder dari hipokalemia. Keadaan lain atau penyakit  yang dapat menyebabkan hipokalemi diantaranya intake kalium yang kurang, intake karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium, kehilangan kalium karena diare, periodik paralisis karena tirotoksikosis, renal tubular asidosis, dan hyperaldosteronism. 4,5,7   
Pada kasus pasien ini terjadi kelemahan pada keempat anggota gerak yang diawali gejala prodormal mialgia dan fatigue dimana kelainan ini tidak disertai kelemahan pada otot-otot wajah, lidah, pharing, laring, diafragma, dan spingter serta tidak disertai tanda-tanda miotonia seperti kejang otot. Rasa sensoris masih dalam keadaan baik. Dan saat diperiksa kadar kalium serumnya = 2,0 mEq/L, osmolaritas serum : 295,13 mEq/L, dan dari pemeriksaan laboratorium lain seperti urinalisa urin 24 jam, fungsi ginjal, dan hormonal seperti T4 dan TSHs dalam batas normal.   Dan pasien ini pulih dalam waktu dua hari perawatan. Pemulihan pada pasien ini tidak berhubungan dengan kadar kalium yang kembali normal terlihat pada evaluasi pasien pada tanggal 26/08/06 didapatkan kekuatan motorik ekstremitas atas  3432|2333, ekstremitas bawah 3222|2223, refleks fisiologis BTR: +|+, KPR dan APR  2+|2+. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Dan pada pemeriksaan ulang elektrolit Na/K/Cl : 146/3,9/100. Serangan kelemahan pada kasus ini diikuti dengan suatu keadaan penurunan kadar kalium serum tapi kadar kalium tersebut tidak berhubungan dengan beratnya kelemahan otot yang terjadi. Hal tersebut terjadi pada HypoPP yang terjadi karena kelainan pada kanal kalsium.5             
Diagnosis HypoPP harus dipertimbangkan ketika suatu serangan kelemahan terjadi episodik dan berkaitan dengan hipokalemia. Hipokalemi yang terjadi pada HypoPP ini diduga karena adanya defek permeabilitas membran sel terhadap kalium sehingga menurunkan kadar kalium ekstraselular.3 Kadar kalium serum akan kembali menjadi normal diantara serangan, dan apabila hipokalemia menetap harus dipikirkan penyebab lain dari periodik paralisis, seperti penurunan kadar kalium pada kelainan ginjal, gastrointestinal atau gangguan metabolisme lain.3,4,5
Diagnostik lain yang dapat kita lakukan untuk menentukan hypoPP bila pasien tidak dalam keadaan serangan yaitu dengan cara tes provokatif. Dimana pasien dimonitor tanda vitalnya dan keadaan jantungnya melalui EKG, kemudian pasien diberikan glukosa sebanyak 50 sampai 100 gram atau dilarutkan dalam 2 gram NaCl perjam yang diberikan dalam tujuh dosis, diikuti dengan pencetusan latihan, maka akan timbul serangan kelemahan, yang dapat diatasi dengan pemberian 2 sampai 4 gram KCL per oral. 2,5
Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan pasien dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita edukasi dan berikan informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian serangan melalui menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang berat, hindari kedinginan, mengkonsumsi buah-buahan atau jus yang tinggi akan kalium, membatasi intake karbohidrat dan garam(160 mEq/hari). 2,3,5,8
Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat diberikan untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan episodik dan memperbaiki kekuatan otot diantara serangan. Acetazolamide merupakan obat jenis tersebut yang banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara bertahap ditingkatkan hingga dosis yang dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari. 3,4,5,10 Pasien yang tidak berespon dengan pemberian acetazolamide dapat diberikan penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten seperti, dichlorphenamide 50 hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat kalium seperti spironolactone atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga 100 mg/hari). 3,5,10 Pemberian rutin kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral yang dilarutkan dengan cairan tanpa pemanis dapat mencegah timbulnya serangan pada kebanyakan pasien. 5 Pada suatu serangan HypoPP yang akut atau berat, KCL dapat diberikan melalui intravena dengan dosis inisial 0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus pelan, diikuti dengan pemberian KCL dalam 5 % manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq, hindari pemberian dalam larutan glukosa sebagai cairan pembawa.5 Kepustakaan lain KCL dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L dalam 250 cc larutan 5 % manitol. 3,4 
Berikut algoritma mengenai diagnostik dan tatalaksana dari periodik paralisis dapat dilihat pada halaman 11.
Pada pasien ini terapi yang diberikan yaitu pemberian KCL peroral disertai KCL melalui intravena pada saat akut. Dan setelah keadaan membaik terapi KCL diberikan per oral sambil memantau status klinis pasien, kadar kalium serum, dan pemeriksaan penunjang lain untuk menyingkirkan patologi lain yang dapat menyebabkan hipokalemi. Dan setelah dua hari perawatan pasien pulih sempurna, dan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil dalam batas normal pasien dipulangkan.

Kesimpulan
            Periodik paralisis merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan kelemahan yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan mengalami kelemahan progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan tanpa adanya gangguan sensoris yang diikuti oleh suatu keadaan hipokalemia pada HypoPP. Keadaan hipokalemia yang berat dapat mengganggu fungsi organ lain seperti jantung hingga terjadi gangguan irama jantung yang bila tidak ditangani akan memperburuk keadaan pasien hingga mengancam nyawa. Mengenal dan menegakkan suatu keadaan HypoPP menjadi sangat penting dalam hal ini, dan terapi yang diberikan sangatlah mudah dan murah.

Selasa, 18 Januari 2011

Kebutuhan Protein Optimal bagi Atlet

Gizi yang cukup yang dapat menjamin kesehatan optimal dibutuhkan oleh seorang atlet untuk berprestasi tinggi. Tetapi banyak para atlet yang berbakat tidak mengerti hubungan yang langsung antara gizi yang cukup dengan bentuk tubuh, endurans, fitnes, dan pencegahan terhadap kecelakaan berlatih. Tulisan di bawah ini akan membahas salah satu zat gizi, yaitu protein dalam hubungannya dengan praktek makan atlet, pertumbuhan dan kekuatan, serta performa atlet, dengan harapan bahwa atlet, pelatih, manajer, ahli gizi, dan orang-orang yang memberikan pelayanan kepada atlet, memahami serta dapat mempraktekkannya dalam tugas nyata sehari-hari.
Zat Protein
Protein dari makanan yang kita konsumsi sehari-hari dapat berasal dari hewani maupun nabati. Protein yang berasal dari hewani seperti daging, ikan, ayam, telur, susu, dan lain-lain disebut protein hewani, sedangkan protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti kacang-kacangan, tempe, dan tahu disebut protein nabati. Dahulu, protein hewani dianggap berkualitas lebih tinggi daripada protein nabati, karena mengandung asam-asam amino yang lebih komplit.
Tetapi hasil penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa kualitas protein nabati dapat setinggi kulaitas protein hewani, asalkan makanan sehari-hari beraneka ragam. Dengan susunan hidangan yang beragam atau sering pula disebut sebagai menu seimbang, maka kekurangan asam amino dari bahan makanan yang satu, dapat ditutupi oleh kelebihan asam-asam amino dari bahan makanan lainnya. Jadi dengan hidangan : ada nasi atau penggantinya, lauk-pauk, sayur-sayuran, dan buah-buahan, apalagi bila ditambah susu, maka susunan hidangan adalah sehat. Bukan saja jumlah atau kualitas zat-zat gizi yang kita butuhkan tercukupi, tetapi juga kualitas zat-zat gizi yang kita konsumsi bermutu tinggi.
Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan, pembentukan otot, pembentukan sel-sel darah merah, pertahanan tubuh terhadap penyakit, enzim dan hormon, dan sintesa jaringan-jaringan badan lainnya. Protein dicerna menjadi asam-asam amino, yang kemudian dibentuk protein tubuh di dalam otot dan jaringan lain. Protein dapat berfungsi sebagai sumber energi apabila karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi seperti pada waktu berdiit ketat atau pada waktu latihan fisik intensif. Sebaiknya, kurang lebih 15% dari total kalori yang dikonsumsi berasal dari protein.
Apakah Atlet Harus Makan Banyak Protein?
Secara tradisional, atlet diharuskan makan lebih banyak daging, telur, ikan, ayam, dan bahan makanan sumber protein lainnya, karena menurut teori, protein akan membentuk otot yang dibutuhkan atlet.
Hasil penelitian mutakhir membuktikan bahwa bukan ekstra protein yang membentuk otot, melainkan latihan. Latihan yang intensif yang membentuk otot. Untuk membangun dan memperkuat otot, anda harus memasukkan latihan resistan seperti angkat besi di dalam program latihan.
Agar cukup energi yang dikonsumsi untuk latihan pembentukan otot, makanan harus mengandung 60% karbohidrat dan 15% protein dari total energi. Kedengarannya aneh, tetapi sesungguhnya seorang atlet binaragawan dan pelari marathon dapat mengkonsumsi makanan dari hidangan yang sama. Seorang binaragawan cenderung berotot lebih besar dari pelari, karena itu ia membutuhkan lebih banyak energi.
Besarnya jumlah protein yang dikonsumsi, dapat dilihat dari perhitungan di bawah ini.
  • Seorang pelari yang beratnya 70 kg membutuhkan 2.600 kcal. Sebanyak 15% dari 2.600 kcal ini berasal dari protein yaitu 390 kcal atau antara 74 g protein.
  • Seorang binaragawan yang beratnya 95 kg membutuhkan 3.600 kcal. Sebanyak 15% dari 3.600 kcal yaitu 540 kcal berasal dari protein atau setara dengan 108 g protein.
Jadi seorang atlet pelari marathon membutuhkan 74 g protein, dan seorang binaragawan membutuhkan 108 g protein dari hidangan makanan yang sama.
Tidak jarang nasihat makanan yang diberikan membingungkan atlet. Seorang atlet angkat besi diharapkan makan daging, steak, telur, ayam lebih banyak untuk pembentukan otot, dan dianjurkan minum minuman yang mengandung protein. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Seorang atlet angkat besi membutuhkan karbohidrat lebih banyak. Karena karbohidrat dibutuhkan untuk cadangan energi di dalam otot. Anda tidak akan dapat mengangkat  beban yang berat kalau jumlah karbohidrat yang tersedia di dalam otot sudah menipis. Makanan yang mengandalkan protein tidak menyediakan bahan bakar untuk otot, sehingga prestasi yang dicapai akan optimal.
Makanan yang terbaik untuk atlet harus mensuplai cukup protein tetapi tidak berlebihan untuk keperluan perkembangan dan perbaikan jaringan otot yang aus, produksi hormon, dan mengganti sel-sel darah merah yang mati dengan yang baru. Seringkali atlet mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi protein, sehingga mereka mendapatkan dobel dari kebutuhannya; kelebihan protein yang dikonsumsi ini disimpan dalam bentuk lemak badan.
Kebutuhan Protein
Kebutuhan akan protein bervariasi antar atlet. Menurut Angka Kecukupan Konsumsi Zat-zat Gizi, seseorang membutuhkan 1 g protein per kg berat badan, tetapi ada atlet yang membutuhkan lebih banyak, misalnya seorang pelari yang sedang berlatih intensif, atau seseorang yang sedang berdiit yang mengkonsumsi rendah kalori, atau seorang pemula yang baru mulai berlatih. Di bawah ini diilustrasikan anjuran konsumsi protein:
  • Atlet berlatih ringan :  1,0 gram protein/kg berat badan
  • Atlet yang rutin berlatih  :  1,2 gram protein/kg berat badan
  • Atlet remaja (sedang tumbuh)  :  1,5 gram protein/kg berat badan
  • Atlet yang memerlukan otot :   1,5 gram protein/kg berat badan
Untuk menghitung berapa banyak protein yang dibutuhkan sangat mudah. Mula-mula, anda mengidentifikasi diri termasuk golongan atlet yang mana, misalnya termasuk atlet yang secara rutin berlatih. Umur anda 25 tahun, dan berat badan 70 kg. Maka anda setiap hari sesungguhnya membutuhkan sebanyak 70 x 1,2 g protein = 84 g protein.
Kemudian anda membuat lis makanan dan minuman selama 24 jam, misalnya mulai anda bangun pagi hari sampai pagi hari berikutnya dicatat jenis, komposisi, dan banyaknya makanan dan minuman yang dikonsumsi. Dengan mempergunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) anda akan mengetahui jumlah protein yang dikonsumsi dalam sehari. Kemudian dibandingkan dengan anjuran, apakah kurang atau lebih banyak dari yang direkomendasikan.
Masalah Terlalu Banyak Protein
Setiap orang yang terlalu banyak mengkonsumsi protein, akan lebih sering kencing karena protein di dalam badan dicerna menjadi urea, suatu senyawa dalam bentuk sisa yang harus dibuang melalui urine. Terlalu sering ke toilet akan kurang menyenangkan karena mengganggu latihan, apalagi kalau sedang dalam kompetisi. Terlalu banyak atau sering kencing merupakan pula beban berat ginjal dan meningkatkan resiko terhadap dehidrasi atau kekurangan cairan buat atlet.
Bahan makanan berprotein tinggi, misalnya daging, ayam, ikan, dan lain-lain harganya relatif mahal. Kalau bahan pangan ini dikurangi, dan anda makan lebih banyak sereal, sayur dan buah, berarti akan ada penghematan, karena harga bahan-bahan pangan yang disebut terakhir ini lebih murah.
Selain itu, bahan makanan tinggi protein biasanya mengandung pula tinggi lemak. Untuk kesehatan jantung, pencegahan kegemukan, dan peningkatan performa, anda sebaiknya tidak makan banyak lemak, terutama lemak hewani yang seringkali terdapat banyak dalam bahan makanan berprotein tinggi.
Suplemen Protein
Advertensi sering memberikan harapan yang muluk-muluk, tetapi anda lebih baik tidak mempercayainya atau paling sedikit, lebih bijaksana menginter-pretasikannya. Menurut advertensi, protein powder atau asam-asam amino powder seperti arginine, ornithine, dan asam-asam amino bebas adalah essensial untuk pembentukan otot. Anda menurut advertensi tersebut direkomendasikan makan suplemen ini kalau menginginkan pembentukan otot yang optimal.
Jika anda menginginkan otot yang lebih besar dan lebih kuat, maka anda akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada mengkonsumsi suplemen, bila anda memahami keterangan berikut:
  1. Latihan, bukan protein yang berperanan membuat otot lebih besar dan kuat.
  2. Jika anda mengkonsumsi cukup kalori dari karbohidrat, maka kelebihan protein yang dikonsumsi akan dikonversi atau disimpan dalam bentuk lemak badan. Badan anda akan bertambah gemuk, dan prestasi optimal tidak akan tercapai.
  3. Jumlah uang yang anda belanjakan untuk suplemen jauh lebih banyak, dobel atau tripel dari jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan untuk mendapatkan jumlah zat-zat gizi yang sama.
Kesimpulan
  1. Kualitas protein nabati dapat setinggi kualitas protein hewani, asalkan menu makanan anda beragam.
  2. Latihan, bukan ekstra protein yang membentuk dan membuat kuat otot. Oleh sebab itu, hidangan makanan untuk atlet dari berbagai cabang olah raga tidak perlu dibedakan.
  3. Untuk menjamin prestasi optimal, kebutuhan akan protein perlu terpenuhi, tetapi tidak berlebihan. Kalau berlebihan akan beresiko terhadap dehidrasi, beban ginjal, dan penyakit jantung koroner.
  4. Anda lebih baik untuk tidak mempercayai advertensi mengenai suplemen yang berkhasiat muluk-muluk, atau paling sedikit anda harus menginter-pretasikannya dengan lebih bijaksana. Anda tidak perlu suplemen protein atau asam-asam amino, jika makanan anda cukup bergizi dan sehat.
Oleh Dr. M.A. Husaini
Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan Bogor Jawa Barat

Rabu, 12 Januari 2011

EPIDURAL HEMATOMA

Epidural hematoma adalah akumulasi dari darah dan gumpalan darah antara lapisan dura mater dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan dari epidural hematoma adalah arteri meningea (seringkali arteri meningea media) atau terkadang sinus venosus dura. Perdarahan ini memiliki bentuk yang bikonveks atau lentikuler. Pasien dengan epidural hematom akan mengalami kesadaran menurun yang berlangsung singkat pada awalnya, diikuti dengan lucid interval. Interval ini kemudian diikuti dengan kemunduran klinis yang cepat. Semua pasien dengan perdarahan epidural membutuhkan intervensi yang cepat dari spesialis bedah saraf. Epidural hematom akan menempati ruang dalam otak, olehnya itu, perluasan yang cepat dari lesi ini, dapat menimbulkan penekanan pada otak.6
INSIDEN
• Angka kematian meningkat pada pasien dengan umur dibawah 5 tahun dan diatas 55 tahun.
• Pasien dengan umur dibawah 20 tahun, 60 % didapati dengan epidural hematoma.
• Epidural hematoma tidak lazim pada pasien usia lanjut dikarenakan, lapisan dura telah melekat dengan kuat pada dinding bagian dalam tengkorak. Pada kasus-kasus epidural hematom, kurang dari 10% adalah pasien dengan umur diatas 50 tahun.9
EPIDEMIOLOGI
Kasus epidural hematoma di Amerika Serikat ditemukan 1-2% dari semua kasus trauma kepala yang ada dan ditemukan pula sebanyak 10% pada pasien dengan koma akibat trauma.9
Dilaporkan angka kematian berada pada presentasi 5% hingga 43%. Angka kematian yang tinggi ini erat kaitannya dengan:9
• Peningkatan usia
• Lesi intradural
• Lokasi temporal
• Peningkatan volume hematom
• Progresivitas klinis yang cepat
• Abnormalitas pupil
• Peningkatan tekanan intrakranial
• GCS yang menurun
ETIOLOGI
Epidural hematoma terjadi akibat trauma pada cedera kepala, yang biasanya disertai dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pada pembuluh darah arteri, utamanya arteri meningea media.9
ANATOMI
Otak dan medulla spinalis merupakan organ-rgan yang penting dan sangat vital dalam tubuh manusia, tubuh telah melindungi kedua organ ini dengan dua buah lapisan pelindung. Lapisan terluar merupakan tulang-tulang, tulang tengkorak yang melindungi otak serta tulang-tulang vertebra yang melindungi medulla spinalis. Lapisan bagian dalam terdiri atas membrane yang biasa disebut meninges. Terdapat tiga lapisan berbeda yang menyusun meninges:5
1. Dura mater, merupakan suatu jaringan liat, tidak elastic dan mirip kulit sapi yang terdiri dari dua lapisan, bagian luar dinamakan dura endosteal dan bagian dalam dinamakan dura meningeal.
2. Membran Arachnoid , merupakan sebuah membrane fibrosa yang tipis, halus dan avaskular. Araknoid meliputi otak dan medulla spinalis, tetapi tak mengikuti kontur luar seperti pia mater.
3. Pia mater, merupakan lapisan yang langsung berhubungan dengan otak dan jaringan spinal, dan mengikuti kontur struktur eksternal.
Dura mater terbuat dari jaringan fibrosa putih yang kuat, berfungsi sebagai lapisan terluar dari meninges dan juga sebagai periosteum terdalam dari tulang tengkorak. Membran arachnoid, lapisan yang lembut, seperti jaring laba-laba, terletak antara dura mater dan pia mater atau merupakan lapisan dalam dari meninges. Selanjutnya, lapisan transparan pia mater yang menjadi bagian terluar yang melapisi otak dan medulla spinalis yang juga berisi pembuluh darah.
Dura mater memiliki tiga buah lapisan tambahan kedalam:10
1. Falx cerebri. Falx cerebri ini, menonjol kebawah, menyusuri fissure longitudinalis untuk membentuk semacam dinding pemisah ataupun sekat antara kedua hemisfer otak.
2. Falx cerebelli. Falx cerebelli adalah tambahan berbentuk sabit yang memisahkan kedua halves atau hemisfer pada serebelum.
3. Tentorium cerebelli. Tentorium cerebelli memisahkan serebelum dan serebrum.
Ada beberapa ruang di antara maupun di sekitar meninges, diantaranya adalah:10
1. Ruang Epidural. Ruang epidural terletak persis di bagian luar dura mater, tetapi masih di dalam tulang yang melapisi otak dan medulla spinalis. Ruang ini terdiri atas bantalan lemak dan jaringan konektif lainnya.
2. Ruang Subdural. Ruang subdural terletak antara dura mater dan membrane arachnoid. Ruang ini berisi sejumlah kecil cairan serosa pelumas.
3. Ruang Subarachnoid. Seperti namanya, ruang ini terletak tepat dibawah membrane arachnoid dan diluar dari piamater. Ruang ini berisi sejumlah cairan serebrospinal.
PATOFISIOLOGI
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau trauma pada kepala. Epidural hematom timbul dan berkembang dari kerusakan pada pembuluh darah arteri, khususnya arteri meningea media, dimana dapat robek akibat pukulan atau hantaman tulang temporal. Darah memotong lapisan dura mater dan menekan hemisfer otak dibawahnya. Kesadaran menurun yang terjadi secara mendadak ditimbulkan akibat gegar yang dialami oleh otak dan bersifat sementara. Gejala-gejala neurologis kemudian mereda beberapa jam kemudian seiring dengan terbentuknya hematom yang pada akhirnya akan memberikan efek yang cukup berat yakni herniasi pada otak.8
DIAGNOSIS
Banyak cara yang dapat digunakan untuk mendiagnosis sebuah kondisi epidural hematoma. Dari gambaran klinis, gambaran radiologi hingga gambaran patologi anatomi dapat dijadikan pendekatan untuk mendiagnosis sebuah kondisi epidural hematoma.
Gambaran Klinis
Epidural hematoma adalah salah satu akibat yang dapat ditimbulkan dari sebuah trauma kepala. Epidural hematoma kebanyakan berasal dari fraktur tulang tengkorak bagian lateral yang melukai pembuluh darah arteri meningea media atau pembuluh darah vena. Pasien mungkin mengalami kesadaran menurun secara mendadak ataupun tidak, tetapi dalam kurun waktu beberapa jam hingga 1-2 hari, kondisi lucid interval dapat terjadi, diikuti dengan perkembangan klinis yang cukup cepat dalam beberapa jam, seperti sakit kepala, hemiparesis, dan pada akhirnya dilatasi pupil yang ipsilateral. Kematian dapat terjadi apabila penanganan tidak segera dilakukan.4
Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan penurunan kesadaran. Pada kurang lebih 50 persen kasus kesadaran pasien membaik dan adanya lucid interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan sebagaimana peningkatan TIK. Pada kasus lainnya, lucid interval tidak dijumpai, dan penurunan kesadaran berlangsung diikuti oleh detoriasi progresif. Epidural hematoma terkadang terdapat pada fossa posterior yang pada beberapa kasus dapat terjadi sudden death sebagai akibat kompresi dari pusat kardiorespiratori pada medulla. Pasien yang tidak mengalami lucid interval dan mereka yang terlibat pada kecelakaan mobil pada kecepatan tinggi biasanya akan mempunyai prognosis yang lebih buruk.3
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia.3
Pada tahap akhir kesadaran akan menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga akan mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi, yang merupakan tanda kematian.3
Gambaran Radiologis
Meskipun foto radiologi skull atau tengkorak sering dilakukan untuk mengevaluasi sebuah fraktur tengkorak, dewasa ini CT scan merupakan pilihan primer dalam hal mengevaluasi trauma kepala. Emergensi CT scan adalah modalitas utama yang digunakan untuk mengevaluasi trauma kepala akut setelah penilaian neurologis dilakukan. Diagnosis yang tepat dari hasil CT scan sangat krusial untuk menentukan metode penanganan yang tepat.
Epidural hematoma terjadi dibawah calvarium, diluar dari dura periosteal. Sangat jarang melebihi batas dari sutura dikarenakan perlekatan yang kuat dari dura periosteal dengan batas dari sutura. Karena perlekatan yang kuat ini, sebuah epidural hematoma memiliki
batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT scan dan MRI. Kasus epidural hematoma yang khas memberikan tampakan lesi bikonveks dengan densitas tinggi yang homogeny pada CT scan, tetapi mungkin juga tampak sebagai densitas yang heterogen akibat dari pencampuran antara darah yang menggumpal dan tidak menggumpal.11
Gambaran Patologi Anatomi
Normalnya, tidak terdapat ruang epidural pada tengkorak. Fraktur dari tulang tengkorak dapat merobek pembuluh darah arteri dan vena yang melintas antara lapisan dura serta tulang tengkorak. Sebuah tumbukan atau hantaman dapat menyebabkan deformitas pada tengkorak tanpa mengakibatkan fraktur. Hal ini juga dapat mengakibatkan robekan pada pembuluh darah. Perdarahan yang terjadi akibat dari robekan pembuluh darah ini, dapat mengakibatkan gumpalan pada daerah epidural yang mendorong lapisan dura.1
DIAGNOSIS BANDING
Subdural Hematoma
Perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arachnoid, akibat robeknya vena jembatan. Gejala klinisnya adalah :
• sakit kepala
• kesadaran menurun + / -
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid, umumnya robekan dari bridging vein dan tampak seperti bulan sabit.3
Subarakhnoid hematoma
Gejala klinisnya yaitu :
• kaku kuduk
• nyeri kepala
• bisa didapati gangguan kesadaran
Pada pemeriksaan CT scan otak didapati perdarahan (hiperdens) di ruang subarakhnoid.3
PENATALAKSANAAN
Epidural hematoma hampir semua didasari oleh fraktur tengkorak. Lokasi yang paling sering ialah fossa temporal dimana skuama temporal adalah bagian tertipis dari tulang tengkorak sehingga mudah terjadi fraktur dan dengan mudah melukai pembuluh darah arteri meningea media. Kadang-kadang, fraktur dari tulang tengkorak akan melintasi sinus venosus. Sinus sagitalis superior dan sinus transversum adalah sinus yang paling rentan terkena, berakibat pada epidural hematoma vena.
Pendekatan yang paling umum dilakukan adalah dengan membuat insisi curvilinear pada kepala untuk membuka sepenuhnya tengkorak yang menutupi hematom (atau seluas mungkin yang bias dilakukan). Apabila otot temporal menutupi sisi yang ingin di insisi, sebaiknya harus ditarik ke arah inferior, dengan menyisakan pinggiran tipis yang melekat ke garis temporal superior dimana otot temporal nantinya dapat disambung kebali di akhir operasi. Ketika tulang telah terlihat, sebuah lubang dibuat dengan menggunakan bor, dekat dengan tepi hematoma. Tulang tengkorak pada akhirnya dapat disingkirkan dengan menggunakan lapisan dasar dari bor. Hematom kemudian disingkirkan, dan berbagai perdarahan dural akan berhenti, dan dura mater dijahit dengan nylon 4-0. Ketika hemostasis dapat dipastikan membaik, tulang tengkorak yang tadinya dilepas, dipasang kembali. Lapisan muskulokutaneus kemudian ditutup dengan menggunakan vicryl 00 untuk lapisan galeal serta untuk kulitnya digunakan stepler. Monitoring terhadap tekanan intracranial biasanya dilakukan pada tahap ini, sebelum akhirnya didorong ke ICU.6
PROGNOSA
Prognosis epidural hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan epidural hematoma yang telah dievakuasi mulai dari 16% – 32%. Seperti trauma hematoma intrakranial yang lain, biasanya mortalitas sejalan dengan umur dari pasien. Resiko terjadinya epilepsi post trauma pada pasien epidural hematoma diperkirakan sekitar 2%.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Agamanolis, Dimitri P., TraumaticBrain Injury and Increased in Intracranial Pressure, www.neuropathology.com.
2. Anonymous, Head CT, www.headcomputedtopography.com
3. Bayu, Epidural Hematoma, www.makalahku.blogspot.com
4. Greenberg, David A., Michael J. Aminoff, dan Roger P. Simon, Intracranial Hemorrhage, Clinical Neurology, 5th edition, Lange Medical Books, McGraw-Hill, United States of America, 2002, hal.44.
5. Hartwig, S.Mary dan Lorraine M.Wilson, Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf, Patofisiolog: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6, editor dr.Huriawati Hartanto et al, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2003, hal. 1016-1017.
6. Holland,Martin.C., Craniocerebral Trauma, Current Surgical Diagnosis & Treatment, 11th edition, editor Lawrence W.Way dan Gerard M. Doherty, MD., McGraw-Hill, United States of America, 2003, hal.906.
7. Holland, Martin.C, Epidural Hematoma, Current Surgical Diagnosis & Treatment, 5th edition, editor Stone, C.Keith dan Roger Humphries, McGraw-Hill, United States of America, 2004, hal.428.
8. McPhee, Stephen J dan William F.Ganong, Vascular Territories and Clinical Features in Ischemic Stroke, Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine, 5th edition, Lange Medical Books, McGraw-Hill, United States of America, 2006, hal.184.
9. Price, D.Daniel, Epidural Hematoma, www.emedicine.com
10. Thibodeau, Gary A. dan Kevin T.Patton, Central Nervous System, Anatomy and Physiology, 5th edition, Mosby, Missouri, 2003, hal.375-376.
11. Zee,Chi S, Head Injury, Neuroradiology A Study Guide, editor Martin J.W dan Susan Finn, McGraw-Hill Companies, United States of America, 1996, hal.236-237.

Benign Paroxymal Positional Vertigo

I. PENDAHULUAN
Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek, yang sering digambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness). Deskripsi keluhan tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau sefalgi, terutama karena di kalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala) sering digunakan secara bergantian.1
Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yang artinya memutar, merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. Berbagai macam defenisi vertigo dikemukakan oleh banyak penulis, tetapi yang paling tua dan sampai sekarang nampaknya banyak dipakai adalah yang dikemukakan oleh Gowers pada tahun 1893 yaitu setiap gerakan atau rasa (berputar) tubuh penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang bersangkutan dengan kelainan keseimbangan.1
Asal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infelsi, keganasan, metabolik, toksik, veskuler atau autoimun.sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem vestibuler (pusat dan perifer) dan non vestibuler (visual [retina, otot bola mata] dan somatokinetik [kulit, sendi, otot]). Sistem vestibuler sentral terletak pada batang otak, serebelum dan serebrum. Sebaliknya sistem vestibuler perifer meliputi labirin dan saraf vestibular. 5

Vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) atau disebut juga Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala. Beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigo. Biasanya vertigo dirasakan sangat berat, berlangsung singkat hanya beberapa detik saja walaupun penderita merasakannya lebih lama. Keluhan dapat disertai mual bahkan sampai muntah, sehingga penderita merasa khawatir akan timbul serangan lagi. Hal ini yang menyebabkan penderita sangat berhati-hati dalam posisi tidurnya. Vertigo jenis ini sering berulang kadang-kadang dapat sembuh dengan sendirinya. Vertigo pada BPPV termasuk vertigo perifer karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis. BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. Karakteristik nistagmus dan vertigo berhubungan dengan posisi dan menduga bahwa kondisi ini terjadi akibat gangguan otolit.2,3,4
II. EPIDEMIOLOGI
Benign Paroxysmal Potitional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai, kira-kira 107 kasus per 100.000 penduduk, dan lebih banyak pada perempuan serta usia tua (51-57 tahun). Jarang ditemukan pada orang berusia dibawah 35 tahun yang tidak memiliki riwayat cedera kepala. 5,6

III. ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT KESEIMBANGAN
Alat vestibuler (alat keseimbangan) ter¬letak di telinga dalam (Iabirin), terlindung oleh tulang yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin membran. Labirin membran terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin membran dan labirin tulang terdapat perilimfa, sedang endolimfa terdapat di dalam labirin membran. Berat jenis cairan endolimfa lebih tinggi dari pada cairan perilimfa. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung dalam perilimfa, yang berada dalam labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari 3 kanalis semi-sirkularis (kss), yaitu kss horizontal (lateral), kss anterior (superior) dan kss posterior (inferior). Selain 3 kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus. 7,8,9,

Keseimbangan dan orientasi tubuh se¬seorang terhadap lingkungan di sekitarnya ter¬gantung pada input sensorik dari reseptor vesti¬buler di labirin, organ visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggam¬barkan keadaan posisi tubuh pada saat itu. 7
Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang merupakan pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin tulang. Pada tiap pelebarannya terdapat makula utrikulus yang di dalamnya terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri dari tiga kanalis semisirkularis dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang ber¬hubungan dengan utrikulus, disebut ampula. Di dalamnya terdapat krista ampularis yang terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan se¬luruhnya tertutup oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula. 7,8,9

Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolari-sasi dan akan merangsang pelepasan neuro-transmiter eksitator yang selanjutnya akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi. 7,9
Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi mengenai perubahan posisi tubuh akibat per-cepatan linier atau percepatan sudut. Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh yang sedang berlangsung.8
Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh bersangkutan. Gejala yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah. Pada jantung berupa bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berkeringat dingin.8
IV. ETIOLOGI
Penyebab utama BPPV pada orang di bawah umur 50 tahun adalah cedera kepala. Pada orang yang lebih tua, penyebab utamanya adalah degenerasi sistem vestibuler pada telinga tengah. BPPV meningkat dengan semakin meningkatnya usia.10

V. PATOFISIOLOGI
Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain :
• Teori Cupulolithiasis
Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus. 3,4,6
• Teori Canalithiasis
Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith bergerak bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang partikel ini berotasi ke atas sarnpai ± 900 di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak
ke arah berlawanan. Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan “delay” (latency) nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan konsep kelelahan “fatigability” dari gejala pusing. 3,4,6

VI. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual. 6

B. Pemeriksaan fisis
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pada evaluasi neurologis normal.6 Pemeriksaan fisis standar untuk BPPV adalah :D ix-Hallpike. Dan Tes kalori.1,2,11

Dix-Hallpike. Cara melakukannya sebagai berikut:
- Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.
- Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30o – 40o, penderita diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
- Kepala diputar menengok ke kanan 45o (kalau KSS posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di KSS posterior.
- Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
- Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut dipertahankan selama 10-15 detik.
- Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet” (ke arah dahi) dan ipsilateral.
- Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arah yang yang berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar ke arah berlawanan.
- Berikutnya maneuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45o dan seterusnya

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, ± 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.2
Tes kalori.
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dick dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30 derajat C, sedangkan suhu air panas adalah 44 derajat C. volume air yang dialirkan kedalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit ( untuk menghilangkan pusingnya).7

VII. DIAGNOSIS BANDING
• Vestibular Neuritis
Vestibular neuronitis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan. Gejala-gejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari. Sebagian pasien perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mengatasi gejala dan dehidrasi. Serangan menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan ketidakseimbangan selama beberapa bulan, serangan episodik dapat berulang. Pada fenomena ini biasanya tidak ada perubahan pendengaran.8
• Labirintitis
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan mekanisme telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik yang berbeda. Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau supuratif. Labirintitis toksik akut disebabkan suatu infeksi pada struktur didekatnya, dapat pada telinga tengah atau meningen tidak banyak bedanya. Labirintitis toksik biasanya sembuh dengan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular. Hal ini diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari suatu infeksi dan bukan disebabkan oleh organisme hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut yang meluas ke dalam struktur-¬struktur telinga dalam. Kemungkinan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular cukup tinggi. Yang terakhir, labirintitis kronik dapat timbul dari berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau perubahan-perubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosi labirin. 8

• Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan pendengaran, tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi pada wanita dewasa.

Patofisiologi : pembengkakan endolimfe akibat penyerapan endolimfe dalam skala media oleh stria vaskularis terhambat.
Manifestasi klinis : vertigo disertai muntah yang berlangsung antara 15 menit sampai beberapa jam dan berangsur membaik. Disertai pengurnngan pendengaran, tinitus yang kadang menetap, dan rasa penuh di dalam telinga. Serangan pertama hebat sekali, dapat disertai gejala vegetatif Serangan lanjutan lebih ringan meskipun frekuensinya bertambah. 12

VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama pada BPPV adalah manuver untuk mereposisi debris yang terdapat pada utrikulus. Yang paling banyak digunakan adalah manuver seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah. Manuver mungkin diulangi jika pasien masih menunjukkan gejala-gejala. Bone vibrator bisa ditempatkan pada tulang mastoid selama manuver dilakukan untuk menghilangkan debris. 6

Terlebih dulu , dengan orang duduk, kepala dibalik sekitar 45 ke sebelah kanan atau kiri, tergantung pada sisi pemicu vertigo. Orang kemudian berbaring dengan kepala bergantung di balik pinggir meja periksa (tempat tidur). Akhirnya, kepala dan badan dibalik sampai hidung menunjuk ke lantai. Orang kemudian duduk tegak tetapi menjaga kepala agar tetap dibelokkan sejauh mungkin. Satu kali orang lurus, kepala bisa menghadap ke depan.
Kepala kemudian diubah ke arah yang lain dengan sudut yang sama. Kepala dibelokkan lebih jauh ke sebelah kiri, agar telinga sejajar dengan lantai.6,14
Penanganan BPPV di rumah
Latihan Brandt Daroff
Latihan Brand Daroff merupakan suatu metode untuk mengobati BPPV, biasanya digunakan jika penanganan di praktek dokter gagal. Latihan ini 95% lebih berhasil dari pada penatalaksanaan di tempat praktek. Latihan ini dilakukan dalam 3 set perhari selama 2 minggu. Pada tiap-tiap set, sekali melakukan manuver dibuat dalam 5 kali. Satu pengulangan yaitu manuver dilakukan pada masing-masing sisi berbeda (membutuhkan waktu 2 menit). Jadwal latihan Brandt Daroff yang disarankan :

Waktu Latihan Durasi
Pagi 5 kali pengulangan 10 menit
Sore 5 kali pengulangan 10 menit
Malam 5 kali pengulangan 10 menit

Mulai dengan posisi duduk kemudian berubah menjadi posisi baring miring pada satu sisi, dengan sudut kepala maju sekitar setengah. Tetap pada posisi baring miring selama 30 detik, atau sampai pusing di sisi kepala, kemudian kembali ke posisi duduk. Tetap pada keadaan ini selama 30 detik, dan kemudian dilanjutkan ke posisi berlawanan dan ikuti rute yang sama. Latihan ini harus dilakukan selama 2 minggu, tiga kali sehari atau selama tiga minggu, dua kali sehari. Sekitar 30% pasien, BPPV dapat muncul kembali dalam 1 tahun.

Manuver Epley di rumah

Prosedur ini lebih efektif dari prosedur di ruangan, karena diulang setiap malam selama seminggu. Metode ini (untuk sisi kiri), seseorang menetap pada posisi supine selama 30 detik dan pada posisi duduk tegak selama 1 menit. Dengan demikian siklus ini membutuhkan waktu 2 ½ menit. Pada dasarnya 3 siklus hanya mengutamakan untuk beranjak tidur, sangat baik dilakukan pada malam hari daripada pagi atau siang hari, karena jika seseorang merasa pusing setelah latihan ini, dapat teratasi sendiri dengan tidur. Ada beberapa masalah yang timbul dengan metode lakukan sendiri. Jika diagnosis BPPV belum dikonfirmasi, seseorang dapat melakukan latihan ini untuk mengobati keadaan lain (seperti tumor otak atau stroke) dengan latihan posisi. Ini tidak berhasil dapat menunda penanganan yang tepat. Masalah kedua adalah Epley memerlukan pengetahuan dari sisi jelek. Komplikasi seperti perubahan ke kanal lain dapat terjadi selama maneuver Epley, yang lebih baik ditangani oleh dokter daripada dirumah. Akhirnya sering terjadi selama maneuver Epley, gejala neurologis dipicu ole kompresi pada arteri vertebralis. Berdasarkan pendapat kami, lebih aman melakukan Epley di dokter daripada melakukan sendiri.
Operasi dilakukan pada sedikit kasus pada pasien dengan BPPV berat. Pasien ini gagal berespon dengan manuver yang diberikan dan tidak terdapat kelainan patologi intrakranial pada pemeriksaan radiologi. Gangguan BPPV disebabkan oleh respon stimulasi kanalis semisirkuler posterior, nervus ampullaris, nervus vestibuler superior, atau cabang utama nervus vestibuler. Oleh karena itu, terapi bedah tradisional dilakukan dengan transeksi langsung nervus vestibuler dari fossa posterior atau fossa medialis dengan menjaga fungsi pendengaran.6
IX. PROGNOSIS
Prognosis setelah dilakukan CRP (canalith repositioning procedure) biasanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25%. 4,5

DAFTAR PUSTAKA
1. Wreksoatmojo BR. Vertigo-Aspek Neurologi. [online] 2009 [cited 2009 June 17th]. Available from : URL:http://www.google.com/vertigo/cermin dunia kedokteran .html
2. Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar N, Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepa la & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9
3. Bojrab DI, Bhansali SA, Battista RA. Peripheral Vestibular Disorders. In: Jackler RK & Brackmann DE, Editor: Textbook of Neurotology. St. Louis, Missouri : Mosby. 1994. p 629-33
4. Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited 2009 June 17th]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview
5. Anonim. Si Penyebab Kepala Berputar. [online] 2009 [cited 2009 June 18th]. Available from : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/category_news.asp?IDCategory=23.
6. Johnson J & Lalwani AK. Vestibular Disorders. In : Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & treatment in Otolaryngology- Head & Neck Surgery. New York : Mc Graw Hill Companies. 2004. p 761-5
7. sBashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Gangguan Keseimbangan. Dalam : Arsyad E, Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 94-101
8. Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi H, Santoso R, Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta : EGC. 1997. h 39-45
9. Sherwood L. Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan. Dalam: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1996. p 176-189
10. Hain TC. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited 2009 June 17th]. Available from : http://www .dizziness-and-balance.com/bppv.html
11. Furman JM, Cass SP. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. NEJM [online] 2009 [cited 2009 June 17th]. Available from : http://content.nejm.org/cgi/reprint/341/21/1590.pdf
12. Mansjoer a, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setowulan W. Penyakit Menierre. Dalam : KApita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI. 2001. Hal 93-94
13. Balasubramanian. BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo). [online] 2009 [cited 2009 June 17th]. Available from :http://www.drtbalu.com/BPPV.html
14. Anonym. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited 2009 June 17th]. Available from : http://www .medicastore.com.
15. Anonym. Vestibular System . [online] 2009 [cited 2009 June 17th]. Available from : http:www.Britanica Online Encyclopedia.

Senin, 03 Januari 2011

Mengatasi Ejakulasi Dini

Pengertian penyakit ejakulasi dini
Ejakulasi dini adalah suatu keadaan dimana ejakulasi terjadi kurang dari 2 menit. Pengertian kurang dari 2 menit ini bersifat relative, ada referensi yang mengatakan kurang dari 5 menit dan ada yang mengatakan kurang dari 10 menit. Referensi lain mengatakan seorang laki – laki di katakan ejakulasi dini bila seorang laki laki gagal mempertahankan ejakulasi sesuai dengan harapan atau kepuasan pasangannya. Ejakulasi dini akan menyebabkan gangguan keharmonisan rumah tangga bahkan cenderung menimbulkan perselingkuhan karena istri tidak mendapat kepuasan seksual dari suami yang mengalami ejakulasi dini.

Penyebab ejakulasi dini
Penyebab pasti dari ejakulasi dini belum diketahui secara pasti, sementara ini penyebab ejakulasi dini adalah sangat kompleks melibatkan faktor psikologis, kesehatan dan biologis yang kompleks dan rumit. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya ejakulasi dini :
Faktor psikologis penyebab ejakulasi dini :
  1. Pengalaman seksual di masa muda, dimana sering melakukan hubungan seksual dengan terburu – buru, perasaan bersalah, pengalaman seksual yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman.
  2. Stress dan tekanan pekerjaan sangat mempengaruhi ejakulasi
  3. Kecemasan, tidak percaya diri dan ketakutan yang berlebihan
Faktor kesehatan dan biologis penyebab ejakulasi dini :
  1. Kadar hormon yang tidak normal
  2. Kebiasaan onani dan masturbasi menyebabkan kerusakan epitel penis sehingga meningkatkan sensitifitas (perangsangan) dari kulit penis
  3. kadar neurotransmitter (zat perantara impuls saraf) tidak normal
  4. refleks abnormal dari aktivitas sistem ejakulatorius
  5. Beberapa dangguan kelenjar tiroid
  6. Peradangan dan infeksi prostat atau uretra
  7. Faktor genetik/keturunan
  8. Kerusakan sistem saraf akibat dari operasi atau trauma
  9. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan ejakulasi dini adalah diabetes, hipertensi, kerusakan saraf, aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) dan gangguan prostat.
Faktor resiko terjadinya ejakulasi dini
  1. Disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi adalah gangguan proses ereksi pada laki – laki. Anda memiliki resiko menderita ejakulasi dini jika anda kadang – kadang atau sering mengalami gangguan dalam mempertahankan ereksi secara konsisten. Perasaan takut kehilangan ereksi, menyebabkan anda terburu-buru untuk menyelesaikan hubungan seksual.
  2. Masalah kesehatan. Masalah medis menyebabkan Anda merasa cemas selama melakukan hubungan seks, seperti masalah jantung, dapat menyebabkan Anda secara sadar terburu-buru untuk ejakulasi. Aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) menyebabkan aliran darah menuju penis, diabetes menyebabkan darah menjadi lebih kental sehingga mempengaruhi aliran darah menuju penis.
  3. Stres. Stress dan tekanan emosional atau mental di segala bidang kehidupan dapat mempengaruhi terjadinya ejakulasi dini, sering membatasi kemampuan anda untuk menikmati dan fokus selama hubungan seksual.
  4. Obat tertentu. Beberapa jenis obat dapat mempengaruhi neurotransmitter dalam otak seperti trifluoperazine (Stelazine) yang digunakan untuk mengatasi kegelisahan dan masalah kesehatan mental.
Gejala ejakulasi dini
Gejala ejakulasi dini ditandai dengan ejakulasi sebelum waktu yang diinginkan oleh kedua pasangan tersebut. Namun masalahnya ejakulasi dapat terjadi pada semua situasi seksual bahkan termasuk ketika masturbasi. Dokter biasanya membagi ejakulasi dini terbagi atas dua yaitu ejakulasi primer (seumur hidup) dan ejakulasi sekunder (diperoleh).
Gejala ejakulasi primer (seumur hidup) adalah :
  1. Ejakulasi yang selalu atau hampir selalu terjadi dalam satu menit atau kurang pada saat melakukan penetrasi vagina
  2. Ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi pada semua atau hampir saat melakukan penetrasi vagina
  3. Kehidupan pribadi yang negatif, seperti stres , frustrasi atau menghindari keintiman seksual
Gejala ejakulasi sekunder (di dapat) adalah :
  1. Ejakulasi dini sekunder terjadi setelah sebelumnya tidak mengalami ejakulasi dini dan mampu memuaskan pasangannya dan menjalani hubungan seksual yang normal
  2. Disebabkan karena ada masalah pribadi dan hubungan dengan pasangannya.
Penanganan dan obat ejakulasi dini
Pilihan pengobatan untuk ejakulasi dini adalah terapi seksual , obat-obatan dan psikoterapi . Bagi banyak pria , kombinasi perawatan merupakan pengobatan yang terbaik.
Terapi ejakulasi dini dengan menggunakan teknik memeras
Dokter akan menginstruksikan Anda dan pasangan Anda untuk menggunakan teknik memeras. Metode ini bekerja sebagai berikut :
  1. Langkah 1. Mulailah aktivitas seksual seperti biasa , termasuk rangsangan dari penis , sampai Anda merasa hampir siap untuk ejakulasi .
  2. Langkah 2 . setelah anda siap untuk ejakulasi maka pasangan anda akan meremas ujung penis anda selama beberapa detik sampai keinginan untuk ejakulasi hilang.
  3. Langkah 3 . Setelah memeras dilepaskan, tunggu sekitar 30 – 60 detik , kemudian kembali ke pemanasan hingga anda mengalami ereksi kembali dan siap untuk ejakulasi.
  4. Langkah 4. Lakukan pemerasan ulangan seperti langkah 2
Dengan mengulang ini sebanyak yang diperlukan, jika pasangan anda telah terpuaskan maka Anda dapat ejakulasi. Setelah anda mengetahui cara menunda ejakulasi maka latihan selanjutnya tidak diperlukan lagi teknik meremas.
Obat ejakulasi dini
Hingga saat ini belum ada obat yang secara spesifik digunakan untuk mengobati ejakulasi dini. Obat yang ada saat ini adalah obat anti depresan yang memiliki efek samping berupa “penundaan orgasme” yang menyebabkan tertundanya ejakulasi. Dokter menyarankan bahwa orang-orang yang telah ejakulasi dini dapat mengambil manfaat dari efek samping dari obat antidepresan yang spesifik ini. Efek samping lain dari obat antidepresan lainnya adalah mual, mulut kering, kantuk dan penurunan libido.
Psikoterapi ejakulasi dini
Pendekatan ini dikenal sebagai konseling atau terapi bicara untuk mengetahui kondisi psikologis penderita ejakulasi dini dan melibatkan psikiater (dokter jiwa) atau psikolog. Psikoterapi bertujuan untuk mengatasi masalah stress dan emosional yang menjadi salah satu faktor penyebab ejakulasi dini.
Obat tradisional – herbal ejakulasi dini
Obat tradisional atau herbal untuk mengobati ejakulasi dini adalah jamur lingzhi dan ginseng. Kedua jenis herbal ini dapat membantu mengatasi masalah kesehatan yang menyebabkan ejakulasi dini, meningkatkan kualitas sperma dan kekuatan ereksi. Daun murbai dapat digunakan untuk detoxifikasi (membuang racun).
Komplikasi ejakulasi dini
Komplikasi yang dapat terjadi akibat ejakulasi dini adalah keharmonisan rumah tangga terganggu, selain itu ejakulasi dini menunjukkan penurunan fungsi organ dan metabolism tubuh. Ejakulasi dini sering disertai dengan keluhan sulit memiliki anak karena ejakulasi dini biasanya disertai dengan kualitas sperma yang kurang, air mani yang encer dan jumlah sperma yang kurang normal

OBAT-OBAT TERKAIT EJAKULASI DINI

Obat antidepresan

Pada tahun 1990-an mengantarkan sebuah era baru dalam pengobatan Ejakulasi Dini ketika dokter menemukan obat antidepresan tertentu yang memiliki efek samping dari menunda ejakulasi. Jenis obat dapat membantu karena mereka memiliki efek samping yang umum memperpanjang waktu yang diperlukan untuk mencapai orgasme. 

Namun, antidepresan tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk mengobati Ejakulasi Dini. Meskipun demikian, penelitian telah menunjukkan bahwa mereka aman dan efektif. Obat-obat ini termasuk selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) seperti fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil) atau sertraline (Zoloft), dan antidepresan trisiklik, seperti clomipramine (Anafranil).
PE merupakan masalah mendunia yang tidak memiliki acuan penanganan yang disetujui secara luas. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan antidepresan yang digunakan secara luas “off label” sebagai agen farmakoterapi dalam penanganan PE. Namun penggunaan SSRIs dan antidepresan lainnya belum mendapatkan FDA approved. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui agen farmakologi mana yang paling tepat untuk digunakan dalam penanganan PE.
Berikut ini kami sampaikan uji klinik mengenai tramadol yang digunakan dalam penanganan PE.
1. Salem dkk melakukan studi untuk mengetahui efikasi tramadol dalam penanganan PE. Dalam studi ini IELT digunakan sebagai alat untuk mengetahui efikasi tramadol dalam penanganan PE. Single-blind, placebo-controlled, crossover, stopwatch monitored two-period study dilakukan pada 60 pasien dengan riwayat PE sepanjang hidupnya. Disebut PE jika IELT <2 menit pada 80% hubungan intim yang dilakukan. Tramadol HCl 25 mg diberikan pada 30 pasien sebelum melakukan hubungan intim dan plasebo diberikan pada 30 pasien sisanya selama 8 minggu. Obat ditelan 1-2 jam sebelum melakukan aktivitas seksual dan setidaknya hubungan intim harus dilakukan 1 kali/minggu. Setelah periode 8 minggu, grup yang awalnya mendapat plasebo kemudian ditukar dan mendapatkan tramadol, begitu juga pada grup yang satunya, dan penukaran tersebut dilakukan selama 8 minggu. Antara 2 periode 8 minggu dipisahkan oleh periode 1 minggu dimana seluruh pasien tidak mengkonsumsi tramadol ataupun plasebo. IELT diukur dengan stopwatch setiap kali melakukan hubungan intim dan hasilnya dilaporkan oleh pasien atau pasangan seksualnya. IELT awal (rata-rata ± SD) sebelum diberikan terapi adalah 1.17± 0.39 menit. Pada akhir periode terapi, IELT rata-rata meningkat secara signifikan pada pasien saat mendapatkan tramadol, yaitu 7.37± 2.53 menit (P<0.0001). IELT rata-rata pada pasien saat mendapatkan plasebo adalah 2.01±0.71 menit. Para pasien melaporkan kepuasan mereka akan hasil terapi terhadap kontrol ejakulasi. Kesimpulan : tramadol, obat anti inflamasi yang sudah terbukti keamanannya, menunjukkan potensinya sebagai terapi untuk menangani PE.
2. Safarinejad dan Hosseini melakukan studi untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan a new serotonergic centrally acting drug tramadol dalam menunda ejakulasi pada pasien PE. 64 laki-laki dengan PE secara acak diberikan 50 mg tramadol (grup 1, n = 32) atau plasebo (grup 2, n = 32) kira-kira 2 jam sebelum melakukan hubungan intim, selama 8 minggu. Sebelum diberikan terapi, dilakukan evaluasi mengenai : riwayat PE, pemeriksaan fisik, IELT, International Index of Erectile Function, dan tes Meares-Stamey. Efikasi dari kedua terapi yang diberikan, dinilai berdasarkan respon pasien terhadap International Index of Erectile Function, dan IELT. 57 pasien (89%) berhasil menyelesaikan seluruh terapi. IELT rata-rata meningkat dari 19 detik menjadi 243 detik setelah pemberian tramadol, sedangkan IELT rata-rata untuk plasebo meningkat dari 21 detik menjadi 34 detik setelah pemberian plasebo (P<0.001). Frekuensi rata-rata hubungan intim dalam seminggu meningkat dari 1.07 menjadi 2.3 setelah pemberian tramadol dan dari 1.1 menjadi 1.3 setelah pemberian plasebo (P<0.05). Nilai domain kepuasan setelah melakukan hubungan intim berdasarkan International Index of Erectile Function, meningkat dari 10 menjadi 14 setelah pemberian tramadol dan dari 11 menurun menjadi 10 setelah pemberian plasebo (P<0.05). Tidak terdapat penghentian terapi akibat efek samping dari pemberian tramadol maupun plasebo, namun efek samping akibat pemberian tramadol lebih banyak dibandingkan dengan plasebo (P<0.05). Kesimpulan : tramadol memperlihatkan hasil yang lebih baik secara bermakna dalam IELT dan kepuasan hubungan intim dibandingkan dengan plasebo.

Senam Kegel
Menurut Prof Wimpie, salah satu latihan yang bisa digunakan untuk menahan ejakulasi adalah dengan mencoba latihan kegel atau sex therapy yang dilakukan dengan pasangan Anda. Senam ini adalah sebagai senan latihan otot-otot panggul untuk meningkatkan kekuatan dalam berhubungan seksual.
Senam kegel ini awalnya dipergunakan oleh wanita yang tidak mampu mengontrol pengeluaran urin. Otot PC disebut juga otot ’seksual’ karena mendukung vagina, penis, uterus, rectum dan bagian tubuh lain yang terkait fungsi seksual seperti orgasme dan ejakulasi baik pada wanita maupun pria.
Untuk menemukan lokasi otot PC, Anda dapat menghentikan urine saat Anda buang air kecil. Cobalah berhenti buang air kecil sampai tiga kali sehingga Anda dapat menentukan posisi otot-otot PC tersebut.
Latihan kegel  ini merupakan rangkaian gerakan yang berfungsi untuk melatih kontraksi otot PC berkali-kali dengan tujuan meningkatkan tonus dan kontraksi otot. Latihan ini baru menunjukkan manfaatnya setelah dilakukan minimal enam minggu.
Caranya dengan mengencangkan otot-otot tersebut sebanvak 10 kali dan mengendorkannya 10 kali setiap hari, dalam tempo satu hingga satu setengah bulan, secara otomatis Anda akan menjadi terbiasa untuk menunda ejakulasi sehingga orgasme berulangkali dapat dialami.