Pages

Rabu, 23 Februari 2011

PENEGAKAN DIAGNOSIS FIBROMIALGIA : MENJAUH DARI TENDER POINT

Ditulis oleh:
Atul Khasnis, MD; William S. Wilke, MD

Semenjak American College of Rheumatologi mendefinisikan sindroma fibromyalgia (FMS) tahun 1990, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi beratnya tender point dan proses penegakkan diagnosis meliputi gejala umum lainnya. Skala Intensitas Gejala (The Symptom Intensity Scale) dapat digunakan untuk mengukur nyeri dan kelelahan secara objektif. Pengenalan FMS dikuatkan dengan keberadaan kondisi lainnya. Manajemen multimodal FMS dimulai dengan edukasi dan latihan yang merupakan kunci pengobatan. Optimalisasi tidur menjadi suatu hal yang penting. Faktor depresi harus dicari, dikenali dan di tatalaksana dengan optimal. Manajemen nyeri pada FMS merupakan suatu tantangan. Kombinasi antara terapi non farmakologi, farmakologi dan edukasi  merupakan kunci tatalaksana.
Pendahuluan
Sindroma Fibromyalgia (FMS) bukanlah sebuah dongeng, namun merupakan suatu hal menarik yang tidak dapat dijelaskan sejak zaman dahulu. Awalnya penelitian difokuskan pada gejala pengerasan otot seperti yang digambarkan pasien. Belakangan ini konsep diagnosis FMS mengalami beberapa perubahan, termasuk pergeseran dari evaluasi terhadap fokus tender point kepada daerah yang nyeri dan penilaian terhadap gejala spesifik pada pasien yang dilakukan secara keseluruhan.
Dokter seharusnya lebih aktif dalam membuat diagnosis supaya dapat ditatalaksana dengan  baik. Pendekatan terapi multimodal sebaiknya dilakukan secara bersamaan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Pada artikel ini, kami mengulas  perkembangan dalam diagnosis FMS dan membahas  isu penting dalam pengobatan seperti pentingnya edukasi pasien,  latihan aerobik, terapi gangguan tidur, depresi dan nyeri.




Evolusi Dalam Konsep Diagnostik
Kriteria Awal
Pada tahun 1976, Hench mendefinisikan FMS secara klinis berdasarkan dua kriteria yaitu nyeri dan tidak ada penjelasan fisiologis untuk nyeri tersebut. Sejak dikeluarkan deskripsi tersebut, FMS dibuat  lebih sebagai diagnosis inklusi ketimbang eksklusi, dengan kata lain dokter semestinya membuat diagnosis FMS berdasarkan munculan klinis, bukan setelah kemungkinan lain disingkirkan.
Pada tahun 1979, Smythe mengusulkan kriteria diagnostik untuk  FMS bila ditemukan 12 dari 14 tender point anatomi (tender menunjukkan angka 4 kg tekanan), nyeri difus selama paling kurang 3 bulan, gangguan tidur, kekakuan  pada perbatasan otot trapezius atas, dan hasil tes laboratorium normal. Sementara menurut Yunus dkk ( 1981) mendefinisikan sebagai  nyeri difus yang berlangsung   3 bulan, penyebab lainnya yang kurang jelas, 5 dari 40 tender point dengan 10 kriteria minor lainnya. Kriteria ini memiliki nilai sama berat untuk tender point dan gejala serta  tanda FMS lainnya.
Pada tahun 1990, American College of Rheumatology (ACR) menetapkan kriteria  FMS berdasarkan penelitian  293 pasien   FMS dibandingkan dengan 265 pasien kontrol yang dibagi menurut usia, jenis kelamin, dan  diagnosis rematik. Kombinasi dari kriteria nyeri difus minimal 3 bulan dengan memiliki 11 dari 18 tender point yang memberikan sensitivitas sebesar 88% dan spesifisitas 81%. Berdasarkan kriteria ACR, 19 pasien dengan 11 tender point tidak memiliki FMS. Tetapi, kriteria ini mengabaikan gejala dan tanda lainnya yang merupakan bagian FMS, termasuk fatique/kelelahan, gangguan kognitif, kesulitan tidur, perasaan tidak segar di pagi hari, sensitif terhadap cahaya, bau dan suara serta kelemahan umum.
Revisi Istilah Tender Point.
Sejak definisi ACR ditetapkan, konsep tender point ditinjau ulang , dengan meningkatnya berbagai pendapat pada penggunaannya dalam diagnosis FMS. Kelemahan area anatomi tertentu dapat terjadi pada orang normal dengan tekanan sedang. Namun, istilah tender point mungkin berguna sebagai alat ukur beratnya gejala pada pasien dengan riwayat FMS. Oleh karena itu, mereka dapat digunakan sebagai barometer distress psikologis tetapi mungkin tidak digunakan pada kejadian FMS primer.
Beberapa penelitian telah mendukung terhadap konsep beratnya tender point dalam mendiagnosis FMS. Kriteria Manchester menggunakan sebuah diagram nyeri dimana pasien dapat menunjukkan area nyeri daripada keterbatasan pilihan untuk mendefinisikan tender point. Langkah untuk memperluas proses diagnosis FMS memasukkan gejala umum FMS lainnya daripada batasan  sempit nyeri tajam pada London Fibromyalgia Epidemyology Study Screening Questionnaire, yang merupakan tes permulaaan dalam menilai nyeri dan fatique sebagai skrining epidemiologi FMS. Pada tahun 1999, White dkk menekankan penambahan kelelahan dalam diagnosis FMS. Konsep ini selanjutnya  berkembang menjadi sebuah alat ukur yang dinamakan Symptom Intensity Scale (SIS).
Alat Ukur Objektif
SIS merupakan alat ukur yang komprehensif yang bertujuan menilai rasa nyeri dan fatique pada pasien FMS. Skala ini membantu dalam mendiagnosis yang sama baiknya dalam mengukur marker secara serial penyakit inflamasi sistemik autoimun. Pasien  mengisi skala pada setiap kunjungan, yang memberikan  pasien dan tenaga medis sebuah alat ukur yang objektif. Selain itu, keuntungan alat ini dapat melihat peningkatan  kemauan pasien untuk mematuhi nasehat dokter selama kunjungan.
Wolve telah mengembangkan SIS dengan melakukan survey yang dikirimkan kepada 12.799 pasien yang  didiagnosis sebagai variasi rematik, seperti reumatoidarthritis, osteoarthritis, dan FMS. Survei terdiri dari skala nyeri  yang ditanya sekitar 38 area artikular dan non artikular dan  10-cm Fatique Visual Analog Scale (FVAS).
Sebuah kelompok kecil dari 19 area anatomi non artikular  telah ditemukan untuk membedakan FMS dari penyakit lainnya. Area 19 ini merupakan Regional Pain Scale (RPS) yang merupakan bagian dari SIS, yang divalidasi menggunakan metode statistik yang sesuai. Nilai skor 8 atau lebih pada RPS, dengan nilai 6 atau lebih pada FVAS, diduga sebagai diagnosis FMS.
Pada tahun 2006, Katz dkk meneliti 75% tingkat konkordasi sepanjang pengukuran RPS, kriteria ACR, diagnosis klinik FMS ( berdasarkan berbagai gejala). Dalam penelitian lainnya, RPS dengan nilai 8 atau lebih mempunyai sensitivitas 87,6%, nilai skor 6 atau lebih juga berguna dalam mendiagnosis FMS.
Wolfe dan Rasker telah membuat SIS formal. Ini dihitung sebagai jumlah RPS dibagi 2 (disebut sebagai Symptom Intensity Score (SIS)) ditambah dengan FVAS lalu dibagi 2 ((RPS/2+FVAS)/2).
SIS mengacu pada skor. Nilai yang dihitung mungkin dalam rentang 0 sampai 9,75, pada penelitian terhadap 25.417 pasien, skor cut off 5,75, digunakan untuk membedakan FMS dengan diagnosis rematik lainnya. SIS juga berkaitan erat  gejala FMS dan Short Form- 36, sebuah pengukuran objektif  tentang kesehatan secara umum, perasaan, kemungkinan diabetes mellitus, kebutuhan perawatan di rumah sakit, tingkat disabilitas, resiko peningkatan kematian dini (resiko relative 1,12; 95% interval terpercaya, 1,10-1,14).
Lebih dari sekedar menilai nyeri ternyata SIS mempengaruhi penilaian dampak global yang lebih besar dari FMS  seperti kualitas hidup dan morbiditas dan mortalitas yang serius. Dampak FMS terhadap penyakit rematik lainnya sama baiknya dibandingkan dengan kesehatan umum seharusnya dihargai karena memiliki arti yang luas tentang penegakkan diagnosis dini dan manajemen penyakit rematik selanjutnya. Penggunaan SIS memungkinkan para dokter untuk lebih memahami aspek biopsikososial pada pasien. Kriteria baru FMS, alat-alat seperti SIS mungkin  akan meminimalkan penggunaan istilah tender point.
Kondisi Klinis Penyerta
Diagnosis FMS mungkin dibantu dengan  adanya kondisi atau gejala lainnya. Nyeri sering bertambah pada keadaan cuaca dingin dan lembab, fatique, kurang gerak, kecemasan, atau aktivitas yang berlebihan. Biasanya nyeri berkurang atau reda dengan mandi air hangat, latihan fisik aerobic dan pemijatan.
Kondisi lain yang menyertai FMS dan terlibat dalam patofisiologi termasuk sindrom takikardi ortostatik postural,  sensitisasi sentral ( peningkatan kepekaan terhadap sensasi indra khusus), sistitis intersisial, karotodinia, Irritable bowel syndrome, migren, riwayat  nyeri kepala  pada anak dan gangguan tidur. Hubungan ini mungkin masuk akal mengenai mekanisme sentral yang melatarbelakangi pasien yang penting diketahui oleh sejumlah dokter spesialis dan dokter keluarga dalam mengobati pasien dengan FMS. Jika keluhan berlangsung terus, sehingga mengarah ke rujukan spesialisasi tertentu, mengobati pasien dengan penyakit penyerta bukanlah pendekatan yang terbaik tanpa diagnosis yang jelas.
Pendekatan Manajemen Pasien
FMS seharusnya bukanlah sebuah diagnosis ekslusi tetapi sebagai diagnosis yang dikenal, diikuti dengan peningkatan manajemen yang lebih baik, pendekatan ini mungkin dapat mencegah penggunaan terapi jangka panjang dan toksik. Misalnya, nyeri sendi persisten tanpa adanya pembengkakan atau sinovitis dan batas reaksi fase akut normal RA merupakan keadaan yang umum terjadi pada beberapa kasus karena komorbid FMS. Pemberian imunosupresi dalam keadaan ini tidak perlu bahkan berbahaya. Pengobatan rasional memerlukan pengenalan dan pemahaman tentang komorbid FMS.
Manajemen pada hampir semua kondisi medis sering bersifat individual termasuk juga dengan FMS. Waktu tambahan mungkin perlu pada pertemuan awal dalam mencoba untuk mengidentifikasi profil pasien secara keseluruhan dapat membantu manajemen pasien. Penilaian awal dan follow up serial sangatlah berguna sebagai ukuran objektif  dengan menggunakan SIS, Mood Disorder Questionnaire (MDQ), Patient health Questionnaire (PHQ), Epworth Sleep Scale (ESS), Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ), dan instrument lainnya. Manajemen FMS sangatlah kompleks seperti penyakit yang mendasari dan pengenalan fenotip tertentu (predominan nyeri kronis, predominan fatique kronis) memungkinkan pendekatan terapi yang lebih baik.
Gambar 1 : Skala Intensitas Gejala (SIS) membantu dalam mendiagnosis sindroma fibromialgia dan monitor serial dalam mengukur marker inflamasi dalam gangguan autoimun sistemik inflamasi. SIS ini merupakan alat ukur objektif dalam mengobati pasien

 




Edukasi Pasien
Manajemen multimodal FMS dimulai dengan edukasi, yang merupakan hal utama dalam  mengobati pasien dan menfasilitasi untuk terapi non farmakologik lainnya. Memahami  keluhan mereka dan juga mekanisme yang mendasarinya dapat menjadi terapi yang baik, karena pasien dengan FMS banyak bertemu dokter dan tidak menerima penjelasan yang memuaskan terhadap penyakit mereka. Adanya harapan terhadap pilihan pengobatan dan tujuannya saat pengobatan merupakan hal yang penting. Meskipun tidak bisa dipastikan waktu perkembangan perbaikan gejala pada semua pasien, namun penting untuk melihat pasien setelah 6 minggu sampai 3 bulan secara subjektif dan objektif tentang perkembangan respon terhadap terapi awal. Bila komponen FMS (nyeri, depresi dan kelemahan) berubah, maka begitu juga dengan FMS. Motivasi pasien dan partisipasi aktif pasien juga penting dalam rencana pengobatan, yang berpengaruh pada pengambilan keputusan pengobatan mereka.
    Politerapi harus dihindarkan, lebih diutamakan monoterapi saat pasien didiagnosis dengan RA. Kebanyakan pasien dijelaskan tentang mekanisme keluhan mereka dan berkeinginan melakukan segalanya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Hal ini membantu untuk memecahkan kumpulan masalah dan mengurangi depresi dan nyeri pada pasien FMS. Edukasi formal harus disediakan agar pasien dapat membaca dan merefleksikan hasil setiap kali kunjungan.
    Edukasi  harus diseimbang dengan terapi farmakologik dan non-farmakologik lainnya. Hal ini membantu untuk mengetahui bahwa  FMS bukan penyakit yang sembuh dengan sendirinya dan dampaknya terhadap kualitas hidup sangat signifikan. Pasien dengan “profil FMS tertentu” harus dibicarakan karena hal ini membantu dalam mencapai tujuan terapi. Selalu menyemangati pasien agar dapat menginformasikan penyakit mereka dan dari  sumber yang terpercaya.
    Keterlibatan kelompok pendukung lokal memberikan masukan terhadap pasien untuk mendiskusikan keluhan mereka dan dapat membantu mereka menemukan orang lainnya dengan gejala yang sama. Hal ini dapat meningkatkan perhatian pasien terhadap rekomendasi terapi.

Latihan Aerobik
Mengurangi manifestasi klinik pasien FMS, maka olah raga merupakan terapi utama. Program yang terstruktur dari latihan aerobik intensitas ringan membantu menjaga kesehatan umum dan kondisi fisik. Kebanyakan pasien FMS mengakui bahwa mereka tidak dapat ikut serta pada latihan regular terstruktur dikarenakan adanya nyeri yang kronik dan kelemahan umum.
    Pasien yang memiliki tingkat keyakinan terhadap kapasitas latihan premorbid lebih merasakan  keluhan nyeri dan depresi sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mereka terhadap latihan dikarenakan penyakitnya. Meskipun hal ini meningkatkan tubuh dari pengaturan titik neurotransmitter endogen nyeri yang telah terbentuk – yang meregulasi kimiawi pada pasien spesifik yang tidak sepenuhnya jelas. Kebanyakan pasien menghadapi hambatan berupa nyeri yang meningkat saat awal latihan dan kelemahan umum sesudahnya.
    Penegasan bahwa latihan memiliki efek dose-dependent pada terapi FMS dan keuntungan tersebut tidak bisa didapat tanpa adanya latihan dengan intensitas dan waktu tertentu yang terus-menerus. Mendorong pasien untuk meningkatkan intensitas dan durasi latihan mereka agar mencapai level secara bertahap karena antusiasme yang berlebihan akan merugikan dan mengakibatkan ketidakpatuhan pasien nantinya.
    Latihan non-aerobik intensitas tinggi tidak dianjurkan dalam manajemen FMS. Latihan aerobic membantu meningkatkan kondisi fisik dan kinerja pasien karena membantu dalam manajemen depresi, ansietas, dan stress.
    Tujuan akhir terapi adalah latihan aerobik intensitas sedang  setidaknya 20-30 menit selama lima kali dalam seminggu. Keberhasilan terapi  ini lebih bersifat individual terutama pasien merasa lebih senang mengikuti latihan secara terbagi.
    Pada beberapa pasien, adanya beberapa latihan seperti terapi akuatik/kolam dan mengendarai sepeda statik, dengan tujuan untuk mempercepat jalan, mungkin lebih realistik dibanding dengan yang lainnya. Pasien dengan bursitis trochanter secara khusus akan memerlukan latihan sepeda stasioner, dan pasien obesitas akan mendapati bahwa terapi kolam membantu mereka mengurangi beban agar latihannya lebih baik. Tehnik biofeedback berguna jika dikombinasikan dengan program latihan.

Optimalisasi Tidur
Kunci utama lainnya dalam manajemen FMS adalah optamalisasi tidur. Kebanyakan pasien dengan FMS mengaku mengalami gangguan tidur, seperti kesulitan dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur dan merasa tidak segar saat bangun. Depresi menambah masalah tidur semakin berat, sehingga menjadikan hal ini penting untuk mencari faktor terlibat.
    Gangguan tidur pada FMS dapat berasal dari gangguan tidur primer atau dari obstructive sleep apnea. Pasien dengan dugaan adanya gangguan tidur harus diyakinkan untuk menjalani penelitian tentang tidur formal untuk menganalisa bentuk tidur dan memberikan rekomendasi yang berhubungan.
    Tujuan terapi adalah untuk mengoptimalkan slow-wave sleep (NREM stage 3 atau 4). Higienis tidur yang baik harus dianjurkan. Obat-obatan dapat membantu tidur seperti antidepresan trisiklik dosis rendah (seperti amitriptilin dan nortriptilin), trazodone, pherfenazine dosis rendah, dan doxepine yang diminum saat tidur.
    Obat-obatan lain yang dapat memperbaiki slow-wave sleep adalah pramipexole; beberapa penghambat reuptake serotonin selektif (SSRIs), seperti fluoxetine, pregabalin dan 5 hydroxy tryptophan. Penggunaan benzodiazepin harus dikurangi karena obat ini mengurangi   gelombang lambat tidur. Zopiclone dan zolpidem  telah diketahui membantu tidur FMS tanpa dicurigai  gelombang lambat tidur.
Tata Laksana Depresi
Depresi merupakan aspek kunci pada pathogenesis pada banyak pasien dengan FMS. Hal ini harus dikenali dan ditatalaksana secara optimal. Gunakan form PHQ untuk mengenali adanya depresi dan ansietas. Form MDQ membantu klinisi untuk mengenali kecenderungan ke arah gangguan bipolar. Skala ini menetapkan tujuan pengukuran dan penilaian serial. Depresi berefek pada tidur dan kemampuan serta motivasi dalam latihan, oleh karena itu jika tidak ditemukan maka merupakan aspek lain dalam tata laksana FMS.
            Kurangnya  kadar serotonin dan norepinefrin dalam  SSP telah diidentifikasi sebagai mekanisme penting dalam patogenesis FMS. Oleh karena itu, adalah logis untuk mencoba mengembalikan kadar ini menurut  artian  farmakologis dan non-farmakologis.
           SSRI dan inhibitor selektif reuptake nor-epinephrine (SNRIs) telah digunakan untuk mengelola depresi pada pasien dengan FMS. Untuk mengelola depresi pada pasien tertentu, venlafaxine, paroxetine, escitalopram, dan duloxetine dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan  dengan antidepresan trisiklik. Jika kecemasan merupakan komponen utama, buspirone merupakan tambahan terapi yang bermanfaat.
           Dosis rendah quetiapine atau aripiprazole tunggal atau dikombinasikan dengan SSRI atau SNRI mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki gangguan bipolar atau gangguan tendensi. Obat ini memperbaiki kelelahan, mengontrol depresi dan bila dikombinasikan  akan melindungi pasien dari episode manik atau percepatan siklus yang dipicu oleh pengobatan SSRI atau SNRI.




Manajemen Nyeri
Manajemen  nyeri pada pasien dengan FMS selalu menjadi tantangan. Pasien harus berkonsultasi tentang mekanisme nyeri pada FMS ini dan bahwa rasa nyeri yang mereka alami mungkin terkait dengan kurang tidur, depresi, dan kurang aktivitas.
    Opioid  analgesik  telah diteliti pada randomized controlled study  dan ternyata hasilnya  tidak efektif. Penggunaan obat ini seharusnya dicegah. Jika pasien sudah mengkonsumsi analgesik opioid, upaya harus dilakukan untuk memisahkan mereka dari obat-obat ini, mungkin dengan mengelola nyeri secara edukasi formal.
    Mengelola beberapa aspek lain dari FMS dapat membantu mengurangi rasa nyeri ke tingkat 'toleransi’.  Obat-obatan yang dapat digunakan untuk manajemen nyeri di FMS termasuk antidepresan trisiklik dosis rendah, duloxetine, pregabalin, dan pramipexole; terapi kombinasi (antidepresan trisiklik dengan SSRI atau SNRIs) mungkin berguna.  Selain itu, latihan  aerobik dapat meningkatkan kadar  endorfin SSP,  sehingga membantu manajemen nyeri.

Kombinasi Pengukuran Nyeri
Penggunaan kombinasi tindakan  nonfarmakologis dan farmakologis  penting dalam pengelolaan FMS.  Partisipasi Pasien harus dicatat sedini mungkin untuk memastikan kepatuhan terhadap rekomendasi terapi.  Mengisi  kuesioner pada kunjungan serial membantu memberikan umpan balik objektif dan mendorong pasien untuk mulai berpartisipasi atau  melanjutkan partisipasi mereka dalam pengelolaan penyakit.
    Penggunaan agen farmakologis harus dipandu oleh pathofisiologi dan gejala pada pasien tertentu. Duloxetine, milnacipran, dan pregabalin adalah beberapa obat yang disetujui FDA untuk FMS. Namun bukan berarti obat ini sangat efektif sehingga harus diresepkan dengan harapan yang cukup beralasan.
    Dalam sebuah penelitian terhadap 2.228 pasien yang diobati dengan pregabalin, peningkatan median skor FIQ adalah 14% . Dalam  tinjauan sistematis lain  mengenai penggunaan antidepresan dalam FMS, dilaporkan penurunan nilai median nyeri adalah 29% (6 - 70%) dan peningkatan median kualitas hidup adalah 30% (13 - 70%). Dalam analisis yang sama, persentase median efek samping adalah 72% (14 - 100%) . Menginformasikan kepada  efek samping ini merupakan komponen penting dari  realisasi konversi dari tentang pengobatan.

Bagaimana Kami Memperlakukan FMS
Kami tidak menganggap FMS sebagai diagnosis eksklusi
Kami menyarankan untuk mengetahui riwayat FMS dan memberikan perhatian khusus terhadap berbagai aspek FMS dan  'the company it keep’. Sejarah keluarga sering mengungkapkan bahwa anggota keluarga lainnya (misalnya, saudara perempuan, ibu) memiliki gejala yang sama.
Kami menghindari penggunaan istilah ‘fatique secara sembarangan'. Pada pertanyaan rinci,  fatique sering disamakan dengan depresi.
Kami mencoba untuk mengidentifikasi pemicu dan menerangkan dampak FMS pada kualitas hidup pasien.
Kami mencoba untuk mengidentifikasi pendapat  pasien mengenai FMS dan yang aspek  mana dari FMS yang paling banyak mempengaruhi dirinya. Ini sangat membantu dalam perencanaan tujuan terapi.
Kami meminta pasien untuk mengisi kuisioner  pada setiap kunjungan (SIS, PHQ, MDQ, ESS) dan mendiskusikan tation penafsiran  kami mengenai skor.
Berdasarkan riwayat penyakit dan kuisioner-kuisioner, kami mencoba untuk berfokus pada penatalaksanaan penyebab bukan pada manifestasi  FMS. Ini berarti mengidentifikasi faktor pemicu FMS dan mencoba langkah-langkah korektif.
Kami mencoba menjelaskan mekanisme FMS  kepada pasien. Salah satu mekanisme yang mendasari FMS adalah stimulus saraf per unit, pengalaman abnormal dan respon . Sebagai contoh, memikirkan rokok menyala di ruang bawah tanah bangunan akan mematikan detektor asap dipasang di lantai dua. Masalah yang mendasari: sensitivitas dari detektor asap dipasang terlalu rendah. Solusi: meningkatkan ambang batas detektor asap. Salah satu cara untuk berkomunikasi saat ini  kepada pasien adalah dengan mengatakan kepada mereka, "Aku tidak dapat menyembuhkan Anda, tapi aku bisa meringankan keluhan."
Kami menekankan kompleksitas FMS berdasarkan kompleksitas pengobatan. Mintalah pengertian pasien mengenai penyakit dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang langkah-langkah pengobatan. Tetapkan tujuan yang realistis.
Jika ada indikasi, kami merujuk pasien untuk studi tidur, terapi fisik, atau terapi air. Kebanyakan pasien dapat memotivasi diri untuk terapi renang. Memberi pasien obat tidur jika ada indikasi dari hasil kuesioner tidur.
Kami melakukan manajemen farmakologis perorangan berdasarkan profil pasien (menggunakan formulir yang telah mereka isi) dan tujuan terapeutik.
Untuk mencapai follow up serial reguler (kantor atau telepon based), kita kadang-kadang memberikan kuesioner kepada pasien dapat diisi oleh mereka 6 sampai 8 minggu setelah pengobatan dimulai dan mengirimkan kembali kepada kami, kemudian kita bisa membahas hasil dengan pasien dan memodulasi pengobatan.
Kami tetap berpikiran terbuka terhadap adanya gangguan lain. Gejala-gejala baru bisa dinilai oleh mereka sendiri. Kami menjelaskan kepada pasien bahwa FMS yang tidak membuat mereka kebal terhadap penyakit lain dan jika mereka mengalami gejala baru mereka harus mengkonsultasikan kepada dokter.
Dasar memfokuskan kegiatan laboratorium pada kunjungan pertama membantu kami mengidentifikasi kondisi komorbiditas berkontribusi terhadap gejala. Kami tidak memesan tes serologis luas atau pencitraan karena FMS adalah diagnosis klinis.

Penyakit Apakah FMS  itu?
Pasien dan dokter sering bertanya mengenai FMS. Dengan tegas dikatakan , FMS adalah penyakit fenotipe, sebagai hasil dari pengaruh kompleks sensitisasi pusat yang bertanggung jawab terhadap keluhan  depresi, kecemasan, kurang tidur, latar belakang genetik, pengalaman masa lalu (misalnya, penyalahgunaan, prematuritas), dan faktor lingkungan.Mekanisme patogen jelas, dan gejala yang dihasilkan sama. Kontroversi  pada FMS sering terjadi seperti halnya pada penyakit lainnya. Hanya waktu dan penelitian lebih lanjut akan ‘memisahkan gandum dari sekam’. Sampai saat itu  dokter harus bekerja dengan pemahaman mengenai penyakit ini.



    


   

Selasa, 08 Februari 2011

Cerebral Palsy

DEFINISI
Cerebral Palsy (CP, Kelumpuhan Otak Besar) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya.
Cerebral palsy (CP) merupakan suatu kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif. Penyebabnya karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya. CP biasanya muncul sebelum anak lahir atau ketika anak berumur 3-5 tahun.
CP terbagi 4 tipe :
1. CP spastic – menyebabkan kesulitan dan kekakuan gerak
2. CP athetoid – mengacu pada gerakan yang dilakukan di luar kesadaran dan kontrol
3. CP ataxic – menyebabkan terganggunya saraf keseimbangan dan persepsi
Empat Tipe
Secara umum CP dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu spastic, athetoid, hypotonic, dan tipe kombinasi. Pada tipe spastic atau kaku-kaku, penderita bisa terlalu lemah atau terlalu kaku. Tipe spastic adalah tipe yang paling sering muncul, sekitar 65 persen penderita CP masuk dalam tipe ini.
Athetoid untuk tipe penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang aneh. Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.
Sedangkan hypotonic untuk anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang jadi spastic atau athetoid. CP juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara.
Penyebab CP belum diketahui secara jelas, tapi kemungkinan dikarenakan infeksi, masalah saat sang ibu hamil, atau kurangnya suplai oksigen ke otak janin.
Meskipun CP belum bisa disembuhkan tapi bisa dicegah dan dilakukan seragkaian terapi yang dapat mengurangi gangguan yang muncul. Selain itu CP juga bisa dideteksi dengan dilakukan pemantauan secara dini. Pada bayi yang dicurigai CP , dokter akan melihat adakah keterlambatan perkembangan sesuai tahapan perkembangan normal, seperti bila pada umur 4 bulan bayi belum bisa meraih mainan atau bayi berusia 7 bulan belum juga bisa duduk maka segera tanyakan ke dokter.
CP bukan merupakan penyakit dan tidak bersifat progresif (semakin memburuk).
Pada bayi dan bayi prematur, bagian otak yang mengendalikan pergerakan otot sangat rentan terhadap cedera
CP terjadi pada 1-2 dari 1.000 bayi, tetapi 10 kali lebih sering ditemukan pada bayi prematur dan lebih sering ditemukan pada bayi yang sangat kecil.
PENYEBAB
CP bisa disebabkan oleh cedera otak yang terjadi pada saat:
- bayi masih berada dalam kandungan
- proses persalinan berlangsung
- bayi baru lahir
- anak berumur kurang dari 5 tahun.
Tetapi kebanyakkan penyebabnya tidak diketahui.
10-15% kasus terjadi akibat cedera lahir dan berkurangnya aliran darah ke otak sebelum, selama dan segera setelah bayi lahir.
Bayi prematur sangat rentan terhadap CP, kemungkinan karena pembuluh darah ke otak belum berkembang secara sempurna dan mudah mengalami perdarahan atau karena tidak dapat mengalirkan oksigen dalam jumlah yang memadai ke otak.
Cedera otak bisa disebabkan oleh:
# Kadar bilirubin yang tinggi di dalam darah (sering ditemukan pada bayi baru lahir), bisa menyebabkan kernikterus dan kerusakan otak
# Penyakit berat pada tahun pertama kehidupan bayi (misalnya ensefalitis, meningitis, sepsis, trauma dan dehidrasi berat)
# Cedera kepala karena hematom subdural
# Cedera pembuluh darah.
GEJALA
Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.
Gejalanya bervariasi, mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai kekakuan yang berat, yang menyebabkan perubahan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak harus memakai kursi roda.
CP dibagi menjadi 4 kelompok:
1. Tipe Spastik (50% dari semua kasus CP), otot-otot menjadi kaku dan lemah.
Kekakuan yang terjadi bisa berupa:
- Kuadriplegia (kedua lengan dan kedua tungkai)
- Diplegia (kedua tungkai)
- Hemiplegia (lengan dan tungkai pada satu sisi tubuh)
2. Tipe Diskinetik (Koreoatetoid, 20% dari semua kasus CP), otot lengan, tungkai dan badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan tak terkendali; tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang. Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan menghilang jika anak tidur
3. Tipe Ataksik, (10% dari semua kasus CP), terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan gerakan abnormal.
4. Tipe Campuran (20% dari semua kasus CP), merupakan gabungan dari 2 jenis diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastik dan koreoatetoid.
Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP:
- Kecerdasan di bawah normal
- Keterbelakangan mental
- Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik)
- Gangguan menghisap atau makan
- Pernafasan yang tidak teratur
- Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan)
- Gangguan berbicara (disartria)
- Gangguan penglihatan
- Gangguan pendengaran
- Kontraktur persendian
- Gerakan menjadi terbatas.
DIAGNOSA
Pada pemeriksaan akan ditemukan tertundanya perkembangan kemampuan motorik.
Refleks infantil (misalnya menghisap dan terkejut) tetap ada meskipun seharusnya sudah menghilang.
Tremor otot atau kekakuan tampak dengan jelas, dan anak cenderung melipat lengannya ke arah samping, tungkainya bergerak seperti gunting atau gerakan abnormal lainnya.
Berbagai pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lainnya:
# MRI kepala menunjukkan adanya kelainan struktur maupun kelainan bawaan
# CT scan kepala menunjukkan adanya kelainan struktur maupun kelainan bawaan
# Pemeriksaan pendengaran (untuk menentukan status fungsi pendengaran)
# Pemeriksaan penglihatan (untuk menentukan status fungsi penglihatan)
# EEG
# Biopsi otot.
PENGOBATAN
CP tidak dapat disembuhkan dan merupakan kelainan yang berlangsung seumur hidup. Tetapi banyak hal yang dapat dilakukan agar anak bisa hidup semandiri mungkin.
Pengobatan yang dilakukan biasanya tergantung kepada gejala dan bisa berupa:
- terapi fisik
- braces (penyangga)
- kaca mata
- alat bantu dengar
- pendidikan dan sekolah khusus
- obat anti-kejang
- obat pengendur otot (untuk mengurangi tremor dan kekakuan)
- terapi okupasional
- bedah ortopedik
- terapi wicara bisa memperjelas pembicaraan anak dan membantu mengatasi masalah makan
- perawatan (untuk kasus yang berat).
Jika tidak terdapat gangguan fisik dan kecerdasan yang berat, banyak anak dengan CP yang tumbuh secara normal dan masuk ke sekolah biasa.
Anak lainnya memerlukan terapi fisik yang luas, pendidikan khusus dan selalu memerlukan bantuan dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari.
Pada beberapa kasus, untuk membebaskan kontraktur persendian yang semakin memburuk akibat kekakuan otot, mungkin perlu dilakukan pembedahan.
Pembedahan juga perlu dilakukan untuk memasang selang makanan dan untuk mengendalikan refluks gastroesofageal.
Pengobatan CP yang dilakukan dokter dan terapis bertujuan mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan yang maksimal dan potensial. Serangkaian terapi fisik akan diberikan. Tambahan, pengobatan dan tindakan pembedahan mungkin akan diperlukan dalam memperbaiki dislokasi tulang panggul dan tulang belakang.
PROGNOSIS
Prognosis biasanya tergantung kepada jenis dan beratnya CP.
Lebih dari 90% anak dengan CP bisa bertahan hidup sampai dewasa.
PENCEGAHAN
• Sebelum hamil, persiapkan kesehatan ibu dengan baik- pola makan maupun masalah kesehatan.
• Pastikan keamanan di rumah sehingga bayi terjaga.
• Jangan menggendong dan menimang bayi dengan ayunan berlebihan.
• Pastikan keamanan bayi saat berkendara.
Klasifikasi CP berdasarkan kerusakan gerakan:
1.CP Spastik
Otot mengalami kekakuan dan secara permanent akan menjadi kontraktur.
CP Spastik berdasarkan bagian yang mengalami kekakuan:
a.Monoplegia
Mengenai satu ekstremitas biasanya lengan
b.Diplegia
Keempat ekstremitas kena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada kedua lengan
c.Triplegia
Mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak mengenai dua lengan dan 1 kaki
d.Quadriplegia
Keempat ekstremitas kena dengan derajat yang sama
e.Hemiplegia
Mengenai salah satu sisi tubuh dan lengan terkena lebih berat
2.CP Atetoid
Mempunyai gerakan dan abnormal dan tidak terkontrol.
3.CP Ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan.
4.CP Campuran
Sering ditemukan satu penderita terkena lebih dari satu gejala CP.
Gejala penyerta dari CP ini adalah gangguan pada penglihatan, pendengaran, wicara dan kejang,
selain itu juga penderita CP mengalami kesulitan mengunyah dan menelan makanan.
Ciri-ciri
Gejala CP sudah bisa diketahui saat bayi berusia 3-6 bulan, yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan. Menurut Dwi, ciri umum dari anak CP adalah perkembangan motorik yang terlambat, refleks yang seharusnya menghilang tapi masih ada (refleks menggenggam hilang saat bayi berusia 3 bulan), bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan satu kaki diseret.
“Begitu ada petunjuk keterlambatan, misalnya bayi belum bisa tengkurap atau berguling, segeralah bawa ke dokter untuk pemeriksaan,” ujarnya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter mendeteksi CP pada umumnya melakukan CT-Scan dan MRI untuk mengukur lingkar otak, serta melakukan tes lab untuk menelusuri apakah si ibu memiliki riwayat infeksi seperti toksoplasma atau rubella.
Terapi
Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan CP. Namun tetap ada harapan untuk mengoptimalkan kemampuan anak CP dan membuatnya mandiri. “Berbeda dengan cedera otak yang lain, ciri khas dari CP adalah kelainannya bersifat permanen non progresif, artinya akan berubah ke arah perbaikan, meski perkembangannya lambat,” katanya.
Terapi yang diberikan pada penderita CP akan disesuaikan dengan usia anak, berat ringan penyakit, serta tergantung pada area otak mana yang rusak. “Meski ada bagian otak yang rusak, namun sel-sel yang bagus akan meng-cover sel-sel yang rusak. Untuk mengoptimalkan bagian otak yang sehat tersebut, perlu diberikan stimulasi agar otak anak berkembang baik,” katanya.
Stimulasi otak secara intensif bisa dilakukan melalui panca indera untuk merangsang perimbangan penyebaran dendrit, yang dikenal dengan istilah compensatory dendrite sprouting. Beberapa orangtua yang memiliki anak penderita CP mengaku berhasil mengoptimalkan kemampuan anaknya lewat metode glenn doman.
Metode glenn doman untuk anak dengan cedera otak berupa patterning (pola) untuk melatih gerakan kaki dan tangan, merayap, merangkak, hingga masking (menghirup oksigen), untuk melatih paru-paru agar membesar. Sejak tahun 1998, lebih dari 1700 anak cedera otak mengalami perbaikan cukup berarti setelah melakukan terapi ini.

Senin, 07 Februari 2011

PENUAAN PADA SISTEM NEUROLOGIS

Prevalensi demensia cenderung meningkat sejalan dengan usia harapan hidup dan peningkatan pelayanan kesehatan pada usia lanjut. Hasil penelitian Canadian Health Study and Aging menunjukkan bahwa prevalensi demensia 8% pada usia >65 tahun, insidensinya sekitar 2% pertahun. Cognitive Impairment Not Dementia prevalensinya sekitar dua kali lipat pasien demensia dan akan berkembang menjadi demensia sekitar 47%. Kurang lebih dua pertiga (64%) dari demensia adalah penyakit Alzheimer sedangkan sisanya sekitar 19% adalah demensia vaskuler. Faktor risiko pada penelitian tersebut adalah usia, pendidikan rendah dan alel 4 apolipoproteinE. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien demensia 3,9 juta dollar pada tahun 19911.Penelitian epidemiologi di Inggris menunjukkan bahwa demensia meningkat 5 kali lipat setiap kenaikan usia 5 tahun, pada usia 35-64 tahun prevalensinya 54 per 100 ribu, usia 45-64 tahun 98 per 100 ribu 2. Tahun 2002 diperkirakan 167.000 orang di Australia menderita demensia 3. Prevalensi di Amerika dan negara Eropa lainnya menunjukkan angka yang tidak berbeda 4. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit neurodegeratif yang paling umum, penyakit ini memberikan kontribusi dua pertiga dari seluruh kasus demensia (41-81%) disamping penyebab vaskuler dan penyakit neurodegeneratif lain seperti penyakit Pick dan demensia Lewy-bodies yang masih menjadi penyebab utama demensia lainnya.5 ApolipoproteinE4 (apoE4) merupakan faktor risiko utama penyebab Alzheimer’s disease (AD). Penelitian biomolekuler menunjukkan kontribusi apoE4 pada patogenesis AD 6. Termasuk didalamnya modulasi deposisi dan klirens peptida - amyloid (A ) dan pembentukan plak , kerusakan dari sistem pertahanan antioksidatif, disregulasi dari jalur signal neuronal , kerusakan struktur dan fungsi sitoskletetal, kerusakan pada fosforilasi tau dan pembentukan neurofibrillary tangles (NFTs), kerusakan reseptor sitosolik androgen diotak dan merangsang potensiasi perlengketan A dan apoptosis pada sel neuron 7,8 . ApolipoproteinE (apoE) adalah protein yang memainkan peran penting dalam metabolisme dan distribusi lemak. Alel e4 apoE telah dikenal meningkatkan resiko penyakit Alzheimer namun belum diketahui apakah alel apoE ini juga dapat meningkatkan resiko demensia vaskuler pada populasi Indonesia, khususnya suku Jawa.. Karena itu pada penelitian yang dilakukan 9 . Genotipe apoE pada penderita demensia vaskuler akan dibandingkan dengan genotipe apoE kontrol normal untuk melihat kemungkinan resiko genetik alel ini pada onset awal timbulnya demensia vaskuler.
Struktur dari gen apoE berbentuk polimorf dengan 3 alel utama, 2, 3, dan  yang menghasilkan 3 protein isoform, E2, E3 dan E4. Ketiga bentuk isoform ini terletak dalam rangkaian asam amino pada posisi 158. ApoE3 terdiri dari sistein pada rangkaian 12 dan arginin pada 158. ApoE2 memiliki sistein pada kedua sisinya, dan E4 mempunya arginin pada kedua sisinya. Polimorfisme apomempunyai efek kuat pada level produksi dari alel gen tersebut, berhubungan dengan tingginya konsentrasi apoE dan dengan konsentrasi rendah 10 . Genotip apoE alel 4 dibutuhkan dan memenuhi untuk terjadinya penyakit Alzheimer tetapi terdapat 3 atau 4 gen lain yang mempengaruhi onset penyakit ini. Analisis hubungan genetik dan penelitian lain terhadap ratusan keluarga telah menghasilkan bukti sejumlah regio kromosom yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Pengaruh lingkungan tidak dapat diabaikan sehingga hubungan genetik dan lingkungan masih diperdebatkan. Identifikasi faktor genetik spesifik dan faktor lingkungan, mengetahui hubungan interaksi keduanya dan kalkulasi risiko penyakit menjadi hal utama yang diperdebatkan dengan tujuan terapi dan pencegahan penyakit Alzheimer ini 7,8 .
PEMBAHASAN
Manusia memiliki tiga homozigot apoE yaitu apoE2/2,E3/3 dan E4/4, tiga rangkaian heterozigot yaitu apoE3/2, E4/3, dan E4/2. Fenotip apoE3/3 merupakan paling fenotip yang paling sering ditemukan yaitu sekitar 50-70% dari seluruh populasi. Alel 3 ditemukan pada mayoritas populasi yaitu sekitar 70-80%, alel 4 dan 2 ditemukan pada 10-15% dan 5-10% populasi. Dasar molekular dari polimorfisme dijelaskan berdasarkan rangkaian analisis asam amino, dimana terdapat tiga isoform yang berbeda pada posisi 112 dan 158. ApoE3 terdiri Cys-112 dan Arg-158, dimana apoE4 terdiri dari arginin pada kedua posisinya dan sistein apoE2 10 .
Apolipoprotein E memiliki peranan penting dan luas dalam bidang neurobiologi. Otak merupakan organ yang memiliki kadar apo mRNA terbanyak kedua setelah hati, diotak apoE disintesis dan disekresikan terutama melalui astrosit namun beberapa neuron juga mensintesis dan mensekresikan apoE. ApoE terdiri dari high-density lipoproteins (HDL) dan dapat ditemukan dalam cairan serebro spinal (CSS) 10,11. ApoE3 dan apoE4 mempunyai efek yang berbeda pada neuron, apoE3 dengan β-very low-density lipoproptein (β-VLDL) secara signifikan meningkatkan pertumbuhan neuron pada ganglion dorsalis, sedangkan apoE4 dengan β-VLDL menghambat percabangan dan pertumbuhan neuron. ApoE4 berhubungan dengan penghambatan dari pertumbuhan neuron yang kemudian berpengaruh pada stabilitas mikrotubulus yang diperantarai oleh cell-surface lipoprotein receptor , khususnya pada jalur reseptor low density lipoprotein 11 .
Beberapa hipotesis menunjukkan bahwa apoE memegang peranan penting pada pemeliharaan dan perbaikan neuron, dalam hal ini apoE3 lebih efektif dibandingkan apoE4. ApoE mengambil sisa lemak yang tejadi akibat degenerasi neuron dan menyalurkannya kepada sel-sel yang membutuhkan lemak untuk proliferasi, perbaikan membran atau remielinisasi pada akson baru 12 . ApoE3 pada manusia bersifat protektif terhadap kejadian neurodegeneratif dan gangguan behavior yang disebabkan usia, eksitosisitas atau Aβ 13 .
Awalnya para ahli berpendapat bahwa ApoE disintesis oleh astrosit, oligodendrosit, mikroglia yang teraktivasi serta sel ependimal dan tidak diproduksi oleh neuron otak 14 . Laporan terbaru menunjukkan dengan jelas bahwa neuron sistem saraf pusat (SSP) juga mengekspresikan apoE dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan astrosit, hal ini dapat terjadi pada berbagai keadaan baik kondisi fisiologis maupun patologis. Kedua protein apoE dan mRNA ditemukan di dalam neuron hipokampus dan korteks 15 . Pada tikus yang mendapatkan perlakukan dengan kainic acid, ekspresi apoE terpicu di dalam neuron hipokampus yang selamat dari stres eksitotoksik, sebagaimana yang terjadi pada penelitian dengan hibridisasi in vitro dan immunohistokimia anti-apoE 16 . Ekspresi apoE neuronal lebih sering terjadi pada keadaan patologis seperti infark serebral 17 . ApoE juga diekspresikan di dalam kultur primer neuron sistem saraf pusatmanusia 18 . Penelitian biomolekuler menunjukkan bahwa ekspresi neuronal apoE dapat diatur dan dikendalikan dengan diferensiasi oleh nerve growth factor yang diturunkan selama diferensiasi neuronal dan dengan penambahan apoE eksogen kedalam medium 19 . Demikian juga, ekspresi apoE di dalam sel N-Terminal, protein prekursor neuronal diturunkan oleh diferensiasi yang dipicu oleh retinoic acid 20 . Penelitan lain menunjukkan bahwa ekspresi apoE di dalam sel neuronal mungkin diregulasi melalui jalur sinyal protein kinase yang diaktivasi saat pembelahan sel 21 .
Keadaan patologis seperti cedera yang terjadi pada sistem saraf pusat ekspresi akan memacu apoE neuronal untuk memperbaiki perbaikan neuron dan untuk melindungi neuron dari cedera yang lebih lanjut 22 . Cedera ini juga menyebabkan apoE4 rusak karena lebih rentan terhadap proteolisis patogenik di dalam neuron , sehingga respon protektif ini justru merusak apoE4 14,23 . Produksi berlebihan dari Aβ dianggap memainkan peran sentral dalam patogenesis AD 24 . ApoE3 dan apoE4 yang bebas lipid dapat membentuk sebuah kompleks SDS- dan guanidine-HCL dengan peptida Aβ, dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa kompleks pada isoform apoE4 lebih cepat dan efektif dibandingkan isoform lain 25 . Inkubasi dengan waktu yang lama antara apoE dengan peptida Aβ menghasilkan kompleks yang tidak larut dan memiliki berat molekuler yang tinggi sehingga sulit mengalami presipitasi. ApoE4 membentuk sebuah matriks yang lebih luas dan lebih padat dengan amyloid monofibril, hal ini terjadi lebih cepat dan efektif dibandingkan apoE3, apoE4 juga memperkuat agregasi Aβ yang dipicu zinc dan cuprum 26 . ApoE menunjukkan perbedaan spesifik isoform dalam ikatannya dengan peptida Aβ, dimana apoE4 mengikat lebih cepat dan efektif. Peningkatan pembentukan amyloid fibril oleh apoE4 menyebabkan eksaserbasi neurodegenerasi dan perkembangan AD 27 .
Tabel 1. Efek apoE4 yang Dihasilkan oleh Astrosit dan Neuron pada Sistem Saraf Pusat 23 .

Efek apoE4
Astrosit Produksi Aβ
Endapan Aβ
Klirens Aβ
Pertumbuhan neuron
Pengeluaran kolesterol
Penurunan kognitif
Neuron Neurotoksisitas berhubungan dengan fragmentasi
Pertumbuhan neuron
Kebocoran lisosom
Neurodegenerasi
Defisiensi reseptor androgen
Penurunan fungsi kognitif
Fosforilasi protein tau
Efek isoform apoE terhadap neurotoksisitas yang dipicu Aβ masih kontroversial, kemungkinan karena perbedaan keadaan fisik Aβ, apoE yang digunakan dan asal penanganan sel. Apolipoprotein E3 memberikan perlindungan dari kematian sel dan apoptosis yang dipicu Aβ dengan memperkuat klirens dan degradasi Aβ 28 atau dengan mengurangi interaksi Aβ dengan membran permukaan sel. Sebaliknya, apoE4 memicu kebocoran lisosom, kematian sel, dan apoptosis yang dipicu Aβ 29 .
Penelitian pada tikus transgenik yang mengekspresikan apoE3 atau apoE4 yang dihasilkan oleh manusia telah memberikan pandangan mendalam mengenai peran apoE di dalam metabolisme Aβ. Ketika tikus dengan human amyloid precursor protein (hAPP)-V717F disilangkan dengan latar belakang tanpa apoE, deposisi Aβ di dalam otak mengalami penurunan secara dramatis, menunjukkan bahwa apoE memperkuat deposisi Aβ 30 . Ekspresi apoE3 manusia menurunkan deposisi Aβ, menunjukkan bahwa apoE manusia menstimulasi klirens Aβ. ApoE3 melakukan klirens Aβ lebih banyak daripada apoE4 31 . Penelitian pada tikus menunjukkan hasil yang berbeda, ekspresi berlebihan apoE4 di dalam astroglia dan neuron tidak mengubah deposisi Aβ 32 .
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efek utama isoform apoE pada patogenesis AD melalui pembentukan plak 31,32 . Pengaturan defisit kolinergik dan sinaptik yang menyerupai AD pada tikus transgenik oleh apoE manusia diketahui tergantung pada isoform, penuaan, dan ekspresi berlebihan peptida Aβ tetapi tidak pada pembentukan plak 33 . Penelitian terakhir menunjukkan defisit kolinergik dan sinaptik yang berhubungan dengan apoE4 (12-15 bulan) mendahului pembentukan plak (19-24 bulan), dan meski perbedaan mereka yang nyata di dalam beban plak (> 10 kali lipat), tikus bigenik dengan hAPP/apoE4 dan hAPP/apoE3 tua (19-24 bulan) memiliki defisit kolinergik dan sinaptik yang sebanding. Hasil dari percobaan tersebut diatas menunjukkan bahwa apoE3 mampu mencegah gangguan kognitif yang dipicu hAPP/Aβ pada tikus bigenik hAPP/apoE yang berumur 6 bulan yang tidak memiliki plak dan kadar Aβ yang sebanding di dalam hipokampus 13,34 . Ketergantungan terhadap usia dari efek apoE3 dan apoE4 yang berbeda pada tikus sama dengan efek isoform apoE pada manusia, dimana dampak apoE4 terhadap resiko AD lebih besar pada penuaan awal dan hilang pada yang sangat tua 34 . Berdasar penelitian, didapatkan suatu hipotesis bahwa efek apoE ini terhadap defisit neuronal yang berhubungan dengan AD mencerminkan fungsi neuroprotektif apoE3 dan efek neurotoksik fragmen apoE4 di dalam neuron 34,35 .
Tabel 2. Efek protektif dari apoE3 dan efek perusak apoE4 pada penyakit Alzheimer 33 .

Efek
Efek protektif apoE3 Stimulasi klirens Aβ
Efek antioksidan
Proteksi protein tau terhadap fosforilasi
Merangsang pengeluaran kolesterol
Merangsang pertumbuhan neuron
Proteksi terhadap neurodegenerasi
Proteksi terhadap penurunan kognisi
Efek apoE4 Memperbesar endapan Aβ
Menghambat pertumbuhan neuron
Merangsang fosforilasi protein tau
Menyebabkan neurodegenerasi
Menyebabkan neurodegenerasi oleh fragmen apoE4
Meningkatkan potensi kebocoran lisosom yang diinduksi Aβ
Menurunkan reseptor androgen
Menyebabkan penurunan kognisi
Protein tau secara abnormal mengalami hiperfosforilasi melalu mekanisme yang sampai saat ini belum diketahui dan dirubah menjadi filamen heliks berpasangan yang bersifat patologis untuk kemudian menghasilkan NFT 14,35 . Hiperfosforilasi protein tau yang disebabkan oleh mutasi di dalam gen menyebabkan neurodegenerasi dan neuronal loss pada percobaan yang menggunakan tikus transgenik 36 . Hal ini menunjukkan bahwa protein tau yang mengalami fosforilasi bersifat neurotoksik. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa protein tau berperan penting dalam neurotoksisitas yang dipicu Aβ 37 . Hiperfosforilasi protein tau akan menurunkan perubahan protein tau menjadi filamen heliks berpasangan 21,38 . Bukti penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa apoE3 dan apoE4 memiliki efek yang berbeda terhadap fosforilasi dan agregasi protein tau.
Secara in vitro, apoE3 membentuk kompleks stabil dengan protein tau dengan rasio 1:1, sedangkan apoE4 tidak berinteraksi secara signifikan. Fosforilasi protein tau oleh otak akan menghambat interaksi apoE3 dengan protein tau , menunjukkan bahwa apoE3 berikatan dengan protein tau nonfosforilasi. Domain N-terminal dari apoE3 bertanggung jawab atas ikatan dengan protein tau . ApoE3 berikatan secara irreversibel dengan microtubule-binding repeat region dari protein tau 8,38 . Peningkatan fosforilasi protein tau telah teramati di dalam percobaan dengan tikus trasgenik yang mengekspresikan apoE4 manusia, namun hal ini tidak tampak pada tikus yang mengekspresikan apoE4 di dalam astrosit 39 . Apolipoprotein E4 memiliki efek spesifik terhadap fosforilasi tau. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa apoE dengan C-terminal yang terpotong dapat menstimulasi fosforilasi tau dan membentuk inklusi menyerupai NFT intraseluler pada tikus transgenik 21,39 .
Apolipoprotein E4 lebih rentan terhadap efek proteolitik dibandingkan apoE3. Hal ini terlihat ketika diekspresikan di dalam sel neuronal dalam bentuk rekombinan dengan enzim pembelah apoE dengan purifikasi parsial. Fragmen apoE didapatkan dalam tingkat yang lebih tinggi di dalam otak pasien AD dibanding kontrol. Kasus AD maupun kontrol dengan apoE4 memiliki lebih banyak fragmen apoE daripada mereka tanpa apoE4. Fragmen apoE dengan C-terminal yang terpotong juga tampak terakumulasi di dalam NFT otak penderita AD. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa fragmen apoE dengan C-terminal akan bersifat toksik ketika diekspresikan di dalam neuron atau ketika ditambahkan pada kultur neuronal, berakibat pada kematian sel dan pembentukan inklusi menyerupai NFT sitoplasmik di dalam beberapa sel 23 .
Penelitian yang menggunakan promotor neuron-spesific enolase (NSE) untuk mengekspresikan apoE3 atau apoE4 pada kadar yang sama dengan dan tidak memiliki apoE endogen, memberi hasil bahwa kontrol tipe NSE-apoE4 menunjukkan gangguan belajar dengan percobaan water maze test dan pada perilaku eksplorasi vertikal. Gangguan ini meningkat seiring degan umur dan terjadi terutama pada penelitian yang menggunakan tikus transgenik apoE4 betina, menunjukkan bahwa isoform apoE manusia memiliki efek yang berbeda pada fungsi otak secara in vivo dan kerentanan terhadap defisit yang dipicu apoE4 sangat dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin 13,33 . Penelitian morfologis terhadap tikus transgenik menunjukan bahwa apoE3 mencegah neurodegenerasi tergantung umur dan mencegah neurodegenerasi yang dipicu kainic acid 33 . ApoE4 manusia tidak memiliki proteksi. Gangguan memori kerja juga teramati di dalam astrosit yang mengekspresikan apoE4, meski tidak ada perubahan neuropatologis yang signifikan yang ditemukan di dalam otak 33,40,41 .
SIMPULAN
Proses neurobiologi penyakit Alzheimer diawali oleh faktor genetik. Apolipoprotein E merupakan salah satu faktor genetik yang mencetuskan terjadinya penyakit Alzheimer, terutama pada individu yang memiliki alel apoE4. Tipe apoE yang lain justru lebih berperan terhadap fungsi proteksi terhadap penyakit Alzheimer. Fakto genetik diatas akan berinteraksi dengan faktor luar yaitu lingkungan dan diet. Interaksi dari faktor tersebut menghasilkan proses patologi di sinaps dan neuron yang menginduksi suatu proses disfungsi sinaps dan apoptosis, yang akan menghasilkan gejala klinis suatu Alzheimer.
SARAN
Pengetahuan tentang neurobiologi dari faktor genetik penyakit Alzheimer serta tindakan preventif terhadap faktor risiko yang dapat dikendalikan yaitu lingkungan dan diet perlu dilakukan untuk mencegah progresifitas penyakit. Penelitian lebih lanjut dalam pengembangan terapi demensia berdasarkan mekanisme keterlibatan apoE.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Lindsay, J. Sykes, E., Mc Dowell. I., Verreault, R. and Laurin, D., 2004. More han the Epidemiology of Alzheimer’s Disease : Contribution of the Canadian Study of Health and Aging. Can J Psychiatry 2004; 49: 83-91.
  2. Harvey, RJ., Skelton-Robinson M and rosser MN,. The Prevalence and Causes of Dementia in people Under the Age of 65 Years. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 2003;74; 1206-1209.
  3. Hacker, S., The Impact of Dementia. Australian InstituteOf Health and Welfare. 2004

Sabtu, 05 Februari 2011

Hernia Nukleus Pulposus (HNP)

Nukleus pulposus adalah bagian tengah diskus yang bersifat semigelatin nukleus ini mengandung berkas – berkas serabut kologen, sel – sel jaringan penyambung dan sel – sel tulang rawan.
Diskus intervertebralis terdiri dari tiga bagian anulus tibrosus, nukleus pulposus dan lempeng kartilego, anuleus fibrosus merupakan cincin yang liat dan tersusun tas 10 sampai 12 lap jaringan ikat yang konsintrik dan tebrobartilago, dibagian anterior diperkuat oleh irgomentum longitudinalis anterior di posterior oleh ligomenium longitudinalis posteior. Nukleus purposus terletak pada posisi eksentrik pada arah posterior, 10 merupas sisa notokhord yang tersusunoleh suatu bentuk kartilago yang lebih lunak. Pada anak kosistensinya semi lifurd agak cair dan bertambah padat, tiap diskus intervertebra lumbal menempel pada borpusvertebra atas da bawah di atas dan bawah di dibatasi oleh suatu lempeng kartilogo nialin yang tipis (lempeng ini tidak berosifikasi dengan segmen korpus vertebra) strutur yang melingkari kanalis spinalis posteior di bentuk oleh dua pedikel, dua lamina dan prosesus spirosus arkus lamina antar tulang belakang diubungkan oleh suatu ligomen kuning yang palstik yang dinamakan sebagai ligomentum flavum. Bagian kaudal dari sumsum tulang belakang konus medularis, terlihat mulai dari level vertibra L – 1 ke bawah dan berakhis sebagai peta tipis yang dinamakan sebagai filum terminal, kanalis spinalis daerah lumbal juga mengandung akar – akar sarat motorik dn sensorik kumbal maupun sakral yang tampil yang di dalam kantung durameter arakhnoid yang berbentuk silindris dan berisi liquor.
Pada sisi kiri dan kanan tiap level spinal ada akar sarat yang mengandung komponen sensorik dan motorik, yang keluar dari kantong durameter sarat serabut berjalan pada bagian lateral kantong dura sepanjang kira – kira 2,5 cm (1 inci) , sebagai ilustrasi adalah akar sarat L – 5 akan keluar dari spinalis melalui faramin intervetebralis Ls – S1 (lipat di bagian kaudal pedikel Ls)

Patofisiologi :
Kolumna vertibralis tersusun seperangkat sendi antar
Korpus vertibra

Ligomentum longitudinal dan distus intervetibralis menghubungkan
Korpus vertibrae yang berdekatan

Diantara korpus vertebrae mulai dari bertibrae servikalis kedua
Sampai vertibra sakralis tapi diskus intervertibralis (membentuk sendi
Tibrokartilago yang lentur antara korpos vertibra)

Diskus intervertebralis terdiri 2 bagian :

1. Nukleus pulposus
Bagian tengah diskus yang bersifat semi gelatin nukleus ini mengandung berkas – berkas serabut kolagen sel – sel jaringan penyambung dan sel – sel tulang rawan
Berfungsi: - Sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdikatan
- Pertukaran cairan antara diskus dan pembuluh darah
2. Anulus Fibrosus
Terdiri atas cincin – cincin fibrosa konsentrik yang mengelilingi nukleus pulposus
Befungsi : - Mmemungkinkan gerakan anatar kopus bertebra (disebabkan oleh struktur spinal dan serabut – serabut untuk menopang nukleus pulposus meredam benturan  
Kandungan air diskus ber < bersamaan dengan bertambah dengan bertambahnya usia (dari 90% pada masa bayi menjadi 70% pada orang lanjut usia) serabut – serabut menjadi kasar dan mengalami hialinisasi

Terjadi perubahan kearah bornia nukleus pulposus melalui anulus

Menekan radiks syaraf spinal
Daerah yang paling mungkin terjadi pada bagian kolumna vertebralis perbatasan kumbosakral dan cervikofurakal (terjadi peralihan segmen yang lebih mobs ke yang kurang moil)

Truma / stress fisik

Ruptur diskus

Terjadi pemisahan lempeng tulang rawan dari korpus vertebrae yang berdekatan

Bagian lempeng tulang rawan yang terlepas berpindah ke arah posteror

Nukleus pulposus melejit melalui serabut – serabut anulus yang robek

Jepitan syarat akan menampilan gejala dan benda yang sama dengan distribusi persyaratannya

HNP di bagi menjadi tiga
1. HNP lumbal
2. HNP servikal
3. Spondilitis sirvikal

HNP LUMBAL

Pada bagian lumbal, 95% herniasi diskus terjadi pada L5 – S1 atau L4 – 5 kira – kira 4 % terjadi pada L3 – 4 dan hanya 1% pada L2 – 3 dan L1 – 2

GEJALA KLINIS
1. Nyeri pinggang bawah yang intermiten (dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun) nyeri menjalar sesuai dengan distribusai saraf skhiatik
2. Sifat nyeri khas dari posisi berbaring ke duduk, nyeri mulai dari pantra + menjalar ke bagian belakang lutut, kemudian ketungkai bawah
3. Nyeri bertambah hebat karna pencetus seperti gerakan – gerakan pinggang batuk atau mengedan, berdiri atau duduk untuk jangka waktu yang lama dan nyeri berkurang bila di buat istirahat berbaring.
4. Penderita sering mengeluh kesemutan (parosthesia) atau baal bahkan kekuatan otot menurun sesuai dengan distribusi persyaratan yang trlibat.
5. Nyeri bertambah bila ditekan daerah L5 S1 (garis antar dua krista liraka)

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
1. X – Foto lumbosakral
- Tidak banyak didapatkan kelainan
- Kadang – kadang didapatkan artrosis, menunjang tanda – tanda devormutas vertebrap
- Penyempitan diskus intervertibralis
- Untuk menentukan kemungkinan di nyeri krena sponilitis, nroplasma, infeksi progen
2. Liquor Serebrospinal
- biasanya normal
- Jika didapatkan blok akan terjadi prot, indikasi operasi
- Liquor serebrospinal biasanya normal
3. EMG
- Terlihat potensial kecil (fibrolasi) didaerah radiks yang terganggu
- Conduction vilocity menurun
4. Iskografi
Pemeriksaan diskus dengan menggunakan kontras untuk melihat berapa besar daerah diskus yang keluar di kanalis vertebralis

FAKTOR – FAKTOR YANG MENYEBAB TIMBULNYA HNP
1. Aliran darah ke diskus berkurang
2. Beban yang berat
3. Ligamentum longitudinalis post menyempit


TERAPI
1. Pertama diobati secara konservatif selama 2 minggu pertama yang mencangkup istirahat (yang idial adalah istirahat baring dengan alat yang datar dan keras) pemberian obat analgesik dan relaksan serta fisioterapi berupa pemanasan daerah yang nyeri, bila sudah bisa berdiri dianjurkan untuk memakai korsel selama beberapa minggu atau hari, bila nyeri sudah hilang diberikan latihan lumbosakral mengangkat beban duduk, berdiri dan sebagainya
2. Terapi operastif diberikan bila pengobatan konservatif tidak memulihkan gejala adanya gejala gangguan spingter.
Penderita protusia biasanya dilakukan disektomi, herniasi diskus posterolateral dilakukan tindakan hemilaminektomi persial pada sisi dan level diskus, evakuasi matrial diskus yang mengalami berniasi, berniasi tragmen bebas bila mengalami mierasi bernilai seniral dilakukan laminektomi bilateral biasanya perlu dirawat 4 – 6 minggu cara lain yang lebih populer pengangkatan diskus dengan teropong silider kecil dan panjang dimasukan lewat tusukan kulit kemudian via otot – otot paraveribra disebut disektomi perkutonius.
Sumber :
1. Bedah syaraf Dr L Djoko Listiono
2. Patofisologi Buku 2 edisi 4 sylvia A – price lorraine M Nilson
3. Neorology klinik Prof. Dr. dr. B. Chandra