Pages

Rabu, 23 Februari 2011

PENEGAKAN DIAGNOSIS FIBROMIALGIA : MENJAUH DARI TENDER POINT

Ditulis oleh:
Atul Khasnis, MD; William S. Wilke, MD

Semenjak American College of Rheumatologi mendefinisikan sindroma fibromyalgia (FMS) tahun 1990, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi beratnya tender point dan proses penegakkan diagnosis meliputi gejala umum lainnya. Skala Intensitas Gejala (The Symptom Intensity Scale) dapat digunakan untuk mengukur nyeri dan kelelahan secara objektif. Pengenalan FMS dikuatkan dengan keberadaan kondisi lainnya. Manajemen multimodal FMS dimulai dengan edukasi dan latihan yang merupakan kunci pengobatan. Optimalisasi tidur menjadi suatu hal yang penting. Faktor depresi harus dicari, dikenali dan di tatalaksana dengan optimal. Manajemen nyeri pada FMS merupakan suatu tantangan. Kombinasi antara terapi non farmakologi, farmakologi dan edukasi  merupakan kunci tatalaksana.
Pendahuluan
Sindroma Fibromyalgia (FMS) bukanlah sebuah dongeng, namun merupakan suatu hal menarik yang tidak dapat dijelaskan sejak zaman dahulu. Awalnya penelitian difokuskan pada gejala pengerasan otot seperti yang digambarkan pasien. Belakangan ini konsep diagnosis FMS mengalami beberapa perubahan, termasuk pergeseran dari evaluasi terhadap fokus tender point kepada daerah yang nyeri dan penilaian terhadap gejala spesifik pada pasien yang dilakukan secara keseluruhan.
Dokter seharusnya lebih aktif dalam membuat diagnosis supaya dapat ditatalaksana dengan  baik. Pendekatan terapi multimodal sebaiknya dilakukan secara bersamaan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Pada artikel ini, kami mengulas  perkembangan dalam diagnosis FMS dan membahas  isu penting dalam pengobatan seperti pentingnya edukasi pasien,  latihan aerobik, terapi gangguan tidur, depresi dan nyeri.




Evolusi Dalam Konsep Diagnostik
Kriteria Awal
Pada tahun 1976, Hench mendefinisikan FMS secara klinis berdasarkan dua kriteria yaitu nyeri dan tidak ada penjelasan fisiologis untuk nyeri tersebut. Sejak dikeluarkan deskripsi tersebut, FMS dibuat  lebih sebagai diagnosis inklusi ketimbang eksklusi, dengan kata lain dokter semestinya membuat diagnosis FMS berdasarkan munculan klinis, bukan setelah kemungkinan lain disingkirkan.
Pada tahun 1979, Smythe mengusulkan kriteria diagnostik untuk  FMS bila ditemukan 12 dari 14 tender point anatomi (tender menunjukkan angka 4 kg tekanan), nyeri difus selama paling kurang 3 bulan, gangguan tidur, kekakuan  pada perbatasan otot trapezius atas, dan hasil tes laboratorium normal. Sementara menurut Yunus dkk ( 1981) mendefinisikan sebagai  nyeri difus yang berlangsung   3 bulan, penyebab lainnya yang kurang jelas, 5 dari 40 tender point dengan 10 kriteria minor lainnya. Kriteria ini memiliki nilai sama berat untuk tender point dan gejala serta  tanda FMS lainnya.
Pada tahun 1990, American College of Rheumatology (ACR) menetapkan kriteria  FMS berdasarkan penelitian  293 pasien   FMS dibandingkan dengan 265 pasien kontrol yang dibagi menurut usia, jenis kelamin, dan  diagnosis rematik. Kombinasi dari kriteria nyeri difus minimal 3 bulan dengan memiliki 11 dari 18 tender point yang memberikan sensitivitas sebesar 88% dan spesifisitas 81%. Berdasarkan kriteria ACR, 19 pasien dengan 11 tender point tidak memiliki FMS. Tetapi, kriteria ini mengabaikan gejala dan tanda lainnya yang merupakan bagian FMS, termasuk fatique/kelelahan, gangguan kognitif, kesulitan tidur, perasaan tidak segar di pagi hari, sensitif terhadap cahaya, bau dan suara serta kelemahan umum.
Revisi Istilah Tender Point.
Sejak definisi ACR ditetapkan, konsep tender point ditinjau ulang , dengan meningkatnya berbagai pendapat pada penggunaannya dalam diagnosis FMS. Kelemahan area anatomi tertentu dapat terjadi pada orang normal dengan tekanan sedang. Namun, istilah tender point mungkin berguna sebagai alat ukur beratnya gejala pada pasien dengan riwayat FMS. Oleh karena itu, mereka dapat digunakan sebagai barometer distress psikologis tetapi mungkin tidak digunakan pada kejadian FMS primer.
Beberapa penelitian telah mendukung terhadap konsep beratnya tender point dalam mendiagnosis FMS. Kriteria Manchester menggunakan sebuah diagram nyeri dimana pasien dapat menunjukkan area nyeri daripada keterbatasan pilihan untuk mendefinisikan tender point. Langkah untuk memperluas proses diagnosis FMS memasukkan gejala umum FMS lainnya daripada batasan  sempit nyeri tajam pada London Fibromyalgia Epidemyology Study Screening Questionnaire, yang merupakan tes permulaaan dalam menilai nyeri dan fatique sebagai skrining epidemiologi FMS. Pada tahun 1999, White dkk menekankan penambahan kelelahan dalam diagnosis FMS. Konsep ini selanjutnya  berkembang menjadi sebuah alat ukur yang dinamakan Symptom Intensity Scale (SIS).
Alat Ukur Objektif
SIS merupakan alat ukur yang komprehensif yang bertujuan menilai rasa nyeri dan fatique pada pasien FMS. Skala ini membantu dalam mendiagnosis yang sama baiknya dalam mengukur marker secara serial penyakit inflamasi sistemik autoimun. Pasien  mengisi skala pada setiap kunjungan, yang memberikan  pasien dan tenaga medis sebuah alat ukur yang objektif. Selain itu, keuntungan alat ini dapat melihat peningkatan  kemauan pasien untuk mematuhi nasehat dokter selama kunjungan.
Wolve telah mengembangkan SIS dengan melakukan survey yang dikirimkan kepada 12.799 pasien yang  didiagnosis sebagai variasi rematik, seperti reumatoidarthritis, osteoarthritis, dan FMS. Survei terdiri dari skala nyeri  yang ditanya sekitar 38 area artikular dan non artikular dan  10-cm Fatique Visual Analog Scale (FVAS).
Sebuah kelompok kecil dari 19 area anatomi non artikular  telah ditemukan untuk membedakan FMS dari penyakit lainnya. Area 19 ini merupakan Regional Pain Scale (RPS) yang merupakan bagian dari SIS, yang divalidasi menggunakan metode statistik yang sesuai. Nilai skor 8 atau lebih pada RPS, dengan nilai 6 atau lebih pada FVAS, diduga sebagai diagnosis FMS.
Pada tahun 2006, Katz dkk meneliti 75% tingkat konkordasi sepanjang pengukuran RPS, kriteria ACR, diagnosis klinik FMS ( berdasarkan berbagai gejala). Dalam penelitian lainnya, RPS dengan nilai 8 atau lebih mempunyai sensitivitas 87,6%, nilai skor 6 atau lebih juga berguna dalam mendiagnosis FMS.
Wolfe dan Rasker telah membuat SIS formal. Ini dihitung sebagai jumlah RPS dibagi 2 (disebut sebagai Symptom Intensity Score (SIS)) ditambah dengan FVAS lalu dibagi 2 ((RPS/2+FVAS)/2).
SIS mengacu pada skor. Nilai yang dihitung mungkin dalam rentang 0 sampai 9,75, pada penelitian terhadap 25.417 pasien, skor cut off 5,75, digunakan untuk membedakan FMS dengan diagnosis rematik lainnya. SIS juga berkaitan erat  gejala FMS dan Short Form- 36, sebuah pengukuran objektif  tentang kesehatan secara umum, perasaan, kemungkinan diabetes mellitus, kebutuhan perawatan di rumah sakit, tingkat disabilitas, resiko peningkatan kematian dini (resiko relative 1,12; 95% interval terpercaya, 1,10-1,14).
Lebih dari sekedar menilai nyeri ternyata SIS mempengaruhi penilaian dampak global yang lebih besar dari FMS  seperti kualitas hidup dan morbiditas dan mortalitas yang serius. Dampak FMS terhadap penyakit rematik lainnya sama baiknya dibandingkan dengan kesehatan umum seharusnya dihargai karena memiliki arti yang luas tentang penegakkan diagnosis dini dan manajemen penyakit rematik selanjutnya. Penggunaan SIS memungkinkan para dokter untuk lebih memahami aspek biopsikososial pada pasien. Kriteria baru FMS, alat-alat seperti SIS mungkin  akan meminimalkan penggunaan istilah tender point.
Kondisi Klinis Penyerta
Diagnosis FMS mungkin dibantu dengan  adanya kondisi atau gejala lainnya. Nyeri sering bertambah pada keadaan cuaca dingin dan lembab, fatique, kurang gerak, kecemasan, atau aktivitas yang berlebihan. Biasanya nyeri berkurang atau reda dengan mandi air hangat, latihan fisik aerobic dan pemijatan.
Kondisi lain yang menyertai FMS dan terlibat dalam patofisiologi termasuk sindrom takikardi ortostatik postural,  sensitisasi sentral ( peningkatan kepekaan terhadap sensasi indra khusus), sistitis intersisial, karotodinia, Irritable bowel syndrome, migren, riwayat  nyeri kepala  pada anak dan gangguan tidur. Hubungan ini mungkin masuk akal mengenai mekanisme sentral yang melatarbelakangi pasien yang penting diketahui oleh sejumlah dokter spesialis dan dokter keluarga dalam mengobati pasien dengan FMS. Jika keluhan berlangsung terus, sehingga mengarah ke rujukan spesialisasi tertentu, mengobati pasien dengan penyakit penyerta bukanlah pendekatan yang terbaik tanpa diagnosis yang jelas.
Pendekatan Manajemen Pasien
FMS seharusnya bukanlah sebuah diagnosis ekslusi tetapi sebagai diagnosis yang dikenal, diikuti dengan peningkatan manajemen yang lebih baik, pendekatan ini mungkin dapat mencegah penggunaan terapi jangka panjang dan toksik. Misalnya, nyeri sendi persisten tanpa adanya pembengkakan atau sinovitis dan batas reaksi fase akut normal RA merupakan keadaan yang umum terjadi pada beberapa kasus karena komorbid FMS. Pemberian imunosupresi dalam keadaan ini tidak perlu bahkan berbahaya. Pengobatan rasional memerlukan pengenalan dan pemahaman tentang komorbid FMS.
Manajemen pada hampir semua kondisi medis sering bersifat individual termasuk juga dengan FMS. Waktu tambahan mungkin perlu pada pertemuan awal dalam mencoba untuk mengidentifikasi profil pasien secara keseluruhan dapat membantu manajemen pasien. Penilaian awal dan follow up serial sangatlah berguna sebagai ukuran objektif  dengan menggunakan SIS, Mood Disorder Questionnaire (MDQ), Patient health Questionnaire (PHQ), Epworth Sleep Scale (ESS), Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ), dan instrument lainnya. Manajemen FMS sangatlah kompleks seperti penyakit yang mendasari dan pengenalan fenotip tertentu (predominan nyeri kronis, predominan fatique kronis) memungkinkan pendekatan terapi yang lebih baik.
Gambar 1 : Skala Intensitas Gejala (SIS) membantu dalam mendiagnosis sindroma fibromialgia dan monitor serial dalam mengukur marker inflamasi dalam gangguan autoimun sistemik inflamasi. SIS ini merupakan alat ukur objektif dalam mengobati pasien

 




Edukasi Pasien
Manajemen multimodal FMS dimulai dengan edukasi, yang merupakan hal utama dalam  mengobati pasien dan menfasilitasi untuk terapi non farmakologik lainnya. Memahami  keluhan mereka dan juga mekanisme yang mendasarinya dapat menjadi terapi yang baik, karena pasien dengan FMS banyak bertemu dokter dan tidak menerima penjelasan yang memuaskan terhadap penyakit mereka. Adanya harapan terhadap pilihan pengobatan dan tujuannya saat pengobatan merupakan hal yang penting. Meskipun tidak bisa dipastikan waktu perkembangan perbaikan gejala pada semua pasien, namun penting untuk melihat pasien setelah 6 minggu sampai 3 bulan secara subjektif dan objektif tentang perkembangan respon terhadap terapi awal. Bila komponen FMS (nyeri, depresi dan kelemahan) berubah, maka begitu juga dengan FMS. Motivasi pasien dan partisipasi aktif pasien juga penting dalam rencana pengobatan, yang berpengaruh pada pengambilan keputusan pengobatan mereka.
    Politerapi harus dihindarkan, lebih diutamakan monoterapi saat pasien didiagnosis dengan RA. Kebanyakan pasien dijelaskan tentang mekanisme keluhan mereka dan berkeinginan melakukan segalanya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Hal ini membantu untuk memecahkan kumpulan masalah dan mengurangi depresi dan nyeri pada pasien FMS. Edukasi formal harus disediakan agar pasien dapat membaca dan merefleksikan hasil setiap kali kunjungan.
    Edukasi  harus diseimbang dengan terapi farmakologik dan non-farmakologik lainnya. Hal ini membantu untuk mengetahui bahwa  FMS bukan penyakit yang sembuh dengan sendirinya dan dampaknya terhadap kualitas hidup sangat signifikan. Pasien dengan “profil FMS tertentu” harus dibicarakan karena hal ini membantu dalam mencapai tujuan terapi. Selalu menyemangati pasien agar dapat menginformasikan penyakit mereka dan dari  sumber yang terpercaya.
    Keterlibatan kelompok pendukung lokal memberikan masukan terhadap pasien untuk mendiskusikan keluhan mereka dan dapat membantu mereka menemukan orang lainnya dengan gejala yang sama. Hal ini dapat meningkatkan perhatian pasien terhadap rekomendasi terapi.

Latihan Aerobik
Mengurangi manifestasi klinik pasien FMS, maka olah raga merupakan terapi utama. Program yang terstruktur dari latihan aerobik intensitas ringan membantu menjaga kesehatan umum dan kondisi fisik. Kebanyakan pasien FMS mengakui bahwa mereka tidak dapat ikut serta pada latihan regular terstruktur dikarenakan adanya nyeri yang kronik dan kelemahan umum.
    Pasien yang memiliki tingkat keyakinan terhadap kapasitas latihan premorbid lebih merasakan  keluhan nyeri dan depresi sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mereka terhadap latihan dikarenakan penyakitnya. Meskipun hal ini meningkatkan tubuh dari pengaturan titik neurotransmitter endogen nyeri yang telah terbentuk – yang meregulasi kimiawi pada pasien spesifik yang tidak sepenuhnya jelas. Kebanyakan pasien menghadapi hambatan berupa nyeri yang meningkat saat awal latihan dan kelemahan umum sesudahnya.
    Penegasan bahwa latihan memiliki efek dose-dependent pada terapi FMS dan keuntungan tersebut tidak bisa didapat tanpa adanya latihan dengan intensitas dan waktu tertentu yang terus-menerus. Mendorong pasien untuk meningkatkan intensitas dan durasi latihan mereka agar mencapai level secara bertahap karena antusiasme yang berlebihan akan merugikan dan mengakibatkan ketidakpatuhan pasien nantinya.
    Latihan non-aerobik intensitas tinggi tidak dianjurkan dalam manajemen FMS. Latihan aerobic membantu meningkatkan kondisi fisik dan kinerja pasien karena membantu dalam manajemen depresi, ansietas, dan stress.
    Tujuan akhir terapi adalah latihan aerobik intensitas sedang  setidaknya 20-30 menit selama lima kali dalam seminggu. Keberhasilan terapi  ini lebih bersifat individual terutama pasien merasa lebih senang mengikuti latihan secara terbagi.
    Pada beberapa pasien, adanya beberapa latihan seperti terapi akuatik/kolam dan mengendarai sepeda statik, dengan tujuan untuk mempercepat jalan, mungkin lebih realistik dibanding dengan yang lainnya. Pasien dengan bursitis trochanter secara khusus akan memerlukan latihan sepeda stasioner, dan pasien obesitas akan mendapati bahwa terapi kolam membantu mereka mengurangi beban agar latihannya lebih baik. Tehnik biofeedback berguna jika dikombinasikan dengan program latihan.

Optimalisasi Tidur
Kunci utama lainnya dalam manajemen FMS adalah optamalisasi tidur. Kebanyakan pasien dengan FMS mengaku mengalami gangguan tidur, seperti kesulitan dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur dan merasa tidak segar saat bangun. Depresi menambah masalah tidur semakin berat, sehingga menjadikan hal ini penting untuk mencari faktor terlibat.
    Gangguan tidur pada FMS dapat berasal dari gangguan tidur primer atau dari obstructive sleep apnea. Pasien dengan dugaan adanya gangguan tidur harus diyakinkan untuk menjalani penelitian tentang tidur formal untuk menganalisa bentuk tidur dan memberikan rekomendasi yang berhubungan.
    Tujuan terapi adalah untuk mengoptimalkan slow-wave sleep (NREM stage 3 atau 4). Higienis tidur yang baik harus dianjurkan. Obat-obatan dapat membantu tidur seperti antidepresan trisiklik dosis rendah (seperti amitriptilin dan nortriptilin), trazodone, pherfenazine dosis rendah, dan doxepine yang diminum saat tidur.
    Obat-obatan lain yang dapat memperbaiki slow-wave sleep adalah pramipexole; beberapa penghambat reuptake serotonin selektif (SSRIs), seperti fluoxetine, pregabalin dan 5 hydroxy tryptophan. Penggunaan benzodiazepin harus dikurangi karena obat ini mengurangi   gelombang lambat tidur. Zopiclone dan zolpidem  telah diketahui membantu tidur FMS tanpa dicurigai  gelombang lambat tidur.
Tata Laksana Depresi
Depresi merupakan aspek kunci pada pathogenesis pada banyak pasien dengan FMS. Hal ini harus dikenali dan ditatalaksana secara optimal. Gunakan form PHQ untuk mengenali adanya depresi dan ansietas. Form MDQ membantu klinisi untuk mengenali kecenderungan ke arah gangguan bipolar. Skala ini menetapkan tujuan pengukuran dan penilaian serial. Depresi berefek pada tidur dan kemampuan serta motivasi dalam latihan, oleh karena itu jika tidak ditemukan maka merupakan aspek lain dalam tata laksana FMS.
            Kurangnya  kadar serotonin dan norepinefrin dalam  SSP telah diidentifikasi sebagai mekanisme penting dalam patogenesis FMS. Oleh karena itu, adalah logis untuk mencoba mengembalikan kadar ini menurut  artian  farmakologis dan non-farmakologis.
           SSRI dan inhibitor selektif reuptake nor-epinephrine (SNRIs) telah digunakan untuk mengelola depresi pada pasien dengan FMS. Untuk mengelola depresi pada pasien tertentu, venlafaxine, paroxetine, escitalopram, dan duloxetine dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan  dengan antidepresan trisiklik. Jika kecemasan merupakan komponen utama, buspirone merupakan tambahan terapi yang bermanfaat.
           Dosis rendah quetiapine atau aripiprazole tunggal atau dikombinasikan dengan SSRI atau SNRI mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki gangguan bipolar atau gangguan tendensi. Obat ini memperbaiki kelelahan, mengontrol depresi dan bila dikombinasikan  akan melindungi pasien dari episode manik atau percepatan siklus yang dipicu oleh pengobatan SSRI atau SNRI.




Manajemen Nyeri
Manajemen  nyeri pada pasien dengan FMS selalu menjadi tantangan. Pasien harus berkonsultasi tentang mekanisme nyeri pada FMS ini dan bahwa rasa nyeri yang mereka alami mungkin terkait dengan kurang tidur, depresi, dan kurang aktivitas.
    Opioid  analgesik  telah diteliti pada randomized controlled study  dan ternyata hasilnya  tidak efektif. Penggunaan obat ini seharusnya dicegah. Jika pasien sudah mengkonsumsi analgesik opioid, upaya harus dilakukan untuk memisahkan mereka dari obat-obat ini, mungkin dengan mengelola nyeri secara edukasi formal.
    Mengelola beberapa aspek lain dari FMS dapat membantu mengurangi rasa nyeri ke tingkat 'toleransi’.  Obat-obatan yang dapat digunakan untuk manajemen nyeri di FMS termasuk antidepresan trisiklik dosis rendah, duloxetine, pregabalin, dan pramipexole; terapi kombinasi (antidepresan trisiklik dengan SSRI atau SNRIs) mungkin berguna.  Selain itu, latihan  aerobik dapat meningkatkan kadar  endorfin SSP,  sehingga membantu manajemen nyeri.

Kombinasi Pengukuran Nyeri
Penggunaan kombinasi tindakan  nonfarmakologis dan farmakologis  penting dalam pengelolaan FMS.  Partisipasi Pasien harus dicatat sedini mungkin untuk memastikan kepatuhan terhadap rekomendasi terapi.  Mengisi  kuesioner pada kunjungan serial membantu memberikan umpan balik objektif dan mendorong pasien untuk mulai berpartisipasi atau  melanjutkan partisipasi mereka dalam pengelolaan penyakit.
    Penggunaan agen farmakologis harus dipandu oleh pathofisiologi dan gejala pada pasien tertentu. Duloxetine, milnacipran, dan pregabalin adalah beberapa obat yang disetujui FDA untuk FMS. Namun bukan berarti obat ini sangat efektif sehingga harus diresepkan dengan harapan yang cukup beralasan.
    Dalam sebuah penelitian terhadap 2.228 pasien yang diobati dengan pregabalin, peningkatan median skor FIQ adalah 14% . Dalam  tinjauan sistematis lain  mengenai penggunaan antidepresan dalam FMS, dilaporkan penurunan nilai median nyeri adalah 29% (6 - 70%) dan peningkatan median kualitas hidup adalah 30% (13 - 70%). Dalam analisis yang sama, persentase median efek samping adalah 72% (14 - 100%) . Menginformasikan kepada  efek samping ini merupakan komponen penting dari  realisasi konversi dari tentang pengobatan.

Bagaimana Kami Memperlakukan FMS
Kami tidak menganggap FMS sebagai diagnosis eksklusi
Kami menyarankan untuk mengetahui riwayat FMS dan memberikan perhatian khusus terhadap berbagai aspek FMS dan  'the company it keep’. Sejarah keluarga sering mengungkapkan bahwa anggota keluarga lainnya (misalnya, saudara perempuan, ibu) memiliki gejala yang sama.
Kami menghindari penggunaan istilah ‘fatique secara sembarangan'. Pada pertanyaan rinci,  fatique sering disamakan dengan depresi.
Kami mencoba untuk mengidentifikasi pemicu dan menerangkan dampak FMS pada kualitas hidup pasien.
Kami mencoba untuk mengidentifikasi pendapat  pasien mengenai FMS dan yang aspek  mana dari FMS yang paling banyak mempengaruhi dirinya. Ini sangat membantu dalam perencanaan tujuan terapi.
Kami meminta pasien untuk mengisi kuisioner  pada setiap kunjungan (SIS, PHQ, MDQ, ESS) dan mendiskusikan tation penafsiran  kami mengenai skor.
Berdasarkan riwayat penyakit dan kuisioner-kuisioner, kami mencoba untuk berfokus pada penatalaksanaan penyebab bukan pada manifestasi  FMS. Ini berarti mengidentifikasi faktor pemicu FMS dan mencoba langkah-langkah korektif.
Kami mencoba menjelaskan mekanisme FMS  kepada pasien. Salah satu mekanisme yang mendasari FMS adalah stimulus saraf per unit, pengalaman abnormal dan respon . Sebagai contoh, memikirkan rokok menyala di ruang bawah tanah bangunan akan mematikan detektor asap dipasang di lantai dua. Masalah yang mendasari: sensitivitas dari detektor asap dipasang terlalu rendah. Solusi: meningkatkan ambang batas detektor asap. Salah satu cara untuk berkomunikasi saat ini  kepada pasien adalah dengan mengatakan kepada mereka, "Aku tidak dapat menyembuhkan Anda, tapi aku bisa meringankan keluhan."
Kami menekankan kompleksitas FMS berdasarkan kompleksitas pengobatan. Mintalah pengertian pasien mengenai penyakit dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang langkah-langkah pengobatan. Tetapkan tujuan yang realistis.
Jika ada indikasi, kami merujuk pasien untuk studi tidur, terapi fisik, atau terapi air. Kebanyakan pasien dapat memotivasi diri untuk terapi renang. Memberi pasien obat tidur jika ada indikasi dari hasil kuesioner tidur.
Kami melakukan manajemen farmakologis perorangan berdasarkan profil pasien (menggunakan formulir yang telah mereka isi) dan tujuan terapeutik.
Untuk mencapai follow up serial reguler (kantor atau telepon based), kita kadang-kadang memberikan kuesioner kepada pasien dapat diisi oleh mereka 6 sampai 8 minggu setelah pengobatan dimulai dan mengirimkan kembali kepada kami, kemudian kita bisa membahas hasil dengan pasien dan memodulasi pengobatan.
Kami tetap berpikiran terbuka terhadap adanya gangguan lain. Gejala-gejala baru bisa dinilai oleh mereka sendiri. Kami menjelaskan kepada pasien bahwa FMS yang tidak membuat mereka kebal terhadap penyakit lain dan jika mereka mengalami gejala baru mereka harus mengkonsultasikan kepada dokter.
Dasar memfokuskan kegiatan laboratorium pada kunjungan pertama membantu kami mengidentifikasi kondisi komorbiditas berkontribusi terhadap gejala. Kami tidak memesan tes serologis luas atau pencitraan karena FMS adalah diagnosis klinis.

Penyakit Apakah FMS  itu?
Pasien dan dokter sering bertanya mengenai FMS. Dengan tegas dikatakan , FMS adalah penyakit fenotipe, sebagai hasil dari pengaruh kompleks sensitisasi pusat yang bertanggung jawab terhadap keluhan  depresi, kecemasan, kurang tidur, latar belakang genetik, pengalaman masa lalu (misalnya, penyalahgunaan, prematuritas), dan faktor lingkungan.Mekanisme patogen jelas, dan gejala yang dihasilkan sama. Kontroversi  pada FMS sering terjadi seperti halnya pada penyakit lainnya. Hanya waktu dan penelitian lebih lanjut akan ‘memisahkan gandum dari sekam’. Sampai saat itu  dokter harus bekerja dengan pemahaman mengenai penyakit ini.



    


   

0 komentar:

Posting Komentar