Pages

Selasa, 28 Desember 2010

Manajemen Disfungsi Ereksi

Pendahuluan
Disfungsi ereksi atau impotensi adalah sebagai ketidakmampuan yang persisten dalam mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan. Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (NIH Consensus Development Panel on Impotence, 1993). Disfungsi ereksi sebenarnya mempunyai makna yang lebih sempit daripada disfungsi seksual. Disfungsi ereksi melibatkan begitu banyak pendekatan multidisiplin dalam pengelolaannya. Bukan hanya bidang ilmu kedokteran atau kesehatan, tapi juga melibatkan ilmu sosial, psikologi, bahkan ekonomi. Seksualitas merupakan proses kompleks yang dikoordinasi oleh sistem neurologik (saraf), vaskuler (pembuluh darah) dan endokrin (kelenjar). Secara individu, seksualitas melibatkan keluarga, sosial dan agama, dan berubah dengan pertambahan usia, status kesehatan dan pengalaman individu. Aktivitas seksual melibatkan juga hubungan antarpersonal, karena setiap pasangan mempunyai sikap tersendiri, keinginan dan respon terhadap pasangannya (Phillips, 2000) Kesehatan dan fungsi seksual merupakan masalah penting dalam menentukan kualitas kehidupan. Gangguan seperti fisfungsi ereksi dan disfungsi seksual wanita menjadi sangat penting pada populasi orang tua di Amerika. Karena masalah ini dibahas secara luas di media, laki-laki dan wanita semua usia mencari petunjuk dalam usaha meningkatkan hubungan dan pengalaman seksual yang memuaskan dalam kehidupannya. Disfungsi seksual sering berhubungan dengan beberapa penyakit seperti diabetes, hipertensi, penyakit arteri koroner, penyakit neurologik, dan depresi. Beberapa pasien mengeluh disfungsi seksual sebagai simtom dari suatu penyakit. Disfungsi ereksi sering terjadi karena efek samping suatu pengobatan ( Brosman & Leslie, 2004). Penyebab disfungsi ereksi adalah multifaktor dan dapat dikelompokkan sebagai organik, neurogenik dan campuran. Pada disfungsi ereksi organik, terbanyak karena vaskulogenik. Faktor risiko mayor yang terjadi pada patofisiologi disfungsi ereksi organik adalah diabetes melitus, hiperkolesterolemi, merokok dan penyakit kronis. Semua faktor tersebut meningkatkan risiko terjadi aterosklerosis, yang merupakan predisposisi menyebabkan disfungsi ereksi vaskulogenik(Agarwal et al ., 2005).

Berbagai terapi disfungsi ereksi telah dicoba dilakukan seperti terapi psikoseksual, terapi penggantian hormonal, alat vakum konstriksi, injeksi intrakorporal, obat-obatan oral, operasi arteri/vena penis, sampai pemasangan mechanical device (implantasi protesis penis) dengan berbagai keuntungan dan kerugian masing-masing (IDI, 1999).

A. ALUR PENANGANAN DISFUNGSI EREKSI

Alur penanganan penderita yang diduga menderita disfungsi ereksi apat digambarkan sebagai berikut (modifikasi Miller, 2000)



B. MANAJEMEN UMUM

Pengendalian kadar gula ketat tetap merupakan usaha paling baik. Intervensi terhadap proses degenerasi dapat dilakukan dengan pemberian aldose reductase inhibitor (ARI) dan faktor neurotrofik. Pemberian ARI (tolrestat) menunjukkan ada indikasi manfaat potensial. Subjek dengan neuropati diabetik sudah jelas yang telah diobati dengan tolrestat jangka panjang secara acak dirancang menjadi dua kelompok yakni terapi dilanjutkan atau dihentikan. Pada kelompok yang terapinya dilanjutkan hanya didapatkan kerusakan saraf ringan serta didapatkan regenerasi serabut saraf, normalisasi hubungan akso-glial dan demielinasi segmental. Setelah periode pemberian tolrestat sampai 4,2 tahun pada kelompok yang mendapat terapi tolrestat, kecepatan hantar sarafnya tetap terpelihara (Ward, 1997).

Usaha lain yang dapat dilakukan ialah upaya meningkatkan proses regenerasi dapat diusahakan termasuk pemberian nerve growth factor (NGF), brain derived neurotrophic factor (BDNF). NGF merupakan faktor neurotrofik penting yang mendorong kehidupan neuron sensoris serabut kecil dan neuron simpatis sistem saraf perifer. BDNF mendorong hidupnya serabut saraf sensoris ukuran sedang yang menjadi perantara sensasi tekanan dan saraf motoris. Banyak studi menunjukkan bahwa aldose reductase inhibitor lebih mempunyai manfaat dalam memperlambat kemajuan neuropati diabetika dibanding dengan kemajuan regenerasi, akan tetapi berbagai studi lain menunjukkan manfaatnya terhadap regenerasi (Apfel, 1999).

Tabel1. Terapi disfungsi ereksi

__________________________________________________

Obat : Sildenafil citrate

Vardenafil

Yohimbine

Alprostadil

Papaverine HCL

Phenoxybenzamine HCl

Aqueous testosterone injection

Transdermal testosterone

Bromocriptine mesylate

Apomorfin

Fentolamin

Ganglioid

Linoleat - gamma

Aminoguanidine

Methylcobalamine

Dilatasi dengan balon pada arteri terkait bagian proksimal

Implant pada penis

Operasi rekontruksi vaskuler

Vacuum erection device

________________________________________________________

Berbagai obat lain yang mempunyai harapan dalam pengobatan impotensia adalah gangliosid, asam linoleat-? , dan pemberian aminoguanidin suatu penghambat glikasi saraf. Metilcobalamin berdasarkan hasil suatu overview ternyata mempunyai potensi terapetik juga pada neuropati diabetik dan impotensi (Anonymous, 1998). Pada suatu studi dengan hewan coba pemberian dua bulan dengan aminoguanidin dapat mencegah penurunan kecepatan hantar saraf sebesar 22 persen dan kenaikan resistensi saraf iskiadikus terhadap kegagalan konduksi hipoksia sebesar 49 persen (Ward, 1997).

Terapi nutrisi akhir-akhir ini banyak dikembangkan. Meskipun belum ada uji klinis memadai, oleh Bersvendsen (1999) diajukan beberapa alternatif pengobatan neuropati diabetika secara umum, yakni:

1) gamma-linolenic acid; 2) anti oksidan (termasuk alpha-lipoic acid 600-800 mg, thiocthic acid 600 mg, vitamin E 1200 iu atau selenium 100 mcg); 3) vitamin E; 4) acetyl L carnitine (ALC); 5) chromium ; 6) biotin (9 mg per hari); 7) niacin; 8) inositol dan taurine; dan 9) magnesium.

C. MANAJEMEN KHUSUS

Apabila penyebab disfungsi ereksi tersebut ialah faktor organik, Stewart (1993c) menganjurkan lima langkah berikut sebelum dilakukan terapi khusus, yakni: 1) dipertimbangkan apakah perlu dilakukan terapi spesifik; 2) pengobatan terhadap masalah psikogenik sekunder; 3) menyingkirkan faktor yang memperberat disfungsi ereksi; 4) memperbaiki kondisi atau faktor kesehatan umum; dan 5) mempertimbangkan kenyataan bahwa umur berperan pada penurunan libido dan frekuensi ereksi. Sebelum pemberian suatu obat, perlu dipertimbangkan adanya penyakit-penyakit yang diderita, obat yang telah diperoleh, kepuasan pasangan, kenyamanan dengan metoda pemberian obat serta profil efek sampingnya (Viera et al., 1999). Pada menejemen operatif, pilihan terapi disfungsi ereksi ialah bedah vaskuler atau implantasi prostesis penis, dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya kontra indikasi. Implantasi prostesis penis mempunyai tingkat kepuasan tinggi, akan tetapi tidak direkomendasikan sebagai pilihan utama oleh karena kemungkinan menimbulkan kerusakan permanen pada jaringan penis (korpus kavernosum). Alat bantu ereksi vacuum constriction devices ternyata dapat diterima oleh sekitar 75 persen pasien (Manning, 1998).

Berbagai usaha juga dapat dilakukan dalam pengelolaan impotensi, yaitu: 1) farmakoterapi oral, misalnya yohimbin, sildenafil; 2) injeksi intrakavernosa.

Menurut studi Tsai et al . (2000), injeksi alprostadil intra kavernosa masih dipertimbangkan sebagai cara yang relatif efektif dan aman pada sejumlah pasien diabetik dengan disfungsi ereksi.(Sobocinski et al. 1998) mendapatkan efektivitas terapi alprostadil bervariasi 50-67 persen. Dosis paling efektif ialah 20 mg, sementara dosis efektif minimal ialah 10 mg; 3) prostesis penis. Carson et al. (2000) menyatakan bahwa implan AMS 700CX menghasilkan ereksi cukup bagus, sangat memuaskan pada pemantauan jangka penjang sebagian besar pasien. Akoz et al. (1999) menganjurkan memakai flap tulang iliaka sebagai penunjang penis, oleh karena menurut pengamatannya dengan pemantauan selama satu tahun menunjukkan fungsi seksual baik; 4) vacuum devices; 5) revaskularisasi arteriel. Sica et al. (1999) mengatakan bahwa tidak ada prosedur revaskularisasi tunggal telah diterima untuk mengatasi masalah impotensi vaskulogenik.

Revaskularisasi arteriel tidak direkomendasikan untuk pasien dengan DM oleh Zumbe et al. (1999). Peneliti tersebut merekomendasikan indikator seleksi kasus revaskularisasi penis sebagai berikut: (a) gagal dengan injeksi intra kavernosa, (b) usia kurang dari 55 tahun, (c) nondiabetik (d) tidak ada kebocoran kavernosa, dan (e) stenosis di arteria pudenda interna; 6) pengobatan kerusakan vena; 7) pengobatan hormonal; dan 8) terapi seks.

Sildenafil merupakan salah satu obat yang telah terbukti bermanfaat untuk terapi disfungsi ereksi laki-laki diabetik. Dosis awal ialah 50 mg (oral) kemudian dapat diturunkan menjadi 25 mg atau dinaikkan menjadi 100 mg tergantung respon penderita. Studi yang dilakukan oleh Rendell et al . (1999) menunjukkan bahwa sildenafil oral merupakan obat efektif dan dapat ditolerir dengan baik oleh laki-laki diabetik.

Studi tersebut juga melaporkan adanya efek samping berupa nyeri kepala, dispepsia, gangguan saluran nafas, dan kardiovaskuler. Insidensi efek samping kardiovaskuler sama besar antara subjek dengan kontrol. Efek samping paling banyak terjadi menurut Assouline-Dayan et al. (1998) dan Price et al. (1998) ialah nyeri kepala, flushing, nyeri otot, dan gangguan saluran cerna, bahkan ada laporan menimbulkan kematian. Kloner dan Jarow (1999) mengatakan bahwa sildenafil sitrat kontraindikasi mutlak pada pasien yang mendapat nitrat organik. Cohen (2000) mendiskusikan keuntungan dan kerugian mulai pengobatan dengan sildenafil dosis rendah. Keuntungan pendekatan tersebut termasuk: 1) mengidentifikasi pasien sangat sensitif pada efek sildenafil dan memerlukan dosis lebih; 2) meminimalkan efek samping seperti flushing dan pusing yang sering menakutkan pasien dan mempengaruhi kepatuhan; 3) menghindari efek samping yang berat; dan 4) menjamin pasien tetap berhati-hati dalam menggunakan terapi sildenafil. Kalinichenko et al . (1999) menyatakan bahwa efek paling bagus sildenafil sitrat tercapai dengan dosis 100 mg (efektif pada 68,5 persen pasien) sementara dengan dosis 50 mg efektif pada 31,5 persen, dan dosis 25 mg efektif pada 0 persen pasien. Cumings dan Alexander (1999) menyatakan bahwa sildenafil merupakan obat pilihan pertama pasien disfungsi ereksi pada pasien diabetes melitus .

Vardenafil, suatu penyekat fosfodiesterase-5, ternyata cukup bagus untuk kasus disfungsi ereksi dengan diabetes mellitus (Goldstein, et al., 2003). Vardenafil secara statistik meningkatkan kemampuan ereksi, dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien diabetik dengan disfungsi ereksi. Telah dilakukan penelitian buta-ganda multisenter (placebo-controlled fixed-dose parallel-group phase III trial ) pada 452 pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 atau 2, dengan disfungsi ereksi, yang secara acak mendapat dosis 10 mg, 20 mg vardenafil atau plasebo sesuai kebutuhan selama 12 minggu. Respon efikasi diuji dengan International Index of Erctile Function domain scores , banyaknya penetrasi vaginal dan suksesnya hubungsn kelamin, dan Global Assessment Question (GAQ) tentang perbaikan ereksi selama 4 minggu sebelumnya. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa vardenafil meningkatkan fungsi ereksi dan umumnya ditoleransi dengan baik oleh subjek dengan diabetes melitus dan disfungsi ereksi.

Dewasa ini terapi obat menjadi sangat penting. Penyekat fosfodiesterase baru dewasa ini sedang dalam uji praklinik. Fentolamin dan apomorfin rupa-rupanya akan segera tersedia untuk terapi disfungsi ereksi (Trummer, 2000). Dinsmore et al. (1999) mengkombinasi VIP dengan fentolamin mesilat injeksi intrakorporeal, dan ternyata efektif dan aman pada pasien-pasien disfungsi ereksi nonpsikogenik.

Kebanyakan dari pria yang menderita disfungsi ereksi dapat diterapi dengan berhasil dengan salah satu pedekatan dibawah ini. Pria yang tidak menderita disfungsi organik kemungkinan lebih menguntungkan dengan terapi seks yang beroriaentasi pada tingkah laku (behavioral ). Berikut ini beberapa penjelasan tetang beberapa macam terapi pada disfungsi ereksi (Macphee, 2006):

Terapi penggantian hormon

Injeksi testosteron (200 mg intramuscular setiap 3 minggu) atau testosterone topical (2.5–6 mg/hari) diberikan pada pria dengan defisiensi androgen yang telah menjalani pemeriksaan endokrin.

Alat vakum konstriksi

Alat vakum konstriksi adalah alat yang berbentuk silinder yang menjadikan penis dalam kondisi ereksi dengan memacu kondisi vakum dalam silinder. Alat vakum konstriksi adalah alat yang berbentuk silinder yang menjadikan penis dalam keadaan ereksi dengan cara induksi fakum yang terdapat dalam silinder. Ketika fase tumescence telah tercapai alat konstriksi dari karet atau pembalut ditempatkan mengelilingi sekitar proksimal penis untuk mencegah hilangnya ereksi, selanjutnya silinder di pindah. Alat ini cocok untuk pasien dengan gangguan vena pada penis dan yang gagal mencapai ereksi yang cukup dengan injeksi bahan vasoaktif. Komplikasi penggunaan alat ini jarang terjadi.

Pengobatan dengan bahan vasoaktif

Suntikan secara langsung bahan vasoaktif prostaglandin ke dalam penis yang dapat digunakan dalam pengobatan untuk kebanyakan pria dengan impotensi. Suntikan ini dilakukan dengan menggunakan spuit (alat suntik) tuberculin. Pada sisi dasar dan lateral penis digunakan sebagai tempat suntukan untuk menghindari trauma pada pembuluh darah yang terletak di permukaan yang terletak di anterior. Komplikasi jarang terjadi; meliputi pusing, nyeri setempat, terbentuknya jaringan parut dan infeksi. Ereksi yang diperpanjang memerlukan aspirasi (penyedotan) darah dan suntikan epinefrin dan fenilefrin untuk mencapai tahap destumescence tetapi kejadian ini sangant jarang. Mekanisme pengiriman vasoaktif prostaglandin (alprostadil) melalui obat ang dimasukan uretra sudah diproduksi, pada pemakaiannya memperoleh hasil yang memuaskan. Sediaan dalam bentuk supositoria yang tersedia 125, 250, 500 dan 1000 mcg.

Rangsangan seksual dengan pelepasan bahan nitric oxide pada saraf akan memicu ereksi penis. Penurunan penguraian cyclic guanosine monophosphate (cGMP) telah merubah cara pengobatan disfungsi ereksi. Sildenafil (Viagra) dengan menghambat phosphodiesterase 5 (PDE-5) —merupakan suatu penghambat ereksi—dan menjadikan cGMP berfungsi tanpa hambatan. Dalam keadaaan normal, nitric oxide -membantu pelepasan dari saraf parasimpatis dan endothelium membangkitkan membangkitkan campuran tersebut dan memperpanjang waktu paruh dan menopang aliran darah ke dalam penis yang ereksi. Disarankan untuk meminum lima puluh milligram 1 jam sebelum berhubungan untuk mengantisipasi aktifitas seksual. Obat ini tidak memiliki efek libido, tetapi efek tambahan dari nitrat memicu pengurangan preload jantung dengan hebat dan hipotensi. Dengan demikian, obai ini dikontraindikasikan pada pasien yang mengkonsumsi nitrogliserin. Semua pasien yang dalam pengawasan nyeri dada harus ditanyakan apakan mengkonsumsi sildenafil sebelum diberikan nitrogliserin.Thus, penyakit aterosklerosis yang menetap pada sistem aortailiaka dihubungkan dengan penurunan kemanjuran. penghambat PDE-5 yang terbaru, termasuk vardenafil (Levitra) and tadalafil (Cialis), memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan memiliki kemanjuran yang sama. Beberapa pasien yang tidak memberikan respon terhadap suatu jenis penghambat PDE-5 mungkin memberikan respon terhadap salah satu jenis penghambat PDE-5 yang lain. Apomorphine SL adalah dopamin D1 dan D2 agonist dan sekarang sudah direkomendasikan di Eropa.

Penile Prostheses (penis buatan)

Alat penis buatan dimasukan secara langsung ke dalam pasangan badan corporal. Prostesis ini memiliki sifat keras, lentur, seperti sendi atau dapat dipipihkan. Alat ini diproduksi bervariasi menurut ukuran dan diameter. Model yang dapat dipipihkan memiliki penampakan kosmetik yang baik, tetapi memiliki kegagalan mekanik yang lebih besar.

Rekonstruksi pembuluh arah

Pasien dengan gangguan sistem arteri dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk rekonstruksi arteri, termasuk endarterektomi dan ballon dilatation (pengembangan balon) pada sumbatan arteri dan teknik bypass pada arteri menggunakan arteri (pada arteri epigastrik) atau bagian vena (Vena dorsalis) pada penyumbatan di distal (dibawah) dari krura korpora kavernosa. Pengalama klinis dengan teknik rekonstruksi arteri masih terbatas dan mungkin beberapa pasien dapat mengalami kegagalan dalam mencapai ereksi yang maksimal.

Prognosis

Studi elektrofisiologi dan patologi menunjukkan bahwa degenerasi dan regenerasi saraf terjadi bersama-sama pada penderita neuropati diabetika. Dengan perkembangan penyakit mungkin keseimbangan bergeser dengan dominasinya degenerasi, sementara proses regenerasinya menjadi berkurang. Perbaikan dalam pengendalian kadar gula dapat menyebabkan pergeseran kearah dominasi regenerasi dan akibatnya terjadi perbaikan dalam gejala neuropati (Apfel, 1999). Romeo et al. (2000) mengevaluasi kaitan antara pengendalian kadar gula dengan disfungsi ereksi pada laki-laki penderita DM tipe-2. Disimpulkan bahwa disfungsi ereksi berhubungan dengan kadar gula darah. Neuropati perifer dan HBA1c merupakan prediktor bebas disfungsi ereksi. Fedele et al. (1998) dapat menunjukkan kaitan antara merokok dengan disfungsi ereksi yakni sebagai berikut: 1) kemungkinan menderita disfungsi ereksi perokok ialah sebesar 1,5 kali dibanding dengan orang tidak pernah merokok; dan 2) dibanding dengan orang merokok kurang dari 12 batang sigaret batang sehari, orang merokok lebih dari 30 batang sehari mempunyai kemungkinan menderita disfungsi ereksi 1,5 kali. Studi tersebut juga menyimpulkan bahwa: 1) laki-laki penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin dilaporkan mempunyai frekuensi disfungsi ereksi lebih rendah dibanding dengan laki-laki dengan diabetes melitus tergantung insulin; dan (2) orang dengan pengendalian kadar gula lebih baik mempunyai risiko menderita disfungsi ereksi lebih rendah dibanding dengan orang yang pengendalian kadar gulanya tidak baik. Pada kondisi tertentu, seperti misalnya: 1) kondisi serabut saraf dan vaskuler yang telah mengalami kerusakan permanen; dan 2) penurunan kadar jaringan korpora kavernosa untuk VIP dan norepinefrin, perbaikan fungsi seksual tentu tidak dapat diharapkan. Pada kasus-kasus seperti itu mungkin hanya dapat dilakukan dengan pertolongan obat atau peralatan yang diberikan secara lokal, dan akan membuat ereksi secara pasif.
PREVENSI

Seperti telah diutarakan patofisiologi terjadinya impotensia, utamanya disfungsi ereksi melibatkan unsur-unsur psikogenik dan organik. Pada aspek organik termasuk faktor vaskuler, neurologik, hormonal, serta penyakit dan penggunaan obat-obat tertentu. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya impotensia diabetik, selain pengobatan terhadap penyakit diabetes melitus harus juga memperhatikan faktor-faktor lain. Faktor-faktor risiko yang akan menimbulkan kelainan vaskuler, misalnya: hipertensi dan kelainan profil lipid serta merokok, harus betul-betul diperhatikan. Jeremy dan Mikhailidis (1998) mengemukakan kaitan antara merokok dengan disfungsi ereksi. Dengan demikian berhenti merokok akan dapat meningkatkan fungsi ereksi. Keegan et al. (1999) melakukan studi eksperimen pengobatan impotensia tikus diabetik. Pada kasus diabetes melitus terdapat pengurangan relaksasi korpus kavernosum otot polos, yang diperantarai oleh nitric oxide serabut saraf nonadrenergik-nonkolinergik dan endotelium, merupakan dasar organik impotensi. Pemberian anti oksidan alpha-lipoic acid terbukti secara eksperimen dapat mengobati impotensi. Lipoic acid merupakan senyawa alamiah, mempunyai kemampuan untuk memacu pengambilan glukosa dan menurunkan kenaikan kadar glukosa penderita diabetes melitus. Lipoic acid juga merupakan antioksidan kuat yang utamanya berguna dalam memperlambat perkembangan neuropati diabetika dan karaktogenesis. Dosis yang direkomendasikan di Jerman untuk diabetes melitus tipe-2 ialah 600 mg perhari. Dikemudian hari alpha-lipoic acid diharapkan dapat merupakan salah satu cara pencegahan dan terapi potensial.

Faktor psikogenik juga merupakan salah satu faktor cukup berperan untuk menimbulkan impotensia penderita diabetes mellitus, oleh karena itu faktor tersebut perlu diperhatikan juga.

Dirangkum dari buku Disfungsi Ereksi karya Prof.DR.dr.samekto Wibowo,Sp.S(K),SpFK.PFarK & dr.Abdul Gofir,Sp.S (2007) diterbitkan Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta

Senin, 20 Desember 2010

Autisme

EFINISI
Gangguan autistik merupakan gangguan yang terkenal, ditandai oleh gangguan berlarut-larut pada interaksi sosial timbal balik, penyimpangan komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas dan stereotipik. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), fungsi abnormal pada bidang di atas harus ditemukan pada usia 3 tahun.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi. Gangguan autistik terjadi dengan angka 2 sampai 5 kasus per 10.000 anak (0,02 sampai 0,05 persen) di bawah usia 12 tahun. Pada sebagian besar kasus autism mulai sebelum 36 bulan tetapi mungkin tidak terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan keparahan gangguan.
Gangguan autistik ditemukan lebih sering pada laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Tiga sampai lima kali lebih banyak anak laki-laki yang memiliki gangguan autistik dibandingkan anak perempuan. Tetapi anak perempuan memiliki gangguan autistik yang cenderung terkena lebih serius dan lebih mungkin memiliki riwayat keluarga gangguan kognitif dibandingkan anak laki-laki.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Sebenarnya penyebabnya multifaktorial, namun kemungkinan dapat terjadi karena:
1. Kelainan Organik-Neurologis-Biologis
 Faktor psikodinamika dan keluarga tidak terbukti berpengaruh terhadap autis, namun beberapa anak autis berespon terhadap stresor psikososial, seperti kelahiran seorang adik atau pindah ke rumah baru, dengan eksaserbasi gejala
 Gangguan dan gejala autis berhubungan dengan kondisi yang memiliki lesi neurologis, terutama rubella congenital, fenilketonuria/PKU, sklerosis tuberosus dan gangguan Rett
 Lebih banyak memiliki anomali fisik kongenital ringan dibandingkan saudaranya
 Kontrol normal menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dalam trimester pertama bermakna. 4 – 32 % orang autis memiliki kejang grand mal pada suatu saat dalam hidupnya. Kira-kira 20 – 25 % orang autis menunjukkan pembesaran ventrikular pada pemeriksaan tomografi komputer. 10
 83 % mempunyai kelainan EEG. Walaupun tidak ada kelainan EEG yang spesifik, terdapat indikasi kegagalan lateralisasi serebral
 Pemeriksaan MRI/Magnetic Resonance Imaging, menemukan hipoplasia pada lobulus vermal VI dan VII serebelar dan abnormalitas kortikal, terutama polimikrogria, pada beberapa pasien autis. Kelainan tersebut mungkin mencerminkan migrasi sel yang abnormal dalam enam bulan pertama gestasi
 Pemeriksaan otopsi menemukan penurunan sel purkinje
 Pemeriksaan PET (Positron Emmision Tomography), selama pemeriksaan ini ditemukan peningkatan metabolisme kortikal difus
 Gangguan perkembangan amigdala, hipocampus

2. Kelainan genetik
 Kemungkinan kejadian pada kembar monozigot 60%
 Mutasi pada kromosom no. 2, 7, 13, 15, 16, 17, dan kromosom X
 2 -4 persen sanak saudara orang autis menderita autis, 50 persen lebih besar dari populasi umum
 Pada anak kembar, kemungkinan terjadi autis lebih besar pada saudara yang satu apabila saudara kembarnya terkena
 Pada keluarga non-autistik, memiliki berbagai masalah bahasa atau kognitif lainnya tetapi dalam derajat yang kurang parah
3. Gangguan imunologis
 Inkompatibilitas imunologi antara ibu dan embrio atau janin dapat menyebabkan gangguan autistik
 Limfosit beberapa anak autistik bereaksi dengan antibody maternal, yang meningkatkan kemungkinan bahwa jaringan neural embrionik atau ekstraembrional mungkin mengalami kerusakan selama kehamilan
4. Faktor Perinatal
 Tingginya insidensi berbagai komplikasi perinatal, tetapi belum dinyatakan sebagai penyebab secara langsung
 Selama gestasi, perdarahan maternal setelah trimester pertama dan mekonium dalam cairan amnion sering ditemukan
 Dalam periode neonatus, ditemukan insidensi tinggi sindroma gawat pernafasan dan anemia neonatus
 Tingginya insidensi pemakaian medikasi selama kehamilan dari ibu
5. Faktor Neuroanatomi
 Lobus temporalis kemungkinan abnormal. Jika daerah temporalis binatang dirusak  perilaku sosial menghilang, kegelisahan, perilaku motorik berulang, dan kumpulan perilaku terbatas ditemukan
 Penurunan sel purkinye di serebelum  kemungkinan menyebabkan kelainan atensi, kesadaran dan proses sensorik.
6. Faktor Biokimiawi
 1/3 pasien mengalami peningkatan serotonin plasma, tedapat juga pada retardasi mental
 Insidensi tinggi hiperserotonemia
 Peningkatan homovanillic acid (HVA) suatu metabolit utama untuk dopamine, dalam cairan serebrospinalis disertai dengan peningkatan penarikan diri dan stereotipik
 Keparahan gejala menurun saat rasio 5-hydroxyindoleacetic acid [5-HIAA, metabolit serotonin] cairan serebrospinalis terhadap homovanillic acid cairan serebrospinalis meningkat. 5-HIAA cairan serebrospinalis mungkin berbanding terbalik dengan kadar serotonin darah, kadar tersebut meningkat pada sepertiga pasien autistik, juga terdapat pada retardasi mental


GEJALA KLINIS
a. Gangguan komunikasi; tampak tuli, gangguan bicara, biasanya menggunakan kata ganti yang salah, seperti “saya” diganti dengan “kamu”, terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti , echolalia; sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya
b. Gangguan sensoris: sensitive terhadap suara, rasa, sentuhan, kadang tidak merasakan sakit bila terluka
c. Gangguan psikososial: kontak mata yang minim bahkan tidak ada, menarik diri dari lingkungan social, tampak kurang empati dan simpati,
d. Gangguan pola bermain: tidak bermain dengan teman sebaya, tidak menggunakan mainan sesuai fungsinya, seperti hanya memutar-mutar roda sepeda (sepeda dalam keadaan terbalik)-tidak mengendarainya sesuai fungsinya, menyukai mainan yang tidak lazim seperti penjepit kertas, melakukan permainan yang sama dan monoton, kadang ada kelekatan pada benda tertentu.
e. Gangguan perilaku: hiper- atau hipo-aktif, tidal menyukai scenario/perubahan, seperti perubahan rencana liburan, suka menyakiti diri sendiri.
f. Gangguan emosi: tertawa atau menangis tanpa sebab, tidak mengungkapkan emosi secara tepat.
g. Tidak pernah menunjuk pada suatu benda walaupun ia tertarik, tetapi menunjuk menggunakan tangan orang lain
h. Stereotipi, yaitu gerakan, postur tubuh, atau ucapan yang dilakukan berulang-ulang dan berpola.

DIAGNOSIS
Secara detail, menurut DSM IV ( 1995), kriteria gangguan autistik adalah sebagai berikut
A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini :
a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.
b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini:
a. Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulang-ulang.
d. Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang.
Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini :
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan focus dan intensitas yang abnormal/ berlebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas.
c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.
d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari obyek.
B. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak


TERAPI
 Terapi harus intensif dan terpadu
 Secara formal sebaiknya 4 – 8 jam sehari
 Seluruh keluarga harus terlibat untuk memicu komunikasi dengan anak
 Kerjasama tim : psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik
 Autisme tidak dapat sembuh dengan sempurna, terapi hanya bersifat meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan perkembangan yang semula tidak dimiliki
Terapi-terapi tersebut antara lain :
1) Terapi Medikamentosa
Beberapa terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah :
 Haloperidol
Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya digunakan pada anak yang menampakkan perilaku temper tantrum yang tidak terkendali sertamempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanyadigunakan dalam dosis 0,20 mg
 Fenfluramin
Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme
 Naltrexone
Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogensehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan mengurangi hiperaktifitas.
 Clompramin
Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku ritual dan agresifitas, biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg
 Lithium
Merupakan obat yang dapat digunakan untukmengurangi perilaku agresif dan mencederai diri sendiri
 Ritalin
Untuk menekan hiperaktifitas
 Risperidon
Dengan dosis 2 x 0,1 mg telah dapat mengendalikan perilaku dan konvulsi.
2) Terapi Psikologis
 Intervensi difokuskan pada peningkatan kemampuan bahasa dan komunikasi, self help dan perilaku sosial serta mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki seperti melukai diri sendiri/self mutilation, temper tantrum dengan penekanan pada peningkatan fungsi individu dan bukan menyembuhkan dalam arti mengembalikan anak autis ke posisi normal
 Bisa dengan pemberian mainan bervariasi dengan tujuan mengurangi kekakuan
 Memberikan stimulasi spesifik dan latihan untuk mengkompensasikan keterlanbatan perkembangan secara menyeluruh
 Mencegah timbulnya gangguan sekunder
 Cara-cara tersebut hanya dapat dilakukan pada anak autis dengan lingkungan yang terstruktur dan teratur dengan baik. Anak autis memiliki pola berpikir yang berbeda, mereka mengalami kesulitan untuk memahami lingkungannya  sehingga harus diciptakan lingkungan terstruktur, antara lain dengan :
 Keteraturan waktu dan tempat
 Memberi stimulasi dan pelatihan melalui berbagai aspek yang sesuai dengan minat yang dimiliki masing-masing anak
 Pengajaran bertahap dan menggunakan alat peraga
 Dilakukan secara individual/khusus
 Pemberian pengertian kepada orang tua tentang kondisi dan bersikap menerima serta dilatih untuk dapat melakukan terapi sendiri terhadap anak mereka

3) Terapi Wicara
Melalui pendekatan behaviouris-model operant conditioning  pelatihan dengan proses pemberian reinforcement dan meniru vokalisasi terapis
4) Fisioterapi
Pemberian terapi ini berfungsi merangsang perkembangan motorik dan kontrol tubuh

5) Alternatif Terapi Lainnya
a. Musik : menyanyi, menari mengikuti irama dan memainkan alat musik. Berguna untuk mengekspresikan diri
b. Son Rise Program : program ini didasarkan pada sikap menerima dan mencintai tanpa syarat pada anak autis. Latihan dan stimulasi yang intensif dapat menghasilkan perkembangan pada anak tanpa adanya tanda-tanda autis
c. Program Fasilitas Komunikasi : merupakan metode penyediaan dukungan fisik, misalnya papan alphabet, papan gambar, mesin ketik atau komputer
d. Terapi Vitamin : pemberian vitamin B6 dalam dosis tinggi yang dikombiasikan dengan magnesium, mineral dan vitamin lainnya
e. Diet Khusus/Dietary Intervention : disesuaikan dengan cerebral allergies yang diderita pada penyandang autis.

PROGNOSIS
Gangguan autistik memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan prognosis yang terbatas. Prognosis terbaik adalah, anak-anak autistik dengan IQ di atas 70 dan mereka yang menggunakan bahasa komunikatif pada usia 5 sampai 7 tahun.
Hanya 1 atau 2 persen yang mencapai status normal dan mandiri dengan pekerjaan yang mencukupi, 5 samapi 10 persen mencapai status normal ambang. Prognosis membaik jika lingkungan atau rumah adalah suportif dan mampu memenuhi kebutuhan anak tersebut yang sangat banyak.

Beberapa terapi lain yang dapat digunakan :
1. Edukasi : memberi pendidikan kognitif secara sederhana dan praktis
2. Okupasi : dengan cara melatih gerakan-gerakan motorik otot, misalnya membuka baju
3. Bicara : pemberian stimulus tertentu agar mendorong anak untuk berbicara
4. Obat-obatan : memberi obat untuk menurunkan hiperaktivitas, stereotipik, menarik diri, kegelisahan, afek yang labil, misalnya obat penenang
5. Makan : pemberian gizi yang cukup agar perkembangan sel tubuh tidak terganggu

ADHD

DEFINISI
Gangguan yang ditandai oleh rentang perhatian yang buruk yang buruk yang tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri hiperaktivitas yang impulsivitas atau keduanya tidak sesua dengan usia
Tiga tipe gangguan defidit atensi dan hiperaktivitas:
• Predominan inatentif
• Predominan hiperaktif-impulsif
• Tipe kombinasi
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian pasat di indonesia belum diketahui, sedangkan di amerika insidensi bervariasi dari 2 sampai 20 % anak-anak sekolah dasar. Di inggris dilaporkan angka kejadiannya lebih rendah dari di amerika yaitu kurang dari 1%. Anak laki-laki memiliki insidensi yang lebh tinggi dibandingkan denan anak perempuan, dengan rasio 3-5: 1.
ETIOLOGI
• Tidak diketahui
• Faktor penyumbang: paparan toksin pranatal, prematuritas, kerusakan mekanis pranatal pada sistem saraf janin
• Riwayat keluarga
• Cedera otak
• Faktor neurokimia: kelainan neurotransmitter
• Faktor neurologis: gangguan pertumbuhan otak
• Faktor psikososial
GEJALA KLINIS
Gejala dapat timbul saat masih bayi, gejala yang kemugkinan dapat timbul berupa, peka terhadap stimuli dan mudah marah dengan suara, cahaya, temperatur, dan perubahan lingkungan lainnya. Dan kadang yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu anak tenang dan lemah, banyak tidur, daan tampaknya berkembang lambat pada bulan-bulan pertama khidupan. Namun yang paling sering trjadi adalah sikap aktif bayi di tempat tidurnya.
Karakteridtik Anak-anak dengan ADHD:
• Hiperaktivitas
• Gangguan motorik perseptual
• Labilitas emosi
• Defisit koordinasi menyeluruh
• Gangguan atensi
• Impulsivitas
• Gangguan daya ingat dan pikiran
• Ketidakmampuan belajar spesifik
• Gangguan bicar dan pendengaran
• Tanda neurologis dan irregularitasa EEG

Kriteria diagnostik
• Sekurangnya 6bln menyebabkan gangguan dalam fungsi akademik atau sosial dan terjai sebelum usia 7tahun
• Gejala pada dua atau lebih lingkungan
• Onset paling banyak pada usia 3 tahun,
• Dan diagnosis tidak dibuat sebelum anak dalam sekolah dasar dan situasi belajar yang tertruktur
Salah satu (1) atau (2) :
(1) inatensi: enam (atau lebih) gejala berikut:
• sering gagal mebrikan prhatian terhadap perincian atau melakukan kesalahan yang tidak berhati-hati dalam tugas sekolah, pekerjaan, atau aktvitas lain.
• Sulit mempertahankan atensi terhadap tugas atau permainan
• Sering tampak tidak mendengarkan jika berhadapan langsung
• Sering tidakmengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah,pekerjaan,atau kewajiban lainnya.
• Sering kesulitn menyusun tugas dan aktivitas.
• Serng menghindari, membenci, atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang memerlukan usaha mentalyang lama
• Sering menghindari hal-hal yang perlu untuk tugas atau aktivitas
• Perhatiannya mudah dialihaklan
• Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari

(2) hiperaktivitas: enam (atau lebih) gejala berikut:
• seting gelisah dengan tangn dan kaki atau menggeliat-geliat di tempay duduk
• sering meninggalkan tempat duduk di kelas atu situasilain
• sering berlari, atau memanjat berlebihan dalam situasi yang tidak tepat
• sering mengalami kesuliotan bermain atau terlibat dalam aktivitas ektuluang secara tenang
• sering berbicara berlebihan
(3) impulsivitas
• sering menjawab tanpa berpikir terhdap pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
• sering sulit menunggu giliran
• sering memutus atau mengganggu oreng lain
TERAPI
Farmakoterapi
• Stimulan sitem saraf pusat: dextroamphtamine, methylphenidate dan pemoline. Mekanisame kerja tepat belum diketahui
• Antidepresan : imipramine, desipramine, nortriptyline.
Psikoterapi
• Diberi kesempatan untuk menggali arti medikasi
• Mengerti bahwa mereka tidak harus selalu sempurna
• Dibantu untuk menyususn lingkungannya
• Peran orangtua, guru, dan orang terdekat dilingkungannya

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit ADHD agak bervariasi. Gejala dapat menetap sampai masa rmaja atau kehidupan dewasa, gjala dapat menghilang pada pubrtas, atau hiperaktivitas mungkin menghilang, namun penurunan rentang atensi dan masalah pengendalian impuls mungkin menetap.

Skizofrenia

Definisi
Skizofrenia adalah gangguan psikosa yang ditandai oleh split/disorganisasi personality mengalami disharmoni psikologis secara menyeluruh, pendangkalan/kemiskinan emosi, proses berpikir yang memburuk, menghilangnya kesadaran sosial, adanya delusi, halusinasi, sikap/perilaku yang aneh, dan emosi yang inkoheren
Epidemiologi
Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan perjalanan penyakit. Onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki dibandingkan wanita.
Gangguan kepribadian Skizofrenia ini bisa terjadi pada hampir setiap tingkat usia:
 Modus pada : 30 - 35 tahun
 10% pada : 20 tahun
 65% pada : 20 - 40 tahun
 25% pada : di atas 40 tahun.
Beberapa laporan mengatakan skizofrenia lebih banyak dijumpai pada orang orang yang tidak menikah tetapi penelitian tidak dapat membuktikan bahwa menikah memberikan proteksi terhadap Skizofrenia.
Etiologi
Model diatesis -stress Menurut teori ini skizofrenia timbul akibat faktor psikososial dan lingkungan. Model ini berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kerentanan (diatesis) jika dikenai stresor akan lebih mudah menjadi skizofrenia.
 Faktor Biologi
 Komplikasi kelahiran
Bayi laki laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.
 Infeksi
Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia.
 Hipotesis Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan.1° Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminergik.
 Hipotesis Serotonin
Gaddum, wooley dan show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis reseptor 5-HT. Temyata zat ini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal. Kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia kembali mengemuka karena penetitian obat antipsikotik atipikal clozapine yang temyata mempunyai afinitas terhadap reseptor serotonin 5-HT~ lebih tinggi dibandingkan reseptord opamin D2.
 Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia basalis. Otak pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel teilihat melebar, penurunan massa abu abu dan beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolik. Pemenksaaninikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distnbusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.
 Genetika
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12%.
Gambaran klinis
Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual dimana gejala gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif / psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase diatas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial)
Tipe-tipe skizofrenia
Skizofrenia biasanya dibagi menjadi 4 tipe, yaitu : simplex, hebephren, katatonik, dan paranoid. Dalam hal ini masih terdapat permasalahan, yaitu apakah tipologi tersebut sifatnya kaku. Sebab, pada kenyataannya seringkali simptomnya berubah atau berpindah dari sati tipe ke tipe lainnya, misalnya mula-mula hebephren kemudian menjadi kataton, dan seterusnya.

a. Tipe simplex (dementia simplex)
Simptom utamanya adalah apati, yaitu seolah tidak memiliki kepentingan untuk diri sendiri. Bahkan, sering harus diberikan pengertian tentang hal-hal yang menjadi kebutuhannya. Penderita biasanya berkeinginan untuk berbaring, malas-malasan, jorok, tidur-tiduran, jarang mandi, motorik lamban, dan jarang berbicara. Sering berperilaku yang amoral, misalnya memaki-maki orang yang sedang lewat, memainkan alat kelaminnya.
Individu pada waktu normal adalah anak yang baik, dimana prestasinya cukup baik, perilakunya menyenangkan. Hal tersebut terjadi karena individu tidak mempunyai cukup energi untuk menentang orang lain atau orang tua sehingga hanya bisa menurut. Energi lemahnya tersebut ditampilkan dalam bentuk apatis (kelesuan).
Individu tidak memiliki ambisi untuk mendapatkan pemuasan (tidak mau apa-apa), yang apabila dipaksakan untuk melakukan sesuatu seringkali muncul reaksi agresi (marah), dan apabila hal tersebut semakin dipaksakan maka biasanya individu akan jatuh sakit.
b. Tipe hebephren
Pada tipe ini terjadi disintegrasi emosi, dimana emosinya bersifat kekanak-kanakan, ketolol-tololan, seringkali tertawa sendiri kemudian secara tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Terjadi regresi total, dimana individu menjadi kekanak-kanakan. Individu mudah tersinggung atau sangat irritable. Seringkali dihinggapi sarkasme (sindiran tajam) dan menjadi marah meledak-ledak atau explosive tanpa sebab.
Pembicaraannya kacau, suka berbicara berjam-jam. Pada awal gangguan seringkali komunikatif, tetapi lama-kelamaan komunikasinya menjadi tidak karuan (inkoheren), yang bahkan sampai akhirnya individu tidak komunikatif.
Terjadi halusinasi dan delusi yang biasanya sifatnya fantastis, misalnya : ada vampire yang menyedot darahnya, dan sebagainya.
Cara berpikirnya kacau. Hal tersebut terlihat dari cara berbicaranya yang tidak karuan.
Tulisan/Graphis yang dibuatnya bersifat kacau, dimana terjadi regresi, yaitu bersifat kekanak-kanakan.
c. Tipe katatonik
Dibandingkan dengan tipe jenis skizofrenia lainnya, tipe catatonic ini serangannya berlangsung jauh lebih cepat.
Aktivitasnya jauh berkurang dibandingkan waktu normal. Pada individu terjadi stufor, dimana individu diam, tidak mau berkomunikasi, kalau berbicara suaranya monoton, ekspresi mukanya datar, makan dan berpakaian harus dibantu dan sikap badannya aneh yaitu biasanya tegang/kaku seperti serdadu dan biasanya dipertahankan untuk waktu yang lama. Catatonic stufor ini terdapat dua bentuk, yaitu (1) rigid, dimana badan menjadi sangat kaku, bisa seperti bentangan di antara dua benda, (2) chorea-fleksibility, dimana badannya menjadi lentur seperti lilin dan posisinya dapat dibentuk.
Penderita skizofrenia catatonic yang parah biasanya ditempat tidur, tidak mau berbicara, jorok, makan-minum dipaksa, dan apabila mata terbuka biasanya akan terpaku pada satu titik, tidak berkedip, dan ekspresi kosong.
Perkembangan selanjutnya yaitu setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, terjadi catatonic excitement dimana penderita menunjukkan suatu gerakan tertentu dalam waktu yang lama dan kemudian secara ekstrem berubah sebaliknya. Misalnya, berbaring menghadap tembok kiri dalam waktu yang lama dan kemudian menghadap tembok kanan.
Penderita bersikap negatif (negatifistic), dimana penderita tidak ada interest sama sekali terhadap sekelilingnya, tanpa kontak sosial, dan membisu dalam waktu yang lama.
d. Skizofrenia paranoid
Simptom utamanya adalah adanya delusi persecusion dan grandeur, dimana individu merasa dikejar-kejar. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu ditanggapi secara sensitif dan egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat buruk kepadanya. Oleh karena itu, sikapnya terhadap orang lain agresif.
Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran, misalnya terlihat wajah-wajah yang menakutkan, terdengar suara mengancam, dan sebagainya sehingga timbul reaksi menyerang atau agresi karena terganggu. Hal-hal tersebut juga bisa mendorong penderita untuk membunuh orang lain atau sebaliknya bunuh diri, sebagai usahanya untuk menghindari delusi persecusion
Terdapat kecenderungan homoseksualitas, dimana penderita laki-laki akan mengancam laki-laki dan penderita perempuan akan mengancam perempuan.
Adanya delusion of grendeur dapat menimbulkan delusion of persecusion, dimana individu menganggap orang lain cemburu kepada kepintarannya, kekayaannya, kepopulerannya, kecantikannya, kedudukan sosialnya, dan sebagainya.
Pada penderita timbul "Ideas of Reference", yaitu terjadi percampuran antara waham dan halusinasi dengan kecenderungan untuk memberikan impresi/nuansa pribadi terhadap segala kejadian yang dialaminya. Misalnya, suara klakson mobil di jalan depan rumah, dianggapnya sebagai terompet tanda penyerbuan terhadap dirinya segera akan dimulai.
Diagnosa
Menurut PPDGJ, skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental pada karakteristik pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciouness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian
Pedoman Diagnostik PPDGJ-lll
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting” = isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;

c. Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
d. Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Tatalaksana
 Psikofarmaka
 Pemilihan obat Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder ( efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual / peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguaniniksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon.
 Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
- Onset efek primer (efek klinis) : 2-4ininggu
- Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
- Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hr)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
- Obat antipsikosis long acting : fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk pasien yang tidak/sulitininum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
 Cara / Lama pemberian Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hr sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2ininggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12ininggu. (stabilisasi). Diturunkan setiap 2ininggu (dosis maintenance) lalu dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun ( diselingi drug holiday 1-2/hari/minggu) setelah itu tapering off (dosis diturunkan 2-4ininggu) lalu stop.
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multiepisode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian anticholmnergic agent seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM, tablet trhexyphenidyl 3x2 mg/hari.
 Terapi bedah
Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita skizofrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahin 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
 Psikoterapi
 Terapi psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya. Hal
yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita.
Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah asosiasi bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran.
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya.
 Terapi perilaku
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terapist mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu.
Prognosis
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk.

Nyeri Kepala tipe Tegang (Tension-type headache)

• definisi
Merupakan nyeri kepala tersering diantara variasi nyeri kepala dan biasanya bilateral. Nyeri kepala ini merupakan nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berulang dan berlangsung dari menit sampai hari, dengan sifat nyeri berupa rasa tertekan atau diikat. Nyeri kepala ini adalah manifestasi dari reaksi tubuh terhadap stress, kecemasan, depresi, konflik emosional, kelelahan, dll.
• Epidemiologi
- Nyeri kepala ini biasanya dimulai pada usia 20-40 tahun
- Kejadiannya dominan pada wanita dan dapat pula terjadi pada segala usia.
• Etiologi – Patofisiologi
Dari beberapa sumber, dikatakan bahwa salah satu respon tubuh terhadap keadaan stress dan kecemasan yang menyebabkan nyeri kepala tipe tegang adalah adanya reflex pelebaran pembuluh darah ekstrakranial serta kontraksi otot-otot rangka, kepala, leher, dan wajah. Namun, mekanisme ini juga belum begitu jelas. Sedangkan pada sumber lain dikatakan bahwa kebanyakan pasien dengan nyeri kepala tipe-tegang saat ini ditemukan bahwa otot-otot craniocervicalnya cukup relaks dan tidak menunjukkan adanya kontraksi persisten saat diukur dengan elektromiografi. Namun, Sakai et al melaporkan bahwa pada pasien nyeri kepala tipe tegang ditemukan kontraksi pada otot pericranial dan otot trapezius.
Akhir-akhir ini, nitrit oksida dimasukkan dalam kejadian nyeri kepala tipe tegang, secara spesifik membuat sentrilisasi sentral pada stimulasi sensoris dari struktur cranial. Hipotesis lain yang baru juga mengatakan bahwa adanya keabnormalan sensitivitas terhadap nyeri pada trigeminal nuclear complex. Kompleks ini, berperan dalam menerima input dari struktur lain dalam otak, termasuk system limbik.
• Manifestasi Klinis
- Rasa kencang di daerah bitemporal, bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala, rasa berat, dan tertekan. Nyeri kepala tidak berdenyut.
- Nyeri kepala dapat menjalar sampai leher atau bahu.
- Dapat bersifat episodic (bila serangan selama <15 hari per bulan), atau kronik (bila serangan >15 hari per bulan).
- Durasi serangan dapat berlangsung selama 30 menit hingga beberapa hari.
- Tingkat keparahannya ringan – sedang dan tidak memberat dengan aktivitas fisik.
- Tidak berhubungan dengan adanya nausea, fotofobia, atau fonofobia, dan biasanya tidak menghentikan pasien dalam aktivitas hariannya.
• Evaluasi Diagnostik
Anamnesis dengan riwayat penyakit sangat penting karena tidak ditemukan adanya abnormalitas pada pemeriksaan neurologis dan ancillary test.
• Terapi
Terapi lini pertama adalah pengaturan ulang gaya hidup  penghilangan substansi yang menyebabkan nyeri kepala seperti alcohol dan nikotin, melakukan latihan fisik yang rutin, tidur cukup, mengurangi stress, dan jika diperlukan, perubahan lain pada situasi dan modehidup pasien.
- Jika dibutuhkan medikasi, agen pilihannya adalah antidepresan trisiklik, diikuti dengan beta bloker atau tizanidin. Nyeri kepala tipe tegang berespon baik terhadap beberapa obat yang menghilangkan ansietas atau depresi, terutama apabila ditemukan gejala ansietas dan depresi.
- Analgesic seperti aspirin dan asetaminofen atau NSAID lainnya dapat membantu, namun hanya pada periode yang singkat.

Penyakit Alzheimer / Alzheimer's Disease

Definisi
Penyakit Alzheimer adalah penyakit pada syaraf yang sifatnya irreversible akibat penyakit ini berupa kerusakan ingatan, penilaian, pengambilan keputusan, orientasi fisik secara keselurahan dan pada cara berbicara.
Epidemiologi
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset.
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.

Patogenesa
Sejumlah teori untuk pathogenesis Alzheimer yaitu :
1. Faktor genetik
Mutasi missense yang mengubah asam amino tunggal dan oleh karena itu dikenal adanya tiga jenis gen dalam satu jalur kekerabatan tertentu memiliki potensi sebagai pencetus timbulnya Alzheimer. Kajian mengenai hubungan kekerabatan dan DNA sequencing menunjukkan bahwa mutasi yang bertanggung jawab atas pewarisan Alzheimer adalah penyandian prekursor protein β-amyloid pada kromosom 21 dan dua gen yang satu sama lainnya mirip yaitu presenilin 1 (PSEN1) pada kromosom 14 dan presenelin 2 (PSEN2) pada kromosom 1. Mutasi pada PSEN1 lebih banyak dibandingkan dengan mutasi di PSEN2. Sebagai contoh penelitian pada sebuah keluarga di Perancis, separuh dari keluarga yang menderita Alzheimer karena faktor keturunan disebabkan oleh mutasi pada PSEN 1, 16% oleh mutasi pada prekursor protein β-amyloid (βAPP). Mutasi pada PSEN 2 tidak ditemukan dan sisanya 30% merupakan faktor genetik atau dalam beberapa kasus tidak diketahui.
Mutasi pada PSEN dan βAPP ditemukan pada pasien Alzheimer yang disebabkan oleh keturunan menunjukkan adanya peningkatan produksi Aβ42. Aβ42 merupakan bahan neurotoksik penyebab Alzheimer secara patogen. Dalam bentuk penyakit Alzheimer, mutasi terjadi pada βAPP atau PSEN dapat mengganti fragmen pada situs γ-sekretase dan secara khusus meningkatkan produksi toksin peptida Aβ42 yang lebih pendek, peptida Aβ40 yang kurang toksik. Presenilin 1 sebenarnya adalah γ-sekretase itu sendiri atau kofaktor pada aktifitas γ-sekretase. Peptida toksik meningkat dalam serum penderita dengan berbagai mutasi pada βAPP, PESN1 dan PSEN2 menyababkan timbulnya potensi Alzheimer. Kultur transfeksi sel yang dapat menunjukkan aktifitas normal βAPP menghasilkan toksik peptida Aβ42 mendekati 10%. Ekspresi dari berbagai mutan βAPP atau gen PSEN 1 berhubungan dengan potensi timbunya Alzheimer yang hasilnya dapat berupa meningkatnya produksi Aβ42 yang nilainya lebih dari 10%. Identifikasi mutasi βAPP dan PSEN pada potensi Alzheimer tidak hanya disarankan untuk menelaah pada mekanisme yang umum saja, akan tetapi juga pada faktor gen yang memungkinkan timbulnya gangguan (sebagai contoh meningkat atau menurunnya bersihan Aβ42 dan pembentukan agregat protein berupa amyloid plaque) tapi juga dapat juga disebabkan oleh sifat Aβ42 dan PSEN secara patogenetik.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmitter
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer
b. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.
Gejala klinik
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahan-lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:
 Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
 Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired
 Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions
 Language : poor woordlist generation, anomia
 Personality : indifference,occasional irritability
 Psychiatry feature : sadness, or delution in some
 Motor system : normal
 EEG : normal
 CT/MRI : normal
 PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
 Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
 Memory : recent and remote recall more severely impaired
 Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
 Language : fluent aphasia
 Calculation : acalculation
 Personality : indifference, irritability
 Psychiatry feature : delution in some
 Motor system : restlessness, pacing
 EEG : slow background rhythm
 CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
 Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
 Intelectual function : severely deteriorated
 Motor system : limb rigidity and flexion poeture
 Sphincter control : urinary and fecal
 EEG : diffusely slow
 CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Kriteria diagnosa
Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosa klinis penyakit alzheimer yaitu:
1. Kriteria diagnosis tersangka penyakit alzheimer terdiri dari :
 Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik
 Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi > 2
 Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
 Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering > 65 tahun
 Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
2. Diagnosis tersangka penyakit alzheimer ditunjang oleh:
 Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa, ketrampilan motorik, dan persepsi
 ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
 Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan neuropatologi
 Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan non spesifik seperti peningkatan aktivitas gelombang lambat
 Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri
3. Gambaran lain tersangka diagnosa penyakit alzheimer setelah dikeluarkan penyebab demensia lainnya terdiri dari:
 Gejala yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinentia, delusi, halusinasi, emosi, kelainan seksual, berat badan menurun
 Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit pada stadium lanjut dan termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan tonus otot, mioklonus atau gangguan berjalan
 Terdapat bangkitan pada stadium lanjut
4. Gambaran diagnosa tersangka penyakit alzheimer yang tidak jelas terdiri dari:
 Awitan mendadak
 Ditemukan gejala neurologik fokal seperti hemiparese, hipestesia, defisit lapang pandang dan gangguan koordinasi
 Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
5. Diagnosa klinik kemungkinan penyakit alzheimer adalah:
 Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologik lain, gejala psikiatri atau kelainan sistemik yang menyebabkan demensia
 Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan demensia, defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi tidak ada penyebab lainnya
6. Kriteria diagnosa pasti penyakit alzheimer adalah gabungan dari kriteria klinik tersangka penyakit alzheimer dan didapatkan gambaran histopatologi dari biopsi atau otopsi.
Pemeriksaan penunjang
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937)
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik.
Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis.
Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena :
a. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab.

The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control

3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik.
5. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi
6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.
Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin.
Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
4. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.
5. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari).
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokondria dengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.






DAFTAR PUSTAKA
 McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Report of the NINCDS-ADRDA Work group neurology, Neurology 1984.
 Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1st ed. New York: Churchill, 1995.
 Thomson and McDonald. Alzheimer disease, in diseaseof nervous system clinical neurobiology. Vol.II. Philadelphia : WB Sounders, 1992:795-801
 Katzman RMD. Principle of geriatric neurology. Philadelphia : FA Davis, 1992.
 Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 1997.

Sabtu, 11 Desember 2010

Situs Indoleaks, Wikileaks Versi Indonesia atau Hanya Iseng?

Situs (blog) Indoleaks yang berlamat di www.indoleaks.org yang diluncurkan pada 10 Desember 2010 langsung menyita perhatian, tidak lain dan tidak bukan karena kesamaan isu yang diangkat dengan WikiLeaks, situs pembongkar dokumen rahasia Amerika Serikat yang kini sedang dikeroyok untuk dienyahkan. Ya, setali tiga uang, situs Indoleaks bahkan lebih tragis nasibnya, belum genap satu hari masih pada tanggal 1o Desember 2010 setelah situs ini diberitakan sejumlah media, situs ini langsung tidak bisa diakses, entah karena diblokir oleh pihak tertentu, ditendang oleh hosternya, kehabisan bandwitch karena banyaknya pengunjung yang penasaran atau memang dimatikan oleh si pembuatnya sendiri.
Saya sendiri belum sempat melihat langsung situs Indoleaks.Org ini karena ketika saya akses tadi sore hingga malam ini ketika saya posting artyikel ini, situs Indoleaks.org sudah tidak bisa diakses isinya, kini oleh si pemiliknya tampaknya situs indoleaks.org ini menggunakan hosting gratisan di blogger.com alias custom domain Blogger – Awalnya Indoleaks.org ini menggunakan layanan hosting disalah satu hosting di Indonesia. Adapun  untuk domainnya, dilihat data whois, domain Indoleaks.org terdaftar sejak tanggal 7 Desember 2010 hingga 7 Desember 2011/
dikutip dari : goyang karawang

Irfan Bachdim The rising star

Irfan Bachdim – Ingin mengetahui secara lengkap Foto dan Profil Irfan Bachdim terbaru, bisa membaca pada review singkat tentang Irfan Bachdim dari sahabat sejati. Irfan Bachdim (pria kelahiran Amsterdam, pada tanggal 11 Agustus 1988; umur 22 tahun) merupakan seorang pemain sepak bola Indonesia keturunan Belanda lo, Irfan adalah pemain hasil naturalisasi yg telah dilakukan oleh PSSI bersama dengan Christian Gonzalez agar dapat memperkuat Tim Nasional Indonesia. Saat ini Irfan Bachdim masih memperkuat Persema Malang di Liga Super Indonesia. Irfan Bachdim direkrut Coach Persema Timo Scheunemann bersama Kim Jefri Kurniawan.

Coach Persema Malang itu tertarik ketika Irfan dan pemain muda berbakat Indonesia lainnya bermain di laga amal untuk tokoh sepakbola Lucky Acub Zaenal di Stadion Gajayana, Malang. Irfan sempat hampir membela tim sepak bola U-23 Indonesia di Asian Games 2006 – Qatar. Sayang Irfan Bachdim harus absen dari turnamen tersebut disebabkan menderita cedera. Pada Bulan Juli 2009 Irfan Bachdim ditransfer tanpa biaya ke klub HFC Haarlem. Dalam bermain Irfan Bachdim bisa menempati berbagai posisi, Irfan Bachdim dapat menempati posisi striker, gelandang maupun sayap.
Irfan mengikuti jejak ayahnya, Noval Bachdim yg sebagai pemain Persema Malang di era 80-an. Keluarga besar dari ayahnya kini masih tinggal di Lawang, Kabupaten Malang. Irfan saat ini tergabung dalam Tim Nasional Indonesia asuhan Alfred Riedl untuk Piala AFF 2010. Debut pertama bersama Tim Nasional Indonesia Irfan Bachdim awali ketika Tim Nasional menang 6-0 di laga persahabatan melawan Timor Leste, di Palembang pada 21 November 2010. Penampilan pertamanya bersama Tim Nasional dalam turnamen resmi terjadi pada 1 Desember 2010, saat Indonesia mengalahkan Malaysia 5-1 di Gelora Bung Karno pada ajang AFF 2010. Irfan sendiri mencetak 1 gol dalam pertandingan tersebut.

Selasa, 30 November 2010

Patofisiologi Epilepsi

A. DEFINISI
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron
otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
B. ETIOLOGI
1. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak
2. Factor herediter,ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis, angiomatosis
ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Factor genetic; pada kejang demem dan breath holding spells
4. Kelainan congenital otak; atropi, porensefali, agenesis korpus kalosum
5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia
6. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
7. selaputnya,toxoplasmosis
8. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
9. Neoplasma otak dan selaputnya
10. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
11. Keracunan; timbale (Pb), kapur barus, fenotiazin,air
12. Lain-lain; penyakit darah,gangguan keseimbangan hormone,degenerasi
serebral,dan
13. lain-lain.
(Anonim, 2008)
C. PATOFISIOLOGI
1. Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia
3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan
aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal
dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu
antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks
serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat
perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit
abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga
menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik
pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3 Patofisiologi epilepsi yang lain adalah
disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang
mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure
plus, benign familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Kanal Gen Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B, Generalized epilepsies with
SCN2A, GABRG2 febrile seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, CACNB4 Episodic ataxia tipe 2
CACNA1H Childhood absence epilepsy
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal
seizure on awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal
lobe epilepsi
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium
(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas
depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar 1A). Jika terjadi
mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile
seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks
tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang sama
terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium
sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel
neuron (gambar 1C)
 
 2. Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi
lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus
terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan
normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula
dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer
molecular) (gambar 2). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas
hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks
entorhinal,

 
 Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan
molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini
menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit
sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di
gyrus dentatus berkurang (yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori),
sehingga terjadi hipereksitabilitas (gambar 3).
Gambar

 
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di
hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah
proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada
akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain
adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal,
reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan
menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy
lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus
berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya
menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan
adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak
maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor
dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada
plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati
sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.
3. Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak.
Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa
menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.1 Dari sudut pandang biologi
molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi
neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan
pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6 Keterlibatan reseptor NMDA
subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang
dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi.7 Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya
beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada
ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate
(kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata
ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.9
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ionion
yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya
ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame
neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan
listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan
dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa
neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai
inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
(Fitri Octaviana, 2008)
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Epilepsi Umum
a. Major
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik.
Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak
pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejangkejang.
Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat
berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar
suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri
dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian
penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh,
lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras
sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian
disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membantingbanting
tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain
kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks
cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan
penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4—5 menit kemudian penderita
bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan
dapat setiap jam sampai setahun sekali.
b. Minor :
Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak
sebelum pubertas (4 -- 5tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang
berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat
dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah sadar
biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung
beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan
menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat
diramalkan berdasarkan 4 ciri : Timbul pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf kecerdasan
yang normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah
ditanggulangi hanya dengan satu macam obat, Pola EEG khas berupa gelombang runcing
dan lambat dengan frekuensi 3 per detik. Bangkitan mioklonus Bangkitan berupa gerakan
involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi berulang-ulang.
Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan
kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. Bangkitan
akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian
dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik)
dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut. Spasme infantil.
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada
bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum
diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses
degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan
dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke
atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis
dan berkeringat. Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.
Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan
hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche
2. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).
a. Bangkitan sensorik
Bangkitan sensorik adalah bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di
gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas
listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai
korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
b.Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya
terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar,
penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan.
Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis
ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan
motorik la-zimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:
Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam
pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi
yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai
beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
(Anonim, 2008)
Klasifikasi Epilepsi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe
bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi
yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan
epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.1
Tabel 1. Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981)1
I Bangkitan Parsial
A. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
3. kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
II. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. Bangkitan lena
B. Bangkitan mioklonik
C. Bangkitan tonik
D. Bangkitan atonik
E. Bangkitan klonik
F. Bangkitan tonik-klonik
III. Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan
Tabel 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma1
A. Localization-related (focal, partial) epilepsies
● Idiopatik
 Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
 Childhood epilepsy with occipital paroxysm
● Symptomatic
 Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi yang
diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan, EEG interiktal
dan iktal, gambaran neuroimejing
 Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari
lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak
diketahui
 Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
B. Epilepsi Umum
► Idiopatik
 Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
 Benign myoclonic epilepsy in infancy
 Childhood absence epilepsy
 Juvenile absence epilepsy
 Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
 Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
 Other generalized idiopathic epilepsies
► Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
 West’s syndrome (infantile spasms)
 Lennox gastaut syndrome
 Epilepsy with myoclonic astatic seizures
 Epilepsy with myoclonic absences
► Simtomatik
 Etiologi non spesifik
 Early myoclonic encephalopathy
 Specific disease states presenting with seizures