Pages

Senin, 20 Desember 2010

Penyakit Alzheimer / Alzheimer's Disease

Definisi
Penyakit Alzheimer adalah penyakit pada syaraf yang sifatnya irreversible akibat penyakit ini berupa kerusakan ingatan, penilaian, pengambilan keputusan, orientasi fisik secara keselurahan dan pada cara berbicara.
Epidemiologi
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset.
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.

Patogenesa
Sejumlah teori untuk pathogenesis Alzheimer yaitu :
1. Faktor genetik
Mutasi missense yang mengubah asam amino tunggal dan oleh karena itu dikenal adanya tiga jenis gen dalam satu jalur kekerabatan tertentu memiliki potensi sebagai pencetus timbulnya Alzheimer. Kajian mengenai hubungan kekerabatan dan DNA sequencing menunjukkan bahwa mutasi yang bertanggung jawab atas pewarisan Alzheimer adalah penyandian prekursor protein β-amyloid pada kromosom 21 dan dua gen yang satu sama lainnya mirip yaitu presenilin 1 (PSEN1) pada kromosom 14 dan presenelin 2 (PSEN2) pada kromosom 1. Mutasi pada PSEN1 lebih banyak dibandingkan dengan mutasi di PSEN2. Sebagai contoh penelitian pada sebuah keluarga di Perancis, separuh dari keluarga yang menderita Alzheimer karena faktor keturunan disebabkan oleh mutasi pada PSEN 1, 16% oleh mutasi pada prekursor protein β-amyloid (βAPP). Mutasi pada PSEN 2 tidak ditemukan dan sisanya 30% merupakan faktor genetik atau dalam beberapa kasus tidak diketahui.
Mutasi pada PSEN dan βAPP ditemukan pada pasien Alzheimer yang disebabkan oleh keturunan menunjukkan adanya peningkatan produksi Aβ42. Aβ42 merupakan bahan neurotoksik penyebab Alzheimer secara patogen. Dalam bentuk penyakit Alzheimer, mutasi terjadi pada βAPP atau PSEN dapat mengganti fragmen pada situs γ-sekretase dan secara khusus meningkatkan produksi toksin peptida Aβ42 yang lebih pendek, peptida Aβ40 yang kurang toksik. Presenilin 1 sebenarnya adalah γ-sekretase itu sendiri atau kofaktor pada aktifitas γ-sekretase. Peptida toksik meningkat dalam serum penderita dengan berbagai mutasi pada βAPP, PESN1 dan PSEN2 menyababkan timbulnya potensi Alzheimer. Kultur transfeksi sel yang dapat menunjukkan aktifitas normal βAPP menghasilkan toksik peptida Aβ42 mendekati 10%. Ekspresi dari berbagai mutan βAPP atau gen PSEN 1 berhubungan dengan potensi timbunya Alzheimer yang hasilnya dapat berupa meningkatnya produksi Aβ42 yang nilainya lebih dari 10%. Identifikasi mutasi βAPP dan PSEN pada potensi Alzheimer tidak hanya disarankan untuk menelaah pada mekanisme yang umum saja, akan tetapi juga pada faktor gen yang memungkinkan timbulnya gangguan (sebagai contoh meningkat atau menurunnya bersihan Aβ42 dan pembentukan agregat protein berupa amyloid plaque) tapi juga dapat juga disebabkan oleh sifat Aβ42 dan PSEN secara patogenetik.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmitter
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer
b. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.
Gejala klinik
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahan-lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:
 Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
 Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired
 Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions
 Language : poor woordlist generation, anomia
 Personality : indifference,occasional irritability
 Psychiatry feature : sadness, or delution in some
 Motor system : normal
 EEG : normal
 CT/MRI : normal
 PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
 Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
 Memory : recent and remote recall more severely impaired
 Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
 Language : fluent aphasia
 Calculation : acalculation
 Personality : indifference, irritability
 Psychiatry feature : delution in some
 Motor system : restlessness, pacing
 EEG : slow background rhythm
 CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
 Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
 Intelectual function : severely deteriorated
 Motor system : limb rigidity and flexion poeture
 Sphincter control : urinary and fecal
 EEG : diffusely slow
 CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Kriteria diagnosa
Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosa klinis penyakit alzheimer yaitu:
1. Kriteria diagnosis tersangka penyakit alzheimer terdiri dari :
 Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik
 Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi > 2
 Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
 Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering > 65 tahun
 Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
2. Diagnosis tersangka penyakit alzheimer ditunjang oleh:
 Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa, ketrampilan motorik, dan persepsi
 ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
 Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan neuropatologi
 Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan non spesifik seperti peningkatan aktivitas gelombang lambat
 Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri
3. Gambaran lain tersangka diagnosa penyakit alzheimer setelah dikeluarkan penyebab demensia lainnya terdiri dari:
 Gejala yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinentia, delusi, halusinasi, emosi, kelainan seksual, berat badan menurun
 Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit pada stadium lanjut dan termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan tonus otot, mioklonus atau gangguan berjalan
 Terdapat bangkitan pada stadium lanjut
4. Gambaran diagnosa tersangka penyakit alzheimer yang tidak jelas terdiri dari:
 Awitan mendadak
 Ditemukan gejala neurologik fokal seperti hemiparese, hipestesia, defisit lapang pandang dan gangguan koordinasi
 Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
5. Diagnosa klinik kemungkinan penyakit alzheimer adalah:
 Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologik lain, gejala psikiatri atau kelainan sistemik yang menyebabkan demensia
 Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan demensia, defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi tidak ada penyebab lainnya
6. Kriteria diagnosa pasti penyakit alzheimer adalah gabungan dari kriteria klinik tersangka penyakit alzheimer dan didapatkan gambaran histopatologi dari biopsi atau otopsi.
Pemeriksaan penunjang
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937)
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik.
Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis.
Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena :
a. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab.

The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control

3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik.
5. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi
6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.
Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin.
Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
4. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.
5. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari).
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokondria dengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.






DAFTAR PUSTAKA
 McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Report of the NINCDS-ADRDA Work group neurology, Neurology 1984.
 Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1st ed. New York: Churchill, 1995.
 Thomson and McDonald. Alzheimer disease, in diseaseof nervous system clinical neurobiology. Vol.II. Philadelphia : WB Sounders, 1992:795-801
 Katzman RMD. Principle of geriatric neurology. Philadelphia : FA Davis, 1992.
 Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 1997.

0 komentar:

Posting Komentar